Chapter 3 (Ending)

149 3 0
                                    

"Kamu tidak mengajakku masuk, Dahlia?"
Dahlia tertegun. Matanya mengerjab beberapa
kali. Pemandangan di depannya terasa aneh dan
begitu mengejutkan.
Luna berdiri di ambang pintu dengan senyum
masam, wajahnya yang putih mulus terlihat
begitu pucat. Dan ditambah, Oh. Pelipis dan
beberapa bagian tubuhnya terlihat penuh luka
lebam. Dahlia termangu, antara shock dan
bercampur rasa ingin tahu yang hebat.
Lagi-lagi dia bertemu dengan Luna yang penuh
luka dan meringis. Wanita itu memeluk tubuhnya
dengan kedua tangan, bibir wanita itu kering dan
pucat.
"Dahlia?" Suara Luna menyadarkan Dahlia,
"kenapa?" Tanya Luna bingung.
Dahlia segera tersadar dan mempersilahkan Luna
untuk masuk ke dalam rumahya yang begitu
sederhana. Hanya ada satu kamar tidur dan
kamar mandi, lalu dapur yang berukuran kecil,
dan ruang tamu yang menghadap pintu rumah.
Ya, mungkin hanya berjarak beberapa langkah
saja.
"Oh, maaf." Dahlia tersadar. "Silahkan masuk."
Dahlia memberi jalan pada Luna, dia memiringkan
badannya memberi jalan Luna untuk masuk ke
dalam rumahnya.
Tanpa dipersilahkan duduk, Luna duduk pada
kursi kayu yang terlihat begitu sederhana. Warna
kayunya saja mulai memudar, dan bahkan... Luna
menyipitkan matanya melihat salah satu kursi
yang berjejer di sana ada yang reot. Satu kaki
kursi itu patah, dan agaknya harus diganti. Luna
mendesah pelan, dia tahu bagaimana Dahlia
berjuang membiayai hidupnya bersama satu
orang anaknya yang masih sekolah.
Dia salut dengan perjuangan keras dari seorang
Dahlia. Hidup sendirian tanpa seorang suami, dan
harus membiayai anak satu-satunya. Dahlia
sudah bercerita tentang semuanya, tentang
kehidupannya di masa lalu yang cukup
menyakitkan untuknya.
Sebenarnya, mereka adalah wanita-wanita yang
mempunya cerita dan pengalaman hidup yang
sama. Dulunya, saat Dahlia masih bersama sang
suami, Dahlia sering mendapatkan amukan dan
pukulan dari suaminya. Sering mabuk-mabukan
dan membuat hidup Dahlia seperti di neraka.
Ketika menceritakan tentang kisah hidupnya, tak
ada setetes airmata pun yang jatuh. Malah Luna
bisa melihat jelas dari kedua mata Dahlia yang
berbinar lega. Dia mempunyai keberanian untuk
mengambil keputusan bercerai. Berpisah itu lebih
baik. Katanya saat itu.
"Cinta tak hanya membuat seseorang yang gila
menjadi waras, tetapi tanpa kita sadari,
terkadang cinta bisa mendorongmu ke dalam
jurang kematian."
Luna meringis. Kalimat yang diucapkan Dahlia
kala itu benar-benar mengoyak hatinya, berpikir
seribu kali lagi untuk mempertahankan
semuanya. Dahlia benar, terkadang tanpa kita
sadari, cinta juga bisa mendorong kita dalam
jurang kematian.
Contohnya adalah dirinya sendiri. Tendangan,
pukulan, cambukan dan segala macam kekerasan
yang dilayangkan Jeremy padanya tak membuat
Luna jera. Tak membuat Luna menyerah dengan
semua tindakan bodohnya. Bersedia menemani
lelaki itu, biarpun nyawa menjadi taruhannya.
Mungkin kemarin Jeremy hanya melukai
tubuhnya, tapi besok, belum tentu nyawanya
akan selamat setelah ini.
Tidak. Luna menggelengkan kepalanya cepat.
Jeremy tidak mungkin akan berbuat lebih gila.
Luna yakin, Jeremy masih mempunyai hati.
Jeremy mencintainya, mungkin hanya caranya
saja yang salah.
"Mau minum apa, Lun?" Suara Dahlia
membuyarkan lamunan Luna seketika.
Luna menggeleng lembut, "ini bukan Cafe,
Dahlia.." Luna tertawa lirih.
Dahlia masih tercenung di tempat. Kedatangan
Luna membuat Dahlia terheran-heran, tak ada
angin, tak ada hujan tiba-tiba wanita itu datang
ke rumahnya dengan wajah pucat dan penuh
luka lebam di sekitar wajahnya. Bukannya Dahlia
tak senang rumahnya di datangi Luna, tetapi
kedatangan Luna yang mendadak, membuatnya
aneh. Apalagi ditambah luka-luka di wajahnya,
padahal kemarin Dahlia melihat luka-luka di
wajah Luna mulai mengering, dan beberapa luka
di wajahnya mulai menghilangkan bekas. Kenapa
sekarang ada lagi?
Dahinya mengernyit, matanya menyipit. Oh,
bahkan luka di pelipis wanita itu masih basah
dengan darah.
"Keningmu kenapa?" Pertanyaan yang
ditahannya, akhirnya keluar juga. "Sebentar, aku
ambilkan kotak obat dulu."
"Tidak usah." Luna menahan langkah Dahlia, "aku
cuma butuh teman mengobrol, Dahlia."
"Hanya itu? Lalu, lukamu?" Satu jari Dahlia
menunjuk luka di wajah cantik Luna.
"Ya. Hanya itu." Jawab Luna ringan. "Duduklah,"
tangan Luna menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.
Dia mengikuti perintah Luna untuk duduk di
samping wanita itu. Pandangan mata Dahlia tak
lepas dari luka-luka di tubuh mulus Luna.
Terkadang pertanyaan-pertanyaan di otaknya
ingin dia sampaiakan secara langsung kepada
Luna, tetapi itu tetaplah tidak sopan. Seseorang
pasti akan merasa tidak nyaman bila dikorek-
korek tentang kehidupan pribadinya, dan Dahlia
tahu itu.
"Kamu tahu, Dahlia," gumam Luna lirih, "banyak
orang yang mengatakan kalau aku ini bodoh."
Dahlia memiringkan kepalanya, menatap Luna
yang mengarahkan pandangannya lurus-lurus ke
arah pintu rumah Dahlia yang terbuka lebar.
Ukuran rumah Dahlia terbilang begitu kecil, hanya
ada satu kamar tidur, kamar mandi dan dapur
berukuran kecil. Sedangkan ruang tamu
menghadap lurus pada pintu, jarak antara ruang
tamu dan pintu berjarak beberapa langkah saja.
Dahlia membenarkan posisi duduknya, terlihat
Luna memejamkan kedua matanya, tetes demi
tetes airmata melucur dari kedua matanya yang
tertutup rapat. Dahlia merapatkan tubuhnya,
tangannya mengusap-usap punggung Luna
lembut.
"Menangis akan membuatmu sedikit lebih
tenang."
Luna menyeka airmatanya yang terus mengalir.
Beban di pundaknya terasa berat, perlakuan
Jeremy semakin menggila. Bukan hanya pukulan
dan tendangan yang dia dapat dari lelaki itu,
namun juga hampir saja melayangkan nyawanya
tadi malam. Ini semua karena sebuah pesan
singkat dari seorang teman lelakinya. Apa karena
Jeremy cemburu? Bukan, Luna tahu, Jeremy
bukan tipe lelaki pencemburu. Tetapi kenapa
hanya karena sebuah pesan singkat, lelaki itu
marah dan kalap. Luna mendesah pelan, dia
harus banyak-banyak bersabar menghadapi sikap
Jeremy yang berubah-rubah.
Terkadang lelaki itu akan memanjakannya,
menjaganya, dan menjadi begitu hangat. Tetapi,
ketika lelaki itu dikuasai oleh kemarahan, Jeremy
akan menjadi sosok yang menyeramkan dan
begitu menakutkan.
Sempat terbesit dipikirannya untuk meninggalkan
Jeremy, namun keinginan itu akan segera dia usir
jauh-jauh dari otaknya, dia begitu mencintai
Jeremy, dan dia tak akan sanggup melepaskan
lelaki yang berhasil merebut hatinya sejak enam
tahun yang lalu. Cinta benar-benar membutakan
mata dan hatinya, dia rela berdarah dan tersakiti
hanya demi cinta. Cinta yang selama ini tak
pernah membuatnya bahagia.
"Aku tidak tahu sebenarnya apa yang kamu
alami. Kalau kamu ingin bercerita denganku, aku
tidak akan keberatan, Luna." Gumam Dahlia
tanpa melepas pandangannya dari luka-luka di
tubuh Luna.
Luna sedikit menundukan kepalanya. Sebutir
airmata jatuh dari matanya, suara wanita itu
meloloskan isak tangis. Luna kian menundukan
kepalanya lebih dalam. Hatinya terluka, terasa
perih dan sulit untuk dijelaskan. Luka-luka di
badannya tak seberapa, tak sesakit hatinya.
"Apa yang terjadi?" Tanya Dahlia hati-hati.
"Apakah ini ada hubungannya dengan luka-
lukamu," Dahlia melirihkan suaranya, tangisan
Luna terdengar pilu. Sama persis dengan
tangisannya beberapa tahun yang lalu, saat
dirinya menjadi korban kekerasan mantan
suaminya dulu.
"Aku terlalu bodoh," kata Luna pelan, "tapi apa
salahnya aku bertahan demi dia? Katakan Dahlia,
apa salahnya kalau seorang wanita bertahan
demi orang yang dicintainya, sekalipun dia harus
tersiksa! Apa itu salah?!" Luna berteriak tanpa
kontrol. Jeritan suaranya diiringi dengan isak
tangis yang menyayat hati.
Dia sendiri kurang paham apa yang dikatakan
Luna baru saja. Bertahan untuk seseorang yang
dicintai? Wanita berkulit hitam itu merangkul
bahu Luna, mengusap-usap rambut cokelat
keemasan milik Luna. Penampilan Luna benar-
benar terlihat kacau. Wajahnya pucat, dan
rambutnya yang bergelombang terlihat acak-
acakan. Dahlia yakin, ini bukan style terbaru.
"Aku mempertahankan hubungan ku dengannya,
segala siksaan, pukulan dan cambukan aku
alami. Aku tahu ini gila! Aku bodoh!" Luna
menarik tubuhnya dari pelukan Dahlia.
"Aku terlalu mencintainya, sehingga bodoh harus
mempertahankan sesuatu yang begitu
menyakitkan."
"Dahlia, kamu pernah mengalami hal serupa,
bukan? Kamu pernah mengalami yang namanya
siksaan dari seseorang yang kamu cintai. Apa
yang kamu rasakan saat itu? Kenapa pada
akhirnya kamu melepaskan orang yang kamu
cintai?!"
Luna menghujani banyak pertanyaan pada Dahlia
dengan menggebu-gebu. Dahlia menghela napas,
melihat Luna seperti ini cukup menyedihkan. Dari
pertanyaan-pertanyaan Luna baru saja, Dahlia
bisa menangkap apa yang tengah di alami wanita
itu.
Dahlia melepaskan tangannya dari bahu Luna,
pandangan matanya menerawang pada masa
lalunya dulu. Saat dirinya masih berstatuskan
sebagai seorang istri dari lelaki yang begitu
ringan tangan. Hampir setiap hari Dahlia
mendapatkan amukan dan pukulan bertubi-tubi,
mantan suaminya begitu candu pada minum-
minuman alkohol dan semacamnya. Saat itu
Dahlia begitu tertekan, di satu sisi, dia ingin
mempertahankan rumah tangganya, namun di sisi
lain Dahlia mulai tak tahan dengan pukulan-
pukulan yang dilayangkan oleh mantan suaminya.
Nyawanya pun hampir pernah melayang.
Akhirnya setelah dipikirkan matang-matang,
Dahlia mengambil keputusan yang begitu sulit.
Dahlia menggugat cerai mantan suaminya, dan
membawa anaknya untuk pergi dari kota itu.
Mantan suaminya terlalu gila. Dia tak ingin
membuat psikis sang anak rusak secara perlahan
dengan perlakuan mantan suaminya.
Tapi sekarang itu hanya masa lalu. Dahlia bisa
bernapas lega sekarang, tak ada lagi tangisan
dan kesakitan seperti dulu. Dia sudah bebas.
Biarpun hidupnya dibilang pas-pasan, namun
hatinya tentram tanpa ada rasa ketakutan seperti
dulu.
"Dahlia..." Luna menggucang-guncang bahu
Dahlia, "kenapa kamu diam?" Tanyanya lagi.
Dahlia berdehem, lalu bertanya, "aku boleh
bertanya sesuatu padamu?"
Kepala Luna mengangguk pelan, walaupun sedikit
meragu. "Apa?"
Bibir Dahlia tertarik, membentuk sebuah
senyuman hangat. Luna memang terlihat tengah
terguncang, tapi setidaknya Dahlia bisa membuat
Luna sedikit lebih tenang.
"Apa luka-lukamu ini karena perlakuan
seseorang? Apa kasusnya sama seperti dengan
yang aku alami?" Dahlia bertanya dengan begitu
hati-hati.
Hanya kediaman yang Luna tunjukan. Apa Luna
akan mengatakan semuanya pada, Dahlia? Tapi
ini sama saja dirinya mengumbar aib-nya sendiri.
Dahlia lebih beruntung. Setidaknya, Dahlia
menikah dengan lelaki itu, biarpun sering
mendapatkan pukulan, tapi Dahlia dan lelaki itu
berstatuskan sebagai seorang suami-istri.
Sedangkan dirinya? Tinggal satu atap tanpa ada
ikatan. Luna termangu, satu lagi kebodohan
Luna. Yaitu, memaksa untuk tinggal bersama
dengan Jeremy yang jelas bukan suaminya. Dia
dan Jeremy hanya sepasang kekasih yang sudah
berhubungan lebih jauh. Luna sudah memberikan
semuanya, semua. Iya, semua. Termasuk harta
paling berharga dalam hidupnya. Dia terlalu
dibutakan oleh cinta.
Luna menundukan kepalanya dalam-dalam,
menyesali semua kebodohannya. Seharusnya dia
tak memberikannya pada Jeremy. Oh Tuhan...
Betapa bodoh dirinya!
"Luna." Tangan Dahlia menyentuh bahu Luna.
Luna menoleh lalu memaksakan seulas
senyuman di bibirnya.
"Kalau kamu tidak ingin bercerita, tak apa. Aku
mengerti." Mata Dahlia mengerjab lembut.
"Apa aku harus mempertahankannya, Dahlia?"
Lagi. Luna menghambur ke pelukan Dahlia sambil
terisak. "Selama ini aku memperjuangkannya.
Tidak peduli dengan omongan buruk tentang
Jeremy, aku...." Luna tak sanggup melanjutkan
kalimatnya kali ini.
"Jangan mempertahankan sesuatu yang sifatnya
menyulitkan." Gumam Dahlia, "ada saatnya
seseorang berhenti untuk mempertahankan,"
"Memperjuangkan cinta bersama-sama, itu
namanya saling cinta. Dan berjuang sendirian
demi cinta, itu namanya kebodohan." Kata Dahlia
setengah berbisik.
"Berhenti, Luna. Jangan menyiksa dirimu sendiri
hanya untuk orang yang tak pernah
menghargaimu. Kamu juga pantas mendapatkan
kebahagiaanmu," gumamnya lirih.
***
Masa lalu itu seakan merusak seluruh saraf di
otaknya. Membuatnya setiap malam mimpi buruk
dan ketakutan. Jeremy membuka matanya cepat
ketika terbangun dari mimpi buruknya. Tidak,
kenapa mimpi itu terus menghantuinya?
Membuatnya sulit bernapas dan dihantui oleh
rasa ketakutan yang luar biasa. Jeremy meremas
rambutnya kuat-kuat, sekujur tubuhnya dipenuhi
oleh keringat.
Seketika tubuhnya menegang. Bayangan masa
lalunya seperti potongan puzzle yang berserakan,
lalu utuh kembali. Jeremy menggigit bibir
bawahnya, dia tidak boleh terus-terusan seperti
ini. Dia butuh ketenangan, butuh barang-barang
itu.
Jeremy meloncat dari ranjangnya, bergegas
mencari-cari sumber ketenangannya. Hanya
barang-barang itu yang bisa membuatnya tenang,
membuatnya melupakan segala mimpi buruknya.
Hampir enam belas tahun obat-obatan itu
menemaninya. Setiap mimpi buruk itu datang
menghantuinya, Jeremy akan mencari dan
menghisapnya hingga mendapatkan ketenangan.
Seseorang di masa lalunya berhasil menciptakan
rasa trauma yang berlebihan.
Jeremy hidup sebatang kara setelah kedua
orangtuanya mengalami kecelakaan. Saat itu
Jeremy masih berusia 10 tahun, belum bisa
berbuat apa pun. Dia hanya bisa melihat jazad
Mama dan papanya dimasukan ke dalam liang
lahat. Jeremy yang polos menurut begitu saja
ketika akhirnya dia dirawat oleh adik sang Papa.
Adik papanya adalah seorang bujangan lapuk.
Diusianya yang hampir menginjak kepala tiga itu
masih setia dengan kesendiriannya. Kulitnya
cokelat, mata hitam dan tinggi tubuh sang Om
yang terbilang standart masih diingat jelas oleh
Jeremy. Bagaimana lelaki itu memaksa dirinya
untuk membuka celana tidurnya, dan memainkan
alat kelaminnya.
Jeremy kecil menangis saat satu per satu
pakaiannya dilucuti oleh sang Om. Tangan besar
lelaki itu perlahan-lahan melukainya dan
menciptakan rasa takut hingga dirinya menginjak
dewasa. Lelaki itu gilaaa! Sang Om memiliki
gangguan kejiwaan. Penyuka sesama jenis,
bahkan sang Om tak memandang pada umur
Jeremy yang masih begitu kecil. Lelaki itu
menyodominya. Jeremy ingat itu, hingga pada
detik ini.
Tiga tahun Jeremy hidup bersama sang Om,
seperti hidup di dalam sebuah neraka, terus
diancam oleh rasa ketakutan saat tengah malam
sang Om menyelinap ke dalam kamarnya,
memaksanya untuk membuka baju, dan....
"AHH!"
Jeremy menjerit frustasi. Matanya memerah dan
berair. Lelaki itu pelan-pelan menghancurkan
hidupnya! Bahkan kematiannya tak bisa
mengembalikan semuanya.
"Hahaha." Tawa Jeremy pecah. Mengingat
kejadiaan naas beberapa tahun silam.
Tepat saat tahun ketiga Jeremy tinggal bersama
sang Om, Jeremy berbuat nekat. Saat sang Om
sedang tertidur, Jeremy membawa satu liter
bensin ke dalam kamar lelaki itu. Mata Jeremy
menyala marah, entah dorongan apa yang
membuatnya kalap saat itu. Jeremy, bocah lelaki
berusia tiga belas tahun itu menyiram satu liter
bensin ke seluruh tubuh sang Om. Jeremy
membuka kotak korek, lalu melempar kayu korek
yang telah dinyalakan api pada tubuh sang Om
yang masih memejamkan matanya. Dan, tubuh
lelaki gila itu terbakar. Jeremy tertawa puas kala
itu. Sumber penderitaan dan ketakutannya
berhasil dia singkirkan. Bahkan mati secara
mengenaskan di depan matanya.
Dia puas. Sangat puas menikmati teriakan lelaki
itu. Melihat tubuh laki-laki itu terbakar. Bahkan
jeritan dan tangisan lelaki itu tak ia hiraukan. Ia
malah bertepuk tangan menikmati tersiksanya
lelaki itu. Jeremy bisa keluar dari nerakanya, ia
bebas melakukan apapun yang dia mau. Apapun.
Tidak perlu takut dimarahi, apalagi disiksa.
Setelah sang Om meninggal, Jeremy tinggal
disebuah panti asuhan, tak selang berapa lama ia
diasuh oleh pasangan suami istri. Jeremy
dilimpahi kasih sayang, selalu dimanja dan
diperlakukan dengan baik oleh kedua orangtua
angkatnya. Tapi agaknya perlakuan sang Om dulu
berimbas pada perkembangan Jeremy kecil. Ia
sering merasa ketakutan dikala malam, menangis
sendiri seraya memeluk dirinya. Ia takut. Kedua
orangtuanya membawa Jeremy ke Dokter dan
memeriksakan kondisi Jeremy yang membuat
mereka ketakutan.
Sampai akhirnya sang Dokter mendiaknosa
bahwa Jeremy mengalami kelainan Skizofrenia.
Dan Skizofrenia yang diderita Jeremy adalah tipe
yang tak bisa disembuhkan. Hanya terapi yang
bisa membuatnya lebih tenang. Jeremy muak
sering-sering berada di rumah sakit. Bertemu
dengan para Dokter dan suster yang memuakan.
Ia bosan. Ia tak mau terapi lagi.
Hingga akhirnya, saat Jeremy memasuki bangku
SMA, ia menemukan barang-barang itu. Ia
menemukan ketenangannya dari obat-obatan itu.
Ia tak perlu lagi mengikuti terapi atau
semacamnya. Ia sendiri berhasil mendapatkan
ketenangannya. Ya, ketenangan yang ia damba-
dambakan selama ini. Jadi, ia tak bisa hidup
tanpa obat-obatan itu. Tidak peduli banyak orang
yang mengecamnya. Toh, ini hidupnya, dia yang
menjalani. Dan dia mendapatkan ketenangannya.
Jeremy menjatuhkan dirinya di sofa. Menghela
napasnya dalam-dalam, ia melemparkan
pandangannya. Seperti mencari-cari sesuatu, ke
mana Luna? Kenapa ia tak melihat wanita itu
sejak pagi tadi?
Seiring pertanyaan yang muncul dibenaknya,
pintu apartement terbuka memperlihatkan sosok
Luna di sana. Wajah wanita itu datar, matanya
menatap tajam. Ia hanya melihat sekilas, lalu
berjalan mendekati kamarnya yang bersebelahan
dengan kamar Jeremy. Jeremy tertegun, sebelum
Luna sampai di kamarnya, Jeremy menarik satu
tangan Luna.
Wanita itu meringis, ia menggerak-gerakan
tangannya memberontak. Seluruh tubuhnya
masih terasa sakit, dan perih. Apalagi yang ia
mau? Apa Jeremy akan kembali menyakitinya?
"Lepaskan," erang Luna. "Sakit, Jeremy!" Luna
menarik tangannya, lalu mendorong bahu lelaki
itu kuat-kuat.
Luna berhasil menarik tangannya dari
cengkraman Jeremy. Sekali lagi ia meringis,
saking kuatnya, pergelangan tangannya membiru.
Luna mengangkat wajahnya menantang. Sudah
cukup. Sudah cukup ia bertahan bersama lelaki
itu. Itu tidak akan ada gunanya! Jeremy lebih
mencintai obat-obatan terlarangnya ketimbang
dirinya.
Matanya menyilat tajam. Kenapa Luna tiba-tiba
berubah seperti menantang dirinya? Luna masih
berdiri di sana sambil memegang tangannya.
"Dari mana kamu?" tanya Jeremy tajam.
"Bukan urusanmu!" Luna membalikan badan
hendak meninggalkan Jeremy. Namun lelaki itu
tampak marah, dan menarik kedua bahu Luna.
Jeremy membanting tubuh Luna ke sofa dengan
kasar. Luna merasakan tubuhnya kian sakit,
tulang-tulangnya seakan mau patah. Luna
menegakan badannya, dan lagi-lagi Jeremy
mendorongnya secara kasar dan menahan dua
bahu Luna. Laki-laki itu meremas bahu Luna
hingga menciptakan rasa sakit yang luar biasa.
Luna menggerak-gerakan badannya. Jeremy
tertawa mengerikan, laki-laki itu tertawa ketika
menyiksanya.
Satu hal lagi yang baru ia sadari. Jeremy akan
tertawa melihatnya kesakitan, menangis dan
menjerit. Apa laki-laki itu gila? Oh, kalau Jeremy
waras, ia tak mungkin memperlakukan
kekasihnya seperti seorang musuh.
"Katakan, seharian ini kamu ke mana? Apa kamu
pergi bersama...." Jeremy memberi jeda, lalu
melanjutkan. "Dengan selingkuhanmu? Mengadu
kalau aku menyiksamu?" Jeremy bergumam
tajam.
"Apa kamu juga tidur dengannya?"
PLAK.
Luna melayangkan tangannya tinggi-tinggi dan
menghampiri pipi Jeremy. Mungkin Jeremy tak
akan merasa kesakitan akibat tamparannya,
melainkan tangan Luna sendiri yang terasa
panas.
"Aku tidak seperti apa yang kamu bilang!"
Napasnya naik-turun tak beraturan. "Lepaskan
aku. Dan biarkan aku bebas."
Perlahan cengkraman Jeremy melonggar. Luna
buru-buru menyingkirkan tangan lelaki itu dari
bahunya. Ia mendorong Jeremy, lantas bergegas
masuk ke dalam kamarnya dan mengemasi
semua barang-barangnya. Dia harus segera
pergi. Ia tak mau berada di sini lagi.
"Apa maksudmu?" Jeremy menarik rambut Luna
kuat, tangan wanita itu meraih ke belakang
mencoba melepaskan tangan Jeremy dari
rambutnya.
"Lepaskan! Sakit, Jeremy! Lepaskan!" Luna
berusaha menggapai tangan Jeremy, tapi sulit,
dia tak mampu menggapainya.
"Jawab dulu pertanyaanku." Semakin lama,
tarikan tangan Jeremy pada rambut Luna
semakin kuat. Wanita itu menangis menahan
rasa sakit di kepalanya.
"Aku ingin pergi. Lepaskan aku! Aku terlalu
bodoh mempertahankan laki-laki gila sepertimu."
Jeremy tertawa sumbang. "Oh ya?"
Setelah itu Jeremy mendorong Luna menjauh
darinya. Lelaki itu mengibas-ngibaskan
tangannya, memerintah Luna untuk pergi.
"Kalau begitu, kamu boleh pergi. Silahkan....
Kalau perlu sejauh mungkin."
Luna sempat tertegun beberapa saat, kenapa
laki-laki itu dengan gampang melepaskannya?
Bukankah selama ini Jeremy selalu menahannya
untuk pergi? Luna menggelengkan kepalanya, ia
tidak peduli. Yang penting ia bisa bebas dari
siksaan Jeremy yang semakin menjadi-jadi.
Ia berjalan mundur, matanya tak berkedip melihat
Jeremy yang terlihat menyeringai. Luna membuka
pintu kamarnya lebar-lebar, ia berjinjit meraih
koper di atas lemari, setelah berhasil
mendapatkan kopernya, ia membuka koper
tersebut, dan memindahkan barang-barangnya
dari lemari. Wanita itu memasukan semua
barang-barangnya.
Jeremy memasuki kamar Luna, ia
menyembunyikan sesuatu di belakang
punggungnya. Jeremy berdiri persis di belakang
Luna, lantas lelaki itu bergumam. "Perlu
bantuan?" tawar Jeremy. Luna tak menoleh dan
menyahut. "Tidak usah. Terima kasih."
"Begitu? Baiklah."
Luna menarik resleting kopernya. Ia sudah siap
pergi dari tempat ini. Ia memutar badannya,
matanya terbelalak melihat Jeremy membawa
pisau dapur di tangannya. Luna terkesiap, ia
mengulurkan tangannya ke depan.
"Aku bisa membantumu untuk cepat-cepat pergi
ke surga. Bagaimana?" Lelaki itu kembali
tertawa.
Wajah Luna pucat pasi. "Jeremy, apa yang mau
kamu lakukan?!" Luna tak bisa bergerak lagi,
kakinya tertahan oleh ranjangnya. Wanita itu
menggelengkan kepalanya sambil menangis.
"Tidak Jeremy. Apa yang mau kamu lakukan?!
Jeremy!" Luna berteriak ketakutan.
"Kenapa? Bukannya kamu ingin bebas? Pergi?
Aku mengabulkannya sayang, tenang saja,"
Jeremy bergumam lirih. "Kita akan bebas sama-
sama sayang," katanya pelan.
Craaapppptt.
Dengan sadisnya Jeremy menusuk perut Luna
dengan pisau yang ia pegang. Ia tak menusuk
Luna satu kali, bahkan berkali-kali. Lelaki itu
tertawa puas, darah berceceran ke mana-mana.
Tubuh Luna terjatuh di atas ranjangnya dengan
bersimbah darah. Lelaki itu bukan hanya melukai
perut Luna, tetapi juga leher wanita itu.
"Hahaha." Tawa Jeremy.
Melihat kekasihnya sudah tak bernyawa, lelaki itu
membuang pisaunya sembarangan. Luna sudah
tak bernyawa, perut dan leher wanita itu
mengeluarkan darah segar. Jeremy tertawa kian
kencang, tangannya memegang kepalanya.
Seperdetik kemudian ia seperti tersadar. Ia
mengangkat dua tangannya yang berlumuran
darah. Tawa itu berubah dengan tangis. Jeremy
tercekat. Apa yang dia lakukan?
"Luna? Luna... Luna...." Jeremy menggoyang-
goyangkan tubuh Luna. Wanita itu sudah tak
bernyawa. Jeremy mengumpat, ia menarik-narik
rambutnya sendiri.
"Tidak. Tidak! Apa yang aku lakukan? Luna....
Aku membunuh Luna?!" Ia menggelengkan
kepala.
Ia merasa bersalah. Ia menyalahkan dirinya
sendiri. Ia telah membunuh orang yang begitu
dicintainya. Jeremy mengerang, lalu berteriak
kalap. Dia berlari menuju balkon. Sepasang
matanya berair. Ia mencengkram pagar balkon,
lalu memejamkan kedua matanya rapat-rapat.
"Aku tidak akan membiarkanmu mati sendirian.
Kita akan mati bersama. Ya, seperti janji kita
dulu. Kita akan selalu bersama-sama. Tenang
Luna, aku akan menyusulmu." Lelaki itu
tersenyum, ia memejamkan matanya,
mencondongkan tubuhnya, ia membiarkan dirinya
jatuh. Jatuh kebawa hingga puluhan meter.
BRAK.
Kejadian itu terasa cepat. Entah dalam hitungan
berapa detik, atau dalam satu kejapan mata.
Tubuh lelaki itu jatuh dari lantai dua puluh
delapan, ia membiarkan tubuhnya melayang,
hingga membentur sesuatu yang keras.
Tubuhnya jatuh tepat di atas sebuah mobil
dengan posisi menelungkup. Kepalanya pecah,
darahnya bercipratan ke mana-mana. Ia tak
bergerak lagi, ia tak bisa bernapas, matanya
tertutup kian rapat. Ia memenuhi janjinya, ia
menyusul kepergian Luna. Ia tak akan
membiarkan Luna mati sendirian. Ia akan
menemani wanita itu. Seperti janji yang sering ia
ucapkan semasa kuliah. Bahwa mereka akan
selalu bersama-sama. Tidak akan ada yang
mampu memisahkan mereka. Tidak ada.
The end---

Because, I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang