Archipelago

3K 257 95
                                    

Aku kembali melihat tanganku. Yah, paling tidak, apa yang masih bisa disebut sebagai tangan.

Sedikit melenggangkan kakiku, aku duduk termangu. Aku tidak mengenali tempat ini sama sekali. Di ujung sana ada sebuah menara yang menjulang sangat tinggi. Menara itu nampaknya terbuat dari beton asli, dan mataku bisa menilai bahwa dulu menara itu – pernah – berwarna gading.

Gading. Gading.

Aku menggaruk sedikit kepalaku. Gading. Kata itu terasa begitu familiar di kepalaku, mengetuk-ngetuk sebuah pintu keras di dalam alam bawah sadarku. Beberapa gambar mulai beterbangan di depan mataku, beberapa gambar yang paling dekat di memoriku dengan kosakata gading.

Ada sebuah pipa. Ada ukiran dari yang nampak seperti tulang. Ada serbuk berwarna putih kusam. Ada seekor gajah.

Ah. Gajah. Itu dia asal dari yang namanya gading.

Selesai dengan pencarian singkatku, aku menarik mataku kembali ke realita. Mengapa tempat ini begitu gelap?

Aku menghela nafas. Udara terasa begitu berat di paru-paruku. Aku tidak merasa yakin aku ingin bergerak, dan terakhir kali aku melihat kawanku mencoba bergerak di daerah seperti ini, Kilat menyerangnya.

Ya. Kilat.

Itulah istilah yang digunakan oleh kami yang tersisa. Kilat, karena ketika mereka muncul, seakan ada halilintar raksasa yang menghantam Bumi selama sepersekian detik.

Sepersekian detik itu cukup untuk membunuh ratusan dari kami.

Paling tidak, itulah yang kudengar. Aku tidak ingat lagi apa yang kualami secara runtut, namun aku bisa mengingat apa yang telah diceritakan kepadaku. Dan aku ingat bahwa salah satu dari kami pernah menceritakan kepadaku bahwa ratusan tahun yang lalu, ras manusia menciptakan Sentiens – robot yang memiliki kecerdasan sendiri yang mampu belajar, berkembang, dan memanfaatkan pengalaman – dan, tanpa mereka sadari, mereka baru saja memulai akhir mereka. Tidak ada yang punya ingatan mengenai apa yang terjadi antara kelahiran Sentiens dan masa ini, namun dari kasak-kusuk yang beredar, Genes – Sentiens yang pertama – menciptakan lebih banyak Sentiens lain dan mengambil alih kendali Bