Esok malamnya Aldhen betul-betul membawaku pulang. Matahri baru beranjak ke peraduan saat Aldhen menggiringku ke ruang bawah tanah di bawah rumah yang ditempati Lucien. Kami melewati lorong yang pendek dan beberapa anak tangga sebelum sampai pada sebuah tempat lapang yang cukup luas, yang menampung beberapa jenis mobil mewah yang membuatku ternganga. Aku tak bisa menyebutkannya satu persatu karena aku pun tak mengetahui semua mereknya. Astaga, harga seluruh mobil di sini pasti melebihi kekayaan negara!
Belum habis kekagumanku, Aldhen menuntunku ke arah sebuah Lamborghini hitam mengilap. Aku mengerjapkan mata tak percaya. Wow. Apa memang vampir sekaya ini? Atau mereka memang termasuk jenis pecinta barang mewah?
Kalau kuperhatikan, pakaian Aldhen memang terkesan kuno, mirip bangsawan jaman dulu dengan sentuhan modern, tanpa cravat dan sejenisnya. Tapi bisa dibilang mantel panjang hitam, celana gelapnya yang membungkus kaki berototnya dengan sempurna, serta kemeja sutra yang juga berwarna gelap, pasti terbuat dari kain kualitas terbaik. Diam-diam aku melirik pakaianku, atau tepatnya pakaian yang disediakan Aldhen untukku. Astaga, jangan-jangan gaun-gaun itu juga harganya selangit? Aku menelan ludah. Hidupku berubah glamor dalam sekejap tanpa sepengetahuanku.
“Mobil-mobil ini milik siapa?” tanyaku dengan suara pelan.
“Lucien. Hanya yang ini yang merupakan milikku,” sahut Aldhen seraya membuka pintu Lamborghininya.
“Milik... Apa di mansion juga ada??” sahutku tercekat.
“Ya. Ada beberapa di ruang bawah tanah,” sahut Aldhen enteng. Ia mengisyaratkan agar aku masuk ke dalam mobilnya supaya ia bisa menutup pintunya.
Aku menurut dengan sangat hati-hati. Belum pernah seumur hidupku aku naik kendaraan mewah seperti ini. Dan kalau sekarang adalah waktunya, maka aku ingin merekamnya dalam ingatanku sebaik mungkin. Siapa tau ini akan jadi kesempatan pertama sekaligus terakhirku.
“Aku tidak tau kalau makhluk abadi suka barang mewah,” gumamku tanpa sadar.
Aldhen sudah duduk di sebelahku dan mulai memutar mobilnya dengan gerakan mulus seolah ia sudah sering melakukannya. Satu lagi hal yang membuatku tercengang. Kapan ia memulai keahliannya itu?
“Kami memiliki banyak waktu luang dalam eksistensi kami. Selain memperbanyak kekayaan yang memang sudah banyak, kami hanya bisa menyalurkan uang-uang itu dengan membeli beberapa barang berguna seperti mobil,” kata Aldhen.
“Tapi... mobil mewah?”
“Memangnya ada yang salah? Akselerasinya bagus, kegesitannya juga berguna jika aku harus mengejar para Pengkhianat yang menggunakan kendaraan untuk kabur,” kata Aldhen.
“Kau mengejar apa?” tanyaku kaget.
“Aku membasmi para Pengkhianat. Itulah hukumanku setelah aku membantai nyaris separuh klan gara-gara perpecahan itu,” kata Aldhen tanpa emosi.