Like A Virus (Jung Kook BTS)

647 46 4
                                    

Title :  Like a Virus.

Author : kimikookie

Main cast : Jeon Jung Kook; Kim Hyeo Ri

Genre : Hurt

Rate : PG-15

Lenght : Oneshot

A/N : Main cast bukan milik saya, sedang cerita asli milik saya. Jangan jadi silent reader, saya hormati kritik dan saran. Dan jangan jadi plagiator^^

*****

"Sebab cinta itu ibarat virus, berasal dari satu orang kemudian menyebar, dapat di kristalkan bahkan saat inangnya hilang..."

*****

  Seperti ada ribuan belati di dalam angin, terus menghujam saat tersentuh kulit, sakit. Sampai rasanya tak bisa berkata lagi.

Andai darahnya bisa terlihat, andai lubang yang telah ia ukir di dalam relungku dapat terpampang nyata, andai waktu dapat kuputar ke masa lampau.
Andai dan terus berandai-andai.
Itu yang kulakukan.

Kulihat dirinya setengah gila, mati-matian menahan rasa, hampir putus asa.

Merenung dan meraung,
Tak peduli siang atau pun malam.

Dirinya benar-benar rapuh,
Seperti sutera yang akan robek bila tersentuh.

Aku jadi berpikir, inikah karma?

“Jangan mendekat!” Ia membentakku, keras. Sampai aku hampir terjungkal karena kaget.

“Sudah kubilang jangan mendekat!” Lagi, lebih keras. Ia melempar bantalnya tepat ke arah wajahku.

“Maafkan aku....” lirihnya kemudian. Suaranya teramat rapuh. Aku tersenyum.

“Jangan berkata seperti itu, Jung—”

“Jangan berbicara!”

Aku kembali tersentak saat ia membentak lagi. Sedikit rasa kesal hinggap di dada, ingin rasanya kucaci, namun tak berani.

“Untuk apa kau datang ke sini lagi, hah?!” Ia bertanya, nyaris membentak dan sarkastik.

“Tentu untuk menemuimu, Jung Kook,” jawabku seraya mendekat, ia berpaling, enggan menatap.

“Kau ingin menertawakanku?”

“Tentu saja tidak, aku mencintaimu....”

Ia mengusap wajahnya gusar, sedikit menghentakkan kakinya di atas kasur, kemudian meringis.

“Kau tak apa?” Aku bertanya, cemas.

“Tak usah pedulikan aku!” jawabnya sinis, “Hei, sampai kapan kau akan bersinis ria padaku?!” protesku, aku memekik.

“Sampai kau tak lagi mencintaiku....”

“Namun sayangnya, sudah beberapa kali kucoba untuk membencimu, yang ada malah semakin besar rasa cintaku padamu,” balasku, kulihat ia menatapku tajam, kemudian menggertakkan giginya.

“Kau—kau benar-benar! Untuk apa kau mencintai mahluk terkutuk sepertiku? Bahkan, bahkan aku tak mencintaimu lagi! Kehadiranmu bagai kilatan-kilatan masa lalu menyakitkan! Kau tak tahu, saat ini, saat kulihat wajahmu, aku bisa melihat kebejatan diriku atas dirimu. Kenapa kau terus berlakon seperti baik-baik saja bahkan di saat hatimu kecut? Jangan hiraukan aku! Kau hanya perlu pergi dan membuka lembaran baru, hidup tanpa ada bayang bayang diriku!”

Hatiku mencelos, lagi-lagi kurasa ada ribuan belati menghujam relungku saat mendengar ucapannya. Lidahnya tajam sekali, membuatku merasa seperti ada besi yang tertancap di tenggorokan, sulit untuk mengatakan sepatah kata pun.

Perlahan, aku memberanikan diri untuk menatap obsidiannya yang teramat kelam, pandanganku buram. Terlalu banyak air asin paling nista yang telah menggenang di ujung pelupuk mataku.

“Kau tak tahu, terlalu banyak kata-kata yang tak bisa kukatakan padamu—”

Napasku tercekat saat kurasa seperti ada batu besar menghantam kerongkonganku, rasa sesak menggulung di dada. perlahan air mata jatuh membentuk sungai kecil di pipi, semakin deras seolah mengejek sang empunya.

