Aku masih terduduk. Diam.
Sudah lebih dari dua jam aku menunggu. Ku edarkan pandanganku dan sesekali menghentakan kaki karena bosan.
Sadar. Sekumpulan orang disudut ruang ini tengah membicarakanku. Persetan dengan itu. Aku ingin kekasihku sendiri yang menyeretku keluar dari sini.
Aku masih memainkan ujung sedotan didepanku dan memutarnya dalam gelas berisi es. Sudut mataku melirik kearah jam yang bertengger di atas pintu. Pukul 10 malam.
"Maaf," ujar seorang pemuda yang membungkuk didepanku dan membuatku terkejut.
"Kami akan tutup, apa anda tak..."
"Ah tentu saja." Aku berdiri dan meninggalkan cafe itu -tentu saja aku sudah membayar untuk apa yang telah masuk melalui kerongkonganku-.
Aku berjalan menyusuri jalanan Kota Seoul yang ramai -tidak untukku-. Entah berapa kali aku -tak sengaja- menabrak orang dan mendapat cacian berkali-kali.
"Bodoh! Bahkan dia tak ingat padamu Baek!" Umpatku sambil menendang batu kerikil di trotoar.
"Bahkan dia lupa hari ulang tahunmu, Baekhyun idiot." Kini genangan air memenuhi mataku. Ingin rasanya meraung sekerasnya, tapi mustahil.
-
Kakiku lemas dan kaku. Tak jauh dari tempatku berdiri aku melihat halte bus yang masih dipadati manusia. Entah apa dan bagaimana aku bisa sampai dihalte itu dengan cepat. Namun masih tak berkenan duduk walau banyak bangku yang kosong.
Kurogoh saku jaket. Kudapati ponselku yang masih kosong. Sunyi. Bahkan tak ada satupun pesan masuk. Menyebalkan!
Ya. Sebelumnya aku pernah menunggunya. Tapi tak selama ini. Dan tak se-menyebalkan seperti sekarang.
Hei! Ini ulang tahunku!
Bahkan kekasihku yang idiot, bodoh, menyebalkan dan selalu membuatku kesal itu tak menelfon, walau hanya memberi ucapan selamat. Aku sangat ingin itu.
Aku sangat ingin mendengar suara bariton miliknya yang membuat jantungku berdegup ratusan kali lebih kencang. Atau sentuhannya yang selalu membuatku terbuai. Tak lupa bibirnya yang menjadi candu bagiku. Dan dada bidangnya yang bagai kotak musik terindah dalam hidupku, ayolah aku ingin di...
"Sedang apa hm?" Sepasang tangan besar memelukku dari belakang, suaranya yang familiar membuatku ingin berteriak.
"Idiot!" Pekikku tertahan. Jangan lupa air mataku. Ia berhasil meluncur ke benda kenyal yang telah memerah saat ini.
"Merindukanku?" Dapat kurasa dekapannya yang semakin erat dan dagunya yang memberatkan bahuku.
"Menurutmu?" Jawabku singkat dan dingin.
"Kukira menghilang seharian akan membuatmu merindukanku, Nyonya Park," ujarnya tepat ditelingaku yang membuatku merinding sekaligus kesal.
"Aku Byun Baekhyun, bukan Park Baekhyun!"
Aku merenggangkan pelukannya. Berbalik. Menatap matanya yang membuatku terhipnotis. Dapat kurasakan kasih sayangnya padaku melalui tatapannya. Senyumnya mengembang.
"Aku tak merindukanmu, Yeollie..." Kataku menggantung. Kini kulihat raut wajahnya yang sedikit murung. Aku tersenyum.
"Tapi sangat merindukan dirimu. Park Chanyeol." Kupeluk tubuhnya. Kusalurkan semua rasa rinduku padanya. Kuhirup aroma mint yang membuatku lupa segalanya.
"Kkkk. Bodoh," ia terkekeh dan membalas pelukanku yang tak kalah erat. Persetan dengan pandangan semua orang, yang kuinginkan saat ini adalah kekasihku. Park Chanyeol.