[Prolog]

103 3 0
                                    

Di luar mendung. Seharusnya hujan, tapi ternyata tidak.

Ia memandangi awan hitam yang berarak mengikuti angin ke arah Barat sejak lima belas menit lalu. Dahinya yang disandarkan ke kaca jendela terasa dingin. Ia menggigit bibirnya dengan resah. Resah menunggu apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Bukan tidak mungkin malam ini menjadi malam yang kacau seperti biasanya.

Ia mendesah. Menyebabkan kaca di depan mulutnya berembun. Seandainya bisa, ia ingin sekali kehidupannya selama ini seperti embun di kaca itu. Menghilang. Tapi sepertinya hal itu tidak akan mudah. Entahlah, semakin ia berpikir segalanya perlahan-lahan akan membaik semakin buruk pula kenyataan yang harus dihadapinya. Dan pada akhirnya ia berpikir untuk tidak mengharapkan segalanya menjadi lebih baik lagi.

Bibirnya bergetar. Ingin sekali rasanya ia menangis agar beban di pundaknya bisa enyah. Dan agar ia bisa merasakan bagaimana rasanya hidup seperti anak-anak remaja lainnya. Dalam kondisi seperti ini, sulit rasanya memang berpura-pura hidup selayaknya anak-anak lain tapi ada sesuatu yang belum lama ini ia sadari. Sesuatu itu seolah memberinya sebuah harapan hidup. Meski kecil tapi begitu berarti.

Matanya beralih memandang pohon mangga yang berada tidak jauh di hadapannya. Daunnya bergerak-gerak diterpa angin sementara beberapa buahnya--yang entah sudah matang atau tidak--jatuh sembarangan. Sepertinya karena terpaan angin barusan.

Wajahnya perlahan menunduk dan tenggelam di antara kedua lututnya yang dipeluk. Dan ia bergumam, "Semoga harapan itu nggak akan lepas, Tuhan."

******

Hopes (HIATUS)Where stories live. Discover now