Lintang melangkahkan kaki kecilnya dengan ringan, menyusuri koridor sekolah yang sepi dan lengang di sore hari. Dia selalu suka senja, karena hanya saat itulah seolah semua keberuntungan dunia berpihak padanya. Nggak ada cowok-cowok idiot berisik yang sok keren atau para cewek dengan dunia absurd mereka yang penuh sentimen, maupun guru-guru berwajah muram yang berpikir seakan sekolah adalah neraka.
Well. Lintang nggak sepenuhnya menyangkal hal itu sih. Sekolah memang neraka, dengan dia sebagai salah satu iblisnya.
Ketika dia akan berbelok ke arah lain, ekor matanya menangkap sosok malaikat terfavorit di sekolah: Jonathan Ferdinand. Lintang menyeringai setan, melepas lolipop yang semula dia kulum sebelum berlari dan berseru.
"Jo-Jo!"
Jangan salah. Jonathan adalah satu-satunya sahabat, tapi dia suka sekali menjahili cowok naif itu. Sekalipun dia keren dan populer, Lintang masih bisa lihat inti Jonathan yang nggak kesentuh sama budaya rusak para idiot lain. Jadilah dia nempel terus sama cowok itu kemana-mana.
"Yeah?" dan entah kenapa, sang sahabat menjawab dengan gugup.
"Mau kemana?" Lintang bisa membaca mayoritas orang dengan mudah sejelas buku yang terbuka, lebih-lebih Jonathan—walau dia nggak pernah ngasih tahu siapa-siapa. Apa yang menjadi mainannya tetaplah seperti itu.
"Ke... perpus," dan lihat, Jonathan mulai menghindari kontak mata dengannya.
Lintang mau nggak mau menganga, cukup kaget juga. Perpus dan Jonathan Ferdinand nggak kedengeran serasi dari manapun, kalau kau tanya. Serius.
Menghela nafas, Lintang menarik dasi Jonathan dan menempelkan kening mereka, mengecek kalau-kalau ada yang salah.
"Apa yang kamu lakukan? Lututku sakit," Jonathan kedengaran merengek.
"Shush! Bentar, aku periksa dulu," dia melepaskan sang sahabat, setengah jengkel karena beneran nggak menemukan keadaan aneh secara fisik. "Kamu nggak panas, tapi kenapa sih kamu jadi aneh akhir-akhir ini?"
"Aneh bagaimana?" Jonathan mulai defensif, mengangkat kedua alis tinggi-tinggi.
"Kamu jadi pendiam. Sering ngelamun. Terus sekarang mau ke perpustakaan??"
Bukan Lintang namanya kalau dia nggak memperhatikan setiap detail kejadian di sekolah. Dia tahu, dan akan selalu tahu. Bukannya dia suka nyusup ke ruang keamanan buat main-main sama surveillance camera, tapi yah, mata-matanya banyak kok.
"Well," Jonathan tampak ragu, sebelum meliriknya. "Dengar, aku ingin memberitahumu sesuatu... "
Bingo!
"Ya?" Lintang melebarkan mata, tersenyum. Benar kan, kalau dia selalu beruntung pas sore?
"Kamu janji nggak akan bilang ke siapa pun?"
Lintang mengangguk-angguk tak sabar.
"Bu Karin memberiku tugas tambahan karena nilai Kimia kemarin jeblok."
Lintang menarik nafas kaget.
"Plus ada tugas dari Pak Yanto karena aku remidi untuk kedua kalinya di pelajaran Matematika. Materinya ada di perpustakaan, jadi ya... begitu."
Pupil Lintang mengecil.
Bohong. Sudah dia bilang, Lintang Purnama tahu semua yang terjadi di sekolah. Dia memilih mengangguk-angguk saja, membiarkan sahabatnya terjebak dalam perangkap.
"Aku nggak tahu kamu punya masalah dengan nilai, Jo-Jo," dalam hatinya, Lintang tersenyum culas. "Selamat mengerjakan tugasmu kalau begitu. Aku gak bakal mengganggu. Dah~!"

KAMU SEDANG MEMBACA
begin again [in ed.]
Romantikakisah lain yang bermula dari senja. karena itu favorit Lintang, dan mungkin selamanya akan terus begitu. /part ii dari seri 'begins to end'/ /peringatan konten dewasa untuk tema lgbt/ × × × covers artist: twitter @inplick