“Kau tahu—aku tak mudah melupakan, menjauh, dan berpaling darimu. Hari ini aku masih seperti ini, jika kau melihatku begini, kau akan menyebutku orang bodoh, kan? Tapi, Inilah aku, bahkan saat kau pergi sampai pulang larut malam, Aku tak bisa tidur, terus memikirkanmu. Berharap cemas kau akan pulang lebih cepat meski nyatanya kau pulang larut," Aku sedikit memberi jeda, kembali menatap obsidiannya yang kini memandangku kosong. Lalu menghela napas panjang sekedar untuk mengisi rongga paru-paruku yang terasa kering.

“Sampai aku tidur di sofa ruang tamu, dan di pagi hari kudapati kau tertidur diranjang kita dengan nyenyak. Bahkan dengan bau alkohol yang masih menyengat.”

“Maafkan aku," Jung Kook memotong, aku mendesis.

“Tiada gunanya meminta maaf.”

“Kau bodoh, Kim Hyeo Ri,” hardik Jung Kook. Aku menatapnya lurus-lurus,

“Aku memang bodoh, kau tahu itu sejak dulu. Tadi kau menyuruhku membuka lembaran baru, tapi bagaimana mungkin? Bagaimana aku bisa membuka lembaran baru saat yang kusebut buku harian dalam hidupku adalah dirimu? Dan bagaimana aku bisa menghilangkan bayang-bayangmu saat wajahmu sudah melekat terlalu kuat dalam memoriku?!” Aku memekik disela-sela isakan. Entah sejak kapan air mata mengalir keluar, dadaku naik-turun menahan kesal di dada. Deru napas memburu tak beratur, kemudian menyeka air mataku kasar.

“Terkadang aku berpikir, mengapa ada orang tolol diatas orang bodoh—kau yang terlalu bodoh, mencintai orang tolol sepertiku.” Jung Kook memberi jeda, kemudian mengacak rambutnya gusar.

“Kau tak pernah marah saat aku pulang malam, tapi kau tersenyum. Kau tak pernah mencaci wanita yang kubawa, kau hanya tersenyum. Itu benar-benar mengoyak hatiku, kau tahu?”

Ia bersandar di dashboard ranjangnya, menarik selimutnya lebih tinggi.

“Di sini terlalu dingin....” gumamnya, aku tersenyum miris.

“Mau kupeluk?” Aku bertanya, ia menggeleng lemah. “Kau pulang saja, dan jangan temui aku lagi....”

Harus berapa kali aku merasa sakit? Luka ini semakin meradang, seperti ada garam yang tertabur di atasnya, Aku menatap dalam dwimanik Jung Kook.

“Aku mencintaimu tulus, Jung.”

“Aku juga, tapi—”

“Untuk sekali ini bisakah tak ada penolakan?”

“Aku akan terus menolak, tak ingin membuatmu menderita, cukup aku.”

“Memangnya kenapa?”

“Penyakit ini menular, kau harus menjauh dariku. Hidupku terisolasi.”

“Aku tak peduli..”

“Bullshit. Ucapanmu hanya di mulut saja, kau akan menyesal jika kau tertular dan aku tahu hatimu bimbang berada disini....” Jung Kook menarik sudut bibirnya, tersenyum meremehkan.

Aku bergeming, mencerna perkataannya, tubuhku seakan berkata kalau ucapan Jung Kook benar. Tapi, egoku masih terlalu besar. Aku tersenyum kemudian mendongak, berjalan mendekatinya sambil tersenyum hangat.

“Hanya karena AIDS? Aku tak peduli karena aku mencintaimu, Jeon Jung Kook....”

Kataku sebelum mencium tepat di bibirnya. Bisa kurasakan napasnya tercekat, matanya pasti terbelalak.
Kan sudah kubilang, aku mencintainya dengan tulus.

-FIN-

Published : August 30, 2015
Edited : November 4, 2016

Like A Virus (Jung Kook BTS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang