Day by Day

3K 276 13
                                    

i.

Park Jimim mengenal cara bagaimana Taehyung tertidur.

Dengan sepasang mata terpejam rapi (tentu saja), hidung kembang kempis yang terlihat imut di mata Jimin, frekuensi pernapasan dadanya yang fruktuatif-naik turun-dengan stabil, dan yang paling penting, bagaimana raut wajah polos Taehyung terlihat begitu damai dan tenang.

Seolah-olah beban hidupnya tak pernah ada. Ringan, santai, tak berdosa.

Namun, terkadang Jimin memiliki ketakutan tersendiri begitu memandang wajah polos yang kerap kali dijadikan wallpaper ponselnya itu.

Contohnya seperti sekarang ini, angka jarum jam di dinding kamarnya-ralat, kamarnya yang ditempati bersama Taehyung-baru saja menunjukan pukul enam pagi. Masih terlalu pagi, pikirnya. Ditambah lagi, hari ini adalah hari Sabtu. Weekend yang selalu dinantikan oleh siapa saja (termasuk mereka berdua).

Lalu, ketika Jimin membuka mata pagi itu, saat di mana satu pergerakan kecil dari samping kanan berhasil menarik perhatiannya, hal pertama yang didapati matanya adalah raut wajah tanpa dosa dengan sepasang mata terpejam dan bibir terkatup rapat-Taehyung dengan segala dunia mimpinya.

Tanpa sadar, kedua sudut bibir Jimin menekuk geli. Ia mengubah posisi tidurnya jadi menyamping, membiarkan sebelah lengannya yang digunakan Taehyung sebagai bantal tetap pada tempatnya.

(Jimin tahu kepala Taehyung tertidur di lengannya semalaman penuh, tapi ia tidak pernah mengeluh meski esok paginya otot lengannya terasa kaku).

"Seperti mayat hidup," bisik Jimin lirih, antara jail dan takut. Ia merasa bodoh mengatakan pada orang yang sedang tertidur, tapi juga takut di saat bersamaan.

Pada kondisi seperti ini, terkadang Jimin bertanya-tanya. Apa yang akan dilakukannya jika Taehyung tidak membuka mata? Terlelap bebas seperti ini tanpa tahu tidak akan pernah terbangun lagi. Terus terang saja, itu membuat Jimin dilanda rasa paranoid yang berlebih.

Jimin tidak bisa membayangkannya.

Kehilangan seorang Kim Taehyung adalah ketakutan terbesarnya.

"Hei-" Jimin berhenti sejenak, manakala ketika ia sadar bahwa hembusan napas Taehyung menerpa lembut permukaan wajahnya. Tidak, ia tidak pergi. Taehyung hanya tertidur. Lantas ia mengerahkan jemarinya yang bebas untuk menyisir beberapa helai poni yang menutupi kening Taehyung, mengusapnya selembut mungkin. Menikmati pemandangan yang jarang terjadi di depannya.

"Morning, Taetae."

Saat Taehyung bergerak gelisah hingga kedua matanya terbuka, Jimin langsung membungkamnya dengan satu kecupan cepat di bibir pemuda itu.

ii.

"Cepat habiskan makan siangmu, Taetae. Kau juga tidak sarapan tadi."

Taehyung memberenggut sebal. "Kau pasti sudah gila karena menyuruhku memakan makanan ini, Park Jimin."

"Siapa bilang?" balas Jimin tak acuh, "kacang buncis bagus untuk kesehatanmu."

Lagi, pemuda yang lebih muda darinya itu merenggut tidak suka, kali ini ditambah dengan suara cebikan kecil. Menolak mentah-mentah. "Aku tidak mau," katanya, telak. Menggeser sepiring kare beserta beberapa buncis yang tertata rapi. Demi Tuhan, Taehyung tak habis pikir mengapa Jimin bisa memadukan kare dan buncis. Itu, gila.

Jimin menggeleng keras. "Taetae, kau belum makan sejak pagi," tangan kembali menggeser piring ke arah Taehyung, sepasang matanya memicing tajam. "Makan, sekarang."

Sungguh, terkadang Jimin membenci perdebatan kecil seperti ini. Apa yang dikatakannya memang benar, sejak pagi Taehyung belum sarapan (sebenarnya ia juga, tetapi Jimin sudah melakukannya begitu sampai di kantor). Mereka kerap kali disibukkan oleh aktivitas kerja. Jimin dengan pekerjaannya sebagai jurnalis, sedangkan Taehyung seorang guru TK di sekolah paman dan bibinya. Dan percayalah, jika Taehyung berkata ia sudah sarapan bersama murid-murid kecilnya tadi pagi, itu adalah sebuah kebohongan besar.

Day by Day (VMin Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang