Part 1: Obsesi

41 0 0
                                    

 Sudah hampir 2 minggu salah satu teman sekelasku tidak menghadiri sekolah. Resti maupun keluarganya tidak dapat dihubungi oleh pihak sekolah maupun oleh teman-temannya. Menghilangnya Resti yang tiba-tiba sepertinya membuat semua orang terkejut dan bingung. Banyak rumor yang beredar, seperti bahwa Resti diam-diam dikeluarkan dari sekolah karena hamil hingga menderita penyakit kronis dan harus menerima pengobatan di luar negeri. Semua murid di kelasku, bukan, semua murid di sekolah tampak merindukan Resti. Memang Resti adalah gadis yang terkenal ceria, yang meramaikan hari dengan tawa cerianya. Tetapi bagiku, menghilangnya Resti membuat aku mengulum senyum dalam diam.

***

Siang itu, matahari tampak bersemangat membagikan cahayanya ke bumi. Sementara aku duduk di sudut kantin sekolah, menorehkan garis-garis hitam ke dalam kertas gambar yang kubawa. Aku memikirkan betapa berbedanya diriku dengan matahari di langit sana. Orang tuaku memberi nama Matahari untuk diriku pastinya dengan harapan bahwa aku akan tumbuh bagai matahari yang selalu bersinar terang setiap hari tanpa lelah. Ironis sekali, namaku dan kepribadianku sangat bertolak belakang. Tak seperti matahari yang menjadi bintang utama di cakrawala siang hari, aku lebih suka diam, menyendiri. Aku dapat dibilang menutup diri dari orang lain dan tak banyak bicara. Alasannya? Aku selalu merasa setiap kata-kata yang aku ucapkan, setiap gerak gerik yang aku lakukan, ribuan pandangan orang akan mengolok-olok diriku. Setiap perasaan yang aku alami sehari-hari, semua angan yang aku impian pada malam hari hanya dapat aku curahkan melalui gambar yang aku lukiskan di buku sketsa kesayanganku itu. Bagiku sebuah gambar dapat menjelaskan semua hal tanpa kata-kata.

"Hai, sebelah lo kosong kan ? Gua duduk di sini ya!"

Suara seorang lelaki dari arah kiri itu membuyarkan lamunanku. Aku menatap wajah seorang lelaki yang tampan, sedang menunggu izin dariku untuk menduduk bangku tepat di sebelah kirku yang kosong itu.

"Ehm.... Boleh ?" ia berdeham menyadarkanku dari lamunan untuk kedua kalinya.

"Oh ya.... Boleh, gak apa-apa kok," sahutku kelabakan.

"Sorry ya kalau ganggu. Gua Dival dari kelas 11-2. Nama lo... Matahari kan? Nama lo bagus deh."

"Eh makasih,kak. Panggil aja gua Riri."

"Itu gambaran lo? Sumpah bagus banget !" matanya terlihat bersinar-sinar.

"Thank you, tapi ini biasa aja kok."

"Kalau gambaran lu biasa aja, gambaran gua berarti jelek pake banget banget dong," sahutnya sambil tertawa lepas.

"Hahaha," aku hanya balas tertawa pelan karena tak tahu harus berkata apa lagi.

Kak DIval hanya mengangguk tersenyum lalu mulai melahap semangkuk bakso yang ia bawa. DIval, seorang pemain volley terbaik sekolah, dengan fisik yang tak perlu dipertanyakan, seorang Dival yang merupakan lelaki idaman hampir semua perempuan di sekolahku ini, duduk di sebelahku. Seorang Matahari, yang bahkan dianggap tak terlihat oleh orang lain. Ia bahkan mengetahui namaku, for God's sake!

Di sudut kantin siang itu, Kak Dival mengobrol panjang dengan diriku dan melontarkan satu dua lelucon. Hari itu aku merasa sangat bahagia, tak seperti biasanya. Semua informasi kecil, Kak Dival yang menyukai warna hijau, anjingnya Roki yang mati karena kecelakaan, dirinya yang alergi terhadap tomat, seakan terpatri dalam otakku. Hari itu, aku merasa spesial. Hari itu, aku menemukan pandangan mata seseorang yang tak akan mengolok-olok diriku. Yang tidak aku sadari adalah, bahwa Kak Dival lah yang akan membuatku bertemu dengan Bulan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 28, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Matahari dan BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang