Part 2

462 26 5
                                    

HIM
Jesamine Gandy/Ben Barnes
New Adult

Ben Barnes and David Gandy belong to themselves. OC and story are mine.

A/n: Happy reading guys. Sorry for typos ^^
-Valuable94-

***

Apa ada yang ingin kalian tanyakan padaku? Oh, kurasa ada banyak. Tapi kalian tak perlu bersusah payah meneriakkan pertanyaan itu. Cukup dengarkan ceritaku dan duduklah dengan manis karena aku juga perlu menarik napas panjang sebelum memberitahu kalian seburuk apa malamku itu—yang sebelumnya kusebut pertanda buruk.

Hufttt, harus kuakui jika itu memang malam yang benar-benar buruk. Aku bahkan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa menenangkan diri ketika melihat ada begitu banyak kapas bernoda darah yang kubuang setelah baku hantam mereka, em ... maksudku Ben yang terkena hantaman ayah.

Oh, Benku yang tampan dan malang. Sangat mengenaskan. Jantungku masih berdetak cepat, tapi tak secepat beberapa menit lalu. Aku tidak keberatan dengan panggilan kurang ajar yang ayah tujukan pada Ben selama pertengkaran tadi, hanya saja aku merasa perlu memarahinya karena telah memukul Ben bahkan hanya berselang hitungan detik setelah ia menyadari keberadaan kami. Langkah-langkah mantap, tatapan tajam, dan pukulan mantapnya masih begitu membekas diingatakanku, dan sangat membekas di wajah Ben.

Sekarang kami sedang duduk di dalam mobil di jok belakang dengan mesin yang masih menyala. Ben sesekali masih meringis merasakan perih di sekitar hidung, pipi, dan tulang rahangnya. Ayah memukulnya telak sementara ia sama sekali tak berniat membalas pukulan-pukulan mengerikan itu. Demi Tuhan, membayangkannya saja bisa membuat gigiku ngilu.

"Apa kubilang, tidak usah menolong orang itu," semburku kesal.

"Yang kausebut 'orang itu' ayahmu sendiri." Ben memberengut.

Aku tidak tahu jika itu ayah—sejujurnya kami berdua memang tidak tahu. Tapi satu hal yang bisa kupastikan adalah ayah bisa lebih kejam dari perampok jalanan. Buktinya? Pria yang meringis dengan wajah babak belur di depanku ini.

Ben meringis lagi saat kapas berisi alcohol itu menyentuh memar di hidungnya yang tadi sempat berdarah.

"Kurasa hidungmu patah." Ben hanya mengangguk. Matanya tertutup rapat. Seolah perbuatan itu bisa mengurangi rasa perih di wajahnya.

"Kita harus ke rumah sakit sekarang," usulku.

Ben menggeleng, matanya terbuka lagi. Tanganku menyingkir dari wajahnya saat dia bergerak membenarkan posisi duduknya. Tangannya masih mencengkeram perutnya. Kemudian meringis lagi. Ya Tuhan, aku tidak bisa melihat Ben terus seperti ini.

"Duduk di sini! Aku yang akan menyetir."

Tanganku ditahan ben sebelum aku membuka pintu mobil. "Ke mana ayah dan ibumu?"

Aku mendesah pasrah kemudian duduk lagi di sampingnya dengan kotak p3k di pangkuan. "Aku tidak yakin. Kurasa tadi ibu menyeret ayah kembali ke mobil. Sebentar," aku melongok melalui jendela mobil. Dari sini terlihat mimik muka ayah dan ibu sedang bersitegang terkena sorot lampu mobil kami, "mereka masih di mobil." Suaraku melemah.

Jujur, aku tidak berani melihat mereka sedang bertengar terlalu lama. Dulu saat masih sekolah dasar aku pernah melihat ibu menangis di ujung sofa sementara ayah hanya diam dengan wajah memerah di ujung lainnya. Mereka tidak saling bicara beberapa hari sebelum aku dibawa ibu ke rumah nenek dan seminggu kemudian dijemput ayah lagi. Setelah itu yang aku tahu kehidupan keluarga kami berangsur membaik.

"Hei, ada apa?" Ben menangkup kedua pipiku. Matanya memerhatikanku lekat. Kemudian aku tertunduk lagi. Tidak pernah tahan dengan sorot tajam mata itu.

HIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang