Prolog

200 2 1
                                    

Ruangan kerja hanya berukuran 3x3 meter. Namun sangat rapi dan sunyi. Satu-satunya yang menarik nafas disana adalah tanaman bernama latin Chlorophytum comosum dengan tinggi 60 cm yang dedaunan panjangnya memuncah ke luar pot seperti air mancur. Di sebelah kanannya terdapat sebuah lemari yang penuh dengan buku. Tingginya sekitar 3 meter, selaras dengan jarak lantai dan langit-langit. Di depan lemari tersebut, sebuah kursi hitam yang terlihat empuk mengantarkan pada meja kayu yang dasar atasnya dilapisi kaca. Meja tersebut sama saja, penuh dengan tumpukan buku yang tersusun rapi. Dua tangkai bunga matahari plastik berdiri indah dengan vas coklat di atasnya. Disampirngnya tersusun sebuah bingkai foto dengan kayu hitam. Di dalamnya terdapat foto seorang kakek dan remaja laki-laki dengan seragam putih-dongker. Juga, tepat di tengah-tengah meja, sesuatu yang tidak diletakkan pada termpatnya tergeletak. Sebuah cincin dan surat.

Kreek... pintu ruangan yang terletak di sebelah kiri Chlorophytum comosum tiba-tiba terbuka. Seorang pria renta buncit penuh keriput dengan kaca mata tebal masuk ke dalamnya. Selain karena tongkat hitam pekat yang dipakainya untuk membantu bertahan karena osteo arthtritis yang dideritanya, ia terlihat masih kuat untuk usia 80-an. Ia sedikit melirik keluar lalu menutup kembali pintu ruang kerja tersebut. Ini adalah kakek yang sama dengan yang ada di foto di atas meja.

Kakek tersebut berjalan masuk dan duduk di kursi hitam di antara lemari dan meja. Tangannya yang renta mengambil cicin di atas meja dan mengamatinya. Sebuah cincin stainless abu-abu dengan garis hitam melingkarinya tepat di tengahnya. Lebar cincin itu kurang lebih 4 mm. Yang menarik adalah, di bagian dalam cincin tersebut, jelas terukir sebuah tulisan, dream yang entah bagaimana membawa hawa mistis. Jemari kakek tersebut seketika bergetar kecil. Ia kemudian meletakkan cincin itu dan mengambil surat yang tadinya tergeletak di samping cincin mistis itu dan mulai membacanya...

Djohar,

Cincin ini kubuat pada tahun 1998, ketika krisis moneter melanda negri ini. Aku membuatnya dari bahan stainless biasa. Namun lingkaran hitam itu, kubuat dengan bahan istimewa yang kudapat di hutan terlarang. Juga kulumuri cat itu dengan darahku. Aku pikir ini hanya akan jadi cincin biasa. Tapi aku sudah menceritakan padamu, kan? Cincin inilah yang membuatku dapat menyelinap kemanapun ketika aku tidur tanpa seorangpun melihatku.

Sekarang, orang-orang menganggap bahwa aku koma. Tapi sebenarnya tidak. Aku sedang keluar dari jasadku melalui cincin itu. Biasanya aku bisa memasuki tubuhku dengan memakaikan kembali cincin itu pada jasadku. Namun kali ini tidak. Aku tidak tahu kenapa. Misteri ini sulit dipecahkan. Mungkin cincin ini marah padaku karena aku menggunakan kesempatan dalam tidurku untuk hal-hal yang curang.

Sekarang, aku mohon padamu, bunuhlah aku. Ini sulit untuk hidup tanpa seorangpun dapat melihatku, tanpa seorangpun mengenalku. Karena hanya kematian yang dapat membuang kutukan ini.

Aku sedang berdiri di depanmu, di sebrang meja ini. Kumohon, bunuhlah aku.

Kakek bernama Djohar itu semakin bergetar, kali ini seluruh tubuhnya. Ia perlahan mengangkat kepalanya dan memandang lurus ke depan. Matanya tak melihat apa-apa selain dinding putih yang penuh dengan figura foto keluarga. Namun bunga matahari di meja kerjanya tiba-tiba bergoyang. Ia sama sekali tidak kaget melainkan mengerinyitkan dahinya dan mulai meneteskan air mata. Ia kemudian merasakannya, angin yang berbeda, hawa yang dingin, sedang berjalan ke luar ruang kerjanya. Beberapa detik kemudian, Chlorophytum comosum di antara lemari dan pintu bergerak dan pintu pun terbuka tanpa satupun sosok kasat mata yang bisa dilihatnya. Lima detik sampai pintu itu tertutup kembali, Djohar kemudian menangis. Ya, ini saatnya, sahabatnya pergi.

"Sastro, selamat jalan." Ujar Djohar lirih.

***

MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang