Sakit sendiri jadinya menjadi pihak yang paling menyayangi pasangannya. Menangis sendiri ketika dirinya tak peduli pada seseorang yang sayang padanya.
Sikapnya memang berbeda dari kebanyakan orang. Cuek dan apa adanya. Itulah dia, si pangeran innocent.
Wajahnya memang tidak tampan namun berkharisma. Tidak pintar seperti kutu buku namun cukup tenar. Sopan itu khas dirinya.
Entah sejak kapan Chinta sering memperhatikan orang itu. Orang yang sudah membuatnya jungkir balik dari dunia tenar menjadi dunia kusam macam ini.
Mengenalnya mungkin adalah kebahagian tersendiri bagi diri Chinta. Mengetahui hobi dan kebiasaannya adalah hal luar biasa bagi Chinta. Menjadi pacarnya adalah impian terpendam Chinta. Tapi mencintainya adalah kesalahan terbesar yang dilakukan Chinta. Hingga jadinya seperti sekarang.
Menangis dan menangis yang bisa dia lakukan. Menyesali semua yang sudah berlalu. Takdir. Dirinya bukanlah untuk Chinta miliki.
Harapannya hancur saat tahu takdir tak berpihak padanya.
Bertahun-tahun hanya kesedihan yang dirasakan. Keterpurukan dalam hidupnya belum berhasil membuat Chinta bangkit seperti dulu.
Namun sekarang berbeda. Semua sudah berakhir dalam konteks resmi yang dia ambil sebagai resiko. Melukai hati lagi demi harapan esok.
.
♡Tahun pertama♡
Awal MOS Chinta satu grup dengannya. Hanya ada rasa simpati karena dia tak memiliki satu pun teman seperti dirinya yang langsung mendapat banyak teman.
♡Tahun kedua♡
Kelas sebelas A1. Kelas pertama, Chinta satu ruangan dengannya. Perasaan itu mulai tumbuh di hati karena terbiasa. Mengetahui setiap kebiasaannya. Pengagum rahasia menjadi pilihan Chinta waktu itu.
♡Tahun ketiga♡
Sebentar lagi lulusan dan prom night. Untuk pertama kalinya Chinta berhasil mengajaknya ke prom bareng. Rasa bahagia itu menyelimuti malam Chinta. Meski pada akhirnya akan berakhir.
"Aku suka kamu Val"
Keberanian Chinta memang patut di acungi jempol. Pengakuan yang berakhir naas pada dirinya. Patah hati itu yang dia dapat. Namun tak urung membuatnya sedikit lega karena rasa itu sudah tersampaikan.
♡Tahun keempat♡
Awal kuliah.
Chinta memulai semuanya dari awal. Meski rasa sakit itu masih ada. Namun dia percaya takdir tidak akan membuatnya makin terpuruk.
Kenyataan terpahitnya adalah takdir yang tak berpihak padanya. Chinta bertemu lagi dengan dirinya. Orang sama yang memberikan rasa sakit di hatinya.
♡Tahun kelima♡
Seakan takdir mempermainkannya. Setiap ada forum yang di adakan oleh universitas, Chinta harus menelan pil pahit saat harus bersamanya.
♡Tahun keenam♡
Semua usaha itu sia-sia. Perasaannya masih sama. Meski Chinta selalu berusaha mengelak dan menguburnya. Tapi hati tidak bisa bohong. Perasaan itu menyiksa dirinya.
Haruskah Chinta menghilang lagi demi hatinya yang bahkan tidak bisa di katakan utuh lagi?
♡Tahun ketujuh♡
Chinta berusaha menguatkan hatinya bahwa yang lalu biarlah berlalu. Namun hatinya menolak. Kata menunggu tak pernah terhapus dalam hati Chinta.
Menunggu hal yang tak pasti?
♡Tahun kedelapan♡
Setelah lulus dan menjadi sarjana 1 di kotanya. Chinta bertekad akan menjadi anak yang mandiri. Mencari kerja dan tinggal terpisah dengan keluarga tercinta. Nasib baik menghampiri, semua keinginannya dapat terkabul dengan baik.
♡Tahun kesembilan♡
Saat rapat dengan para client di salah satu restoran mewah ternama, Chinta terperanjat kaget melihat sosoknya yang masih sama seperti terakhir kali dia lihat. Mungkin hanya pakaian dan cara bicaranya yang berbeda.
♡Tahun kesepuluh♡
Takdir seakan membawanya ke kubangan kenangan buruk lalu, saat Chinta harus puas diri menjadi pihak yang terluka karena rasa yang timbul di hatinya. Tersenyum kecut bahwa semua tak akan pernah berubah.
Kertas bertuliskan nama pasangan yang akan melangsungkan pernikahannya sebulan lagi, membuat Chinta harus sadar diri. Bahwa dirinya sampai kapanpun tidak akan pernah bisa dia miliki.
****
Chinta merapikan meja kerjanya dan berlalu keluar dari kantor yang telah menerimanya bekerja selama tiga tahun belakangan. Keputusannya untuk resight dari pekerjaan itu demi masa depan yang ingin Chinta wujudkan meski masih ada perasaan ragu di hati.
Setelah kakinya menginjak keluar dari tempat itu, masa lalu pun akan dia lupakan. Meninggalkan pengalaman kelam itu bersamaan dengan kakinya yang melangkah keluar dari gedung pencakar langit di belakangnya.
Chinta sadar. Saatnya untuk dirinya berhenti berharap.
Berharap sesuatu yang tak pasti. Sesuatu yang akhirnya akan tetap sama seperti tahun-tahun lalu. Mungkin keputusan paling benar adalah pergi menjauh dan menghilang dari jangkauannya..
.Dear Valen....
Perasaan itu masih ada di sini. Di tempat yang sama sejak 10 tahun yang lalu. Menunggu orang yang sama untuk mengambil dan menerimanya sepenuh hati. Namun tak pernah ada kesempatan untuk rasa itu bisa ada di samping dirimu.
Semua sudah aku lakukan untuk bisa melupakan. Tapi hatiku menolak. Menolak mengingkari semua hal yang belum pernah terucap. Menolak untuk itu.
Untuk terakhir kalinya aku ingin mengatakan ini...,
Aku mencintaimu, Valen.
Chinta.
.
.Sepucuk surat itu masih menggantung di udara bebas bagai harapannya yang masih belum bisa menemui titik terang.
Akankah usahanya sia-sia? Sanggupkah dia hidup tanpa cinta dari orang itu?
Tidak.
"Aku juga mencintaimu, Chinta."
Kata-kata itu bahkan sudah tidak ada artinya lagi baginya. Menyia-nyiakan ketulusan Chinta selama lebih dari 10 tahun itu adalah kesalahan terbesarnya.
Mungkin takdir tidak akan pernah berpihak padanya. Pada cintanya. Pada Chinta. Lalu apa yang dilakukannya selama ini? Menipu diri sendiri dengan mengatakan tidak, lalu saat semua sudah terlambat haruskah dia menyesal?
Menyesal jelas dia rasakan. Mengkhianati hati tulus hanya karena kebutaan terhadap dunia. Menyesal tak akan pernah ada gunanya.
.
.
.
.
.
.
.
.Saat kita mulai sadar bahwa hidup bukan hanya untuk diratapi, kita mengerti. Kita harus melangkah maju, bukan hanya diam di tempat meski hasil tak sesuai harapan.
Nisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berhenti Berharap
ChickLitJika pada akhirnya akan seperti ini, lebih baik memilih diam di tempat tanpa harus melangkah maju dan menggapai dirinya.