Sama seperti impian semua wanita di dunia ini.
Ingin memiliki lelaki yang bisa menjaga kita,
membuat kita nyaman dan merasa aman. Lalu,
bagaimana kalau lelaki yang kita cintai sering
mengatakan cinta, namun sering melukai fisik
dan hati kita.
Bertahan, atau memutuskan pergi?
***
Tubuh kurus Luna meringkuk di atas ranjang.
Pakaian tidur tipis yang dikenakannya terlihat tak
berbentuk, bagian punggungnya terdapat
sobekan. Luna menundukan kepalanya dalam-
dalam, menggigit bibir bawahnya menahan isakan
tangis yang hendak keluar. Dia sudah berjanji
untuk tak menangis bila sedang kesakitan. Ini
sudah menjadi keputusannya sejak bertahun-
tahun yang lalu, toh dia melakukan ini karena
demi Jeremy, kekasihnya.
Cambukan, pukulan serta perilaku kasar yang lain
sudah sering didapatkannya ketika Jeremy
sedang marah. Luna menggerakan tangannya ke
belakang, membenarkan poninya yang kian
memanjang.
Entah ini sudah berapa kali Jeremy menyakitinya.
Hampir tak bisa dihitung dengan jari-jarinya,
hampir setiap hari dia mendapatkan perilaku
kasar dari lelaki itu. Bahkan beberapa hari yang
lalu, Luna hampir kehilangan nyawanya. Jeremy
yang sedang kesetanan hampir mendorongnya
dari balkon apartement mereka. Bisa kalian
bayangkan bagaimana ngerinya saat itu?
Apartement mereka berada di lantai 28, Luna
bisa pastikan tubuhnya akan hancur, kepalanya
tak akan berbentuk utuh lagi kalau tubuhnya
terjun dari atas balkon apartement-nya bersama
Jeremy.
Jeremy, lelaki itu berhasil mencuri hatinya sejak
enam tahun yang lalu. Di mata Luna, Jeremy
adalah lelaki tampan dan juga baik. Luna bisa
merasakan perhatian yang diberikan Jeremy di
awal-awal mereka berpacaran, namun.... Di
tahun kedua mereka berpacaran, sifat Jeremy
mulai berubah, tak ada lagi kelembutan dan
perhatian yang Jeremy berikan padanya.
Jeremy mulai sering membentaknya, pernah,
Jeremy menamparnya hanya karena Luna
terlambat menemui Jeremy di sebuah Cafe
tempat mereka berjanjian. Dan kalian tahu?
Jeremy menamparnya di depan banyak orang.
Hati Luna memanas. Dia segera meninggalkan
Cafe tersebut, tak memperdulikan teriakan-
teriakan mengerikan Jeremy. Dia malu, dia
kecewa dan ingin marah karena Jeremy tega
menamparnya di depan banyak orang. Panas di
pipinya, sakit di pipinya, tak seberapa dengan
sakit di hatinya.
Sempat Luna meminta putus pada Jeremy
setelah sehari kejadian tamparan di Cafe,
bukannya mau melepaskan, Jeremy berlutut dan
meminta agar dia memberikan satu kesempatan
lagi untuk memperbaiki semuanya.
Akhirnya Luna luluh. Setelah kembalinya mereka,
Jeremy memang berubah sedikit lebih baik. Tak
ada lagi bentakan atau suara keras. Tetapi itu
tak bertahan lama, bisa dihitung bertahan hanya
beberapa minggu saja, setelah itu?
Jeremy semakin menjadi-jadi. Bukan hanya
tamparan yang dia dapatkan dari lelaki itu,
tendangan hingga api rokok yang tersulut
dilayangkan pada permukaan kulit mulusnya.
Dan yang membuat Luna heran, adalah, setelah
Jeremy melukainya, menciptakan luka lebam di
sekitar wajahnya, Jeremy meminta maaf dan
memperlakukan dirinya dengan lembut. Luna
bingung dengan Jeremy, sebenarnya apa yang di
pikirkan oleh lelaki itu?
"Luna.."
Luna tersentak saat sebuah tangan menyentuh
bahunya. Luna mengangkat wajahnya yang
basah. Lelaki itu, lelaki yang sering menyakiti
perasaan dan fisiknya duduk di tepi ranjang
dengan senyum tak terbacakan. Luna hampir
berteriak, namun segera ditahannya.
"Maafin aku." Dalam sekejab, raut wajah lelaki
itu berubah senduh dan penuh penyesalan, Luna
menggerakan tubuhnya, sakit di punggungnya
terasa menyiksa.
"Aku khilaf. Aku---"
"Sst..." Luna mengarahkan jari telunjuknya di
bibir tipis Jeremy, lalu menggeleng pelan.
"Jangan teruskan, aku paham." Lanjutnya lagi.
Raut senduh penuh penyesalan Jeremy berubah
ceria. Jeremy meraih kedua tangan Luna, lalu
mengecupnya secara bergantian. Pandangan
mata Jeremy melembut, tak seperti beberapa
jam yang lalu, tajam dan terasa ingin
membunuhnya.
"Maafin aku, Lun." Gumamnya pelan, "Karena
kegilaan aku, kamu jadi sering pelampiasan aku.
Bahkan luka-luka di tubuh kamu itu hasil
perbuatan aku,"
Luna tersenyum lembut, "Aku yakin kamu nggak
sadar ngelakuin semua ini. Aku tahu itu." Mata
Luna mengerjab, "Kamu orang yang baik. Aku
rela berdarah, demi kamu. Aku yakin suatu saat
kamu akan berubah." Luna berkata dalam
batinnya.
Jeremy menarik satu tangan Luna, membawa
wanita itu ke dalam pelukannya. Luna
memejamkan matanya, menikmati aroma tubuh
Jeremy yang begitu wangi. Dia selalu nyaman
berada di pelukan lelaki itu, Luna tak bisa
membohongi dirinya.
"Aku mencintaimu, jangan tinggalkan aku." Bisik
Jeremy lembut. Luna mengangguk dalam pelukan
Jeremy.
***
Wanita itu datang seperti biasanya, di jam pagi-
pagi buta dengan wajah yang senduh. Wanita
yang tengah menaruh cangkir black coffe di atas
meja pelanggan itu sambil mengernyitkan dahi,
menatap wanita muda yang diketahui bernama,
Maya Aluna. Luna memasuki Cafe, memilih
duduk dipojokan, berdekatan dengan dinding kaca
yang memenuhi Cafe tersebut.
pelayan Cafe itu menghampiri Luna yang duduk
dipojokan,
"Ingin sesuatu, Luna?" Wanita itu bertanya
ramah,
Luna menatap sekilas, lalu mengangguk pelan.
"Aku membutuhkan secangkir cokelat panas,
Dahlia.."
Pelayan wanita itu mencatat pesanan Luna, "Ada
lagi?"
"Nggak, aku cuma membutuhkan itu untuk saat
ini." Luna memaksakan senyumnya.
Tanpa bertanya lagi, Dahlia meninggalkan meja
Luna, lalu segera pergi ke bagian dapur untuk
membuatkan pesanan Luna, secangkir cokelat
panas.
Luna adalah pelanggan setia di Cafe ini sejak
satu tahun yang lalu, Dahlia mengenal Luna di
Cafe ini, tempatnya bekerja mencari nafkah.
Luna adalah wanita yang penuh misteri, Luna
bukanlah sosok wanita yang pendiam dan kaku.
Justru sebenarnya, Luna ini adalah wanita yang
selalu mengukir senyum di bibir tipisnya, dan
terkadang memperlihatkan binar matanya. Tetapi,
yang membuat Luna menjadi sosok misterius
adalah luka-luka di tubuhnya, terkadang ujung
bibir Luna terdapat bekas darah, keningnya
membiru, dan Dahlia pernah memergoki lengan
Luna yang terdapat luka bakar. Bentuknya kecil,
seperti bekas api rokok yang menyala.
Terkadang Dahlia ingin bertanya mengenai luka-
luka di tubuh Luna, tapi sangatlah tidak sopan
bila seorang pelayan sepertinya bertanya yang
menyangkut pribadi. Maka dari itu Dahlia hanya
menyimpan pertanyaan-pertanyaan dibenaknya,
segera menghilangkan rasa penasaran yang terus
berkecamuk di hatinya.
Sepeninggal Dahlia, pelayan Cafe itu. Luna duduk
menyandarkan punggungnya yang terasa ngilu.
Dia mengulurkan tangannya ke belakang,
meraba-raba punggungnya yang terasa perih dan
menyiksa setiap geraknya, pasti punggung
mulusnya akan tercetak garis-garis biru, wanita
itu memejamkan matanya rapat-rapat, antara
menikmati setiap rasa sakitnya, atau
membayangkan betapa kesetanannya Jeremy
ketika mencambuk tubuhnya dengan sabuk milik
lelaki itu.
Dia masih mengingat betapa marahnya Jeremy,
matanya menyala marah, siap membunuhnya
saat itu juga.
Semua ini karena pengaruh obat-obatan sialan
itu! Obat-obatan jahanam itu merusak Jeremy
secara perlahan, membuat lelaki itu akan
tersiksa ketika dijauhkan dari barang haram yang
sering dikonsumsinya selama ini, lelaki itu akan
berteriak kalap dan membuat Jeremy kesetanan
hingga akhirnya menyakiti dirinya. Apa salah
kalau dirinya ingin Jeremy bebas dari narkoba?
Jari-jari lentiknya beralih menelusuri wajahnya
yang basah karena airmata, Luna meringis
menahan sakit di punggungnya, dia mendesah
pelan, sakit di punggungnya belum seberapa,
beberapa hari yang lalu Jeremy hampir saja
mendorongnya dari balkon apartement.
Bayangkan saja, apartement mereka berada di
lantai 28, kalian pasti bisa membayangkan
bagaimana jasadnya nanti ketika ditemukan jatuh
dari apartement?
Luna menggeleng, segera di singkirkannya
bayangan-bayangan mengerikan itu. Dia
memegang dadanya yang terasa nyeri bukan
main, Jeremy bukan hanya menyiksa fisiknya
ketika marah, tetapi juga menyiksa batinnya.
Wanita berambut cokelat keemasan itu memijat
keningnya pelan, berharap pening di kepalanya
sedikit berkurang.
Dahlia datang membawa pesanannya, pelayan
wanita itu menaruh cangkir cokelat panas
pesanan Luna, Dahlia tersenyum ramah dan
mempersilahkan Luna untuk menikmati cokelat
panas favorite-nya.
"Terimakasih," Dahlia mengangguk sopan.
"Kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa
memanggilku, Luna." Ujar Dahlia sebelum benar-
benar pergi.
Dahlia menyipitkan matanya, menatap Luna yang
sedari tadi menggigit bibir bawahnya, menahan
sesuatu, tetapi dia sendiri tak tahu apa. Luna
sedang menahan rasa sakit?
Mata Dahlia mencari-cari sesuatu dari Luna,
wajahnya tak sepucat kemarin, luka di ujung
bibirnya mulai mengering, dan luka memar di
pelipisnya juga agaknya mulai hilang. Dahlia
menahan rasa penasarannya sekali lagi, dia harus
menahan diri agar tak mencentuskan pertanyaan
tak sopannya. Dahlia hendak berlalu, dia harus
cepat-cepat pergi ke dapur sebelum mulutnya
dengan kurang ajar bertanya pada Luna tentang
luka-luka di tubuh wanita itu selama ini.
"Arght," sekali lagi bibir Luna meloloskan suara
ringisan.
Antara ingin berbalik, atau terus berlalu tanpa
menghiraukan ringisan Luna.
"Dahlia.."
Langkah Dahlia terhenti seketika, dengan cepat
dia membalikan badannya menghadap pada Luna
yang memanggilnya.
Luna meragu, namun di detik berikutnya dia
kembali berseru, "Sebentar lagi Cafe akan tutup,
dan kamu akan pulang. Aku bisa meminta
bantuanmu?"
Wajah Luna memperlihatkan permohonan penuh,
Dahlia terdiam sebentar, lalu mengangguk,
"Boleh," katanya, "Apa yang bisa aku bantu,
Luna?"
***
Luna harus banyak-banyak berterima kasih
kepada Dahlia, pelayan Cafe yang letaknya tak
jauh dari apartement-nya.
Tadi sewaktu di Cafe, Luna meminta bantuan
pada wanita berkulit gelap itu untuk mengobati
luka di punggungnya. Luna menunggu sampai
Cafe tempat bekerja Dahlia tutup. Dahlia pekerja
di Cafe itu cukup lama, wanita itu tidak peduli
kalau dia harus bekerja di siang malam. Maklum,
Cafe tersebut buka selama 24 jam. Jadi semalam
apa pun Luna ingin ke sana, Cafe itu akan
menerimanya dengan senang hati.
Luna menutup mulutnya yang menguap kecil.
Semalaman dia tak tidur, duduk di Cafe sambil
menikmati cokelat panas. Setiap kali dia merasa
sedih, Luna akan datang ke Cafe, dan bisa
menghabiskan beberapa cangkir cokelat panas.
Cokelat panas bisa membuat mood dan keadaan
hatinya lebih membaik. Begitu kata Luna ketika
ditanya kenapa menyukai meminum cokelat
panas ketika sedang sedih.
"Gelap."
Satu kata yang dilontarkan Luna saat membuka
pintu apartement-nya. Dia melangkahkan kakinya
memasuki ruang tengah, tangannya menggapai-
gapai sesuatu, ketika tangannya berhasil
menyentunya, jemari Luna menekan benda yang
menempel pada dinding.
Lampu ruang tengah menyala terang. Mata Luna
mengerjab, dia menemukan sesuatu di dekat
sofa.
Luna melihat sepasang kaki yang terlihat dari
samping sofa. Dahinya mengernyit, "Jeremy?"
Tak ada jawaban. Luna membungkukan
badannya, tangannya hendak memegang kaki
yang masih terpasang sepasang sepatu cokelat
berbahan kulit asli.
Suara gemetaran, wajah pucat dan matanya yang
kosong, Luna melihat Jeremy menggigil. Lelaki
itu memeluk tubuhnya seperti orang kedinginan.
Giginya bergemeretak, Luna membantunya untuk
berdiri.
"Jeremy!" Tangan Luna menahan punggung polos
Jeremy, "Kamu kenapa?"
"Dingin, Luna!" Jeremy menggelengkan kepalanya
yang terasa berat.
Entah antara sadar atau tidak, Jeremy berusaha
bangkit, lalu mendorong bahu Luna dengan
kasar. Lelaki itu memeluk tubuhnya yang
gemetaran, matanya mencari-cari sesuatu.
Jeremy berlari memasuki kamar Luna dengan
langkah sempoyongan. Luna tersentak, dia buru-
buru menyusul Jeremy.
Di dalam kamar, Jeremy membanting semua
barang-barang yang ada. Meja rias Luna sudah
tak diketahui ke mana alat-alat make up-nya.
Jeremy seperti orang kesetanan, tangannya
beralih pada nakas di samping ranjang Luna, dan
nakas itu bernasib sama dengan meja rias Luna.
Tangan Jeremy gemetaran, dia menjambak
rambutnya frustasi. Luna mendesis ketakutan,
namun berusaha menggapai lengan kekar
Jeremy.
"Jeremy, apa yang kamu cari?" Luna bertanya
setengah ketakutan.
Jeremy membalikan badannya menghadap ke
arah Luna, "Di mana kamu simpan barang itu,
Luna?!" Suara gemetaran Jeremy di barengi
dengan teriakan keras. "Di mana hah?" Bentak
Jeremy lebih kuat lagi.
Luna tak menjawab. Dia teringat akan obat-
obatan yang dibungkus rapi dengan plastik
berukuran kecil. Luna membuangnya tanpa
sepengetahuan Jeremy tadi malam. Dia sendiri
lupa membuang obat-obatan itu ke mana. Luna
masih bungkam, sedangkan Jeremy terus
berteriak dan membanting semua barang-barang
milik Luna.
"ARGHT." Jeremy menyentak tangan Luna yang
sedari tadi memegang lengannya.
Luna meringis, dia melihat Jeremy kembali berlari
keluar dari kamarnya. Lagi-lagi Luna menyusul
Jeremy, kali ini lelaki itu masuk ke dalam
kamarnya, membuka satu per satu.
Mata Jeremy berbinar ketika menemukan
sesuatu, diraihnya benda kecil nan tajam.
Kedua mata Luna melebar. Layaknya orang gila
tanpa kontrol, Jeremy melukat tangannya sendiri.
Benda kecil nan tajam dia arahkan pada bagian
kulit tangannya, lantas menarik benda itu dengan
satu sentakan.
Darah mengucur dari kulit tangannya, Jeremy
menundukan kepalanya, lidahnya terjulur hendak
menyentuh darah segar dari tangannya.
"Jeremy, jangan!" Luna menarik tangan Jeremy.
Jeremy tak bergeming, dia malah mendorong
Luna kuat sambil mengumpat kasar.
Jeremy bagaikan orang tak waras. Dia menyesap
darahnya sendiri, menurutnya, aroma darahnya
sudah sama seperti barang-barang haram yang
sering dinikmatinya. Jeremy tak memperdulikan
teriakan Luna, dia hanya membutuhkan
ketenangan. Dan sialnya, Luna malah membuang
barang yang sering membuatnya tenang. Untung
saja Jeremy tahu bagaimana mengatasi
kegilaannya ketika kehilangan barang-barang itu.
Dan saat ini sedang dia lakukan. Sebentar lagi
dia akan mendapatkan ketenangannya.To be continue---
KAMU SEDANG MEMBACA
Because, I Love You
Romance"Berjuang bersama-sama, itu artinya saling cinta. dan berjuang sendirian demi cinta, itu namanya sebuah kebodohan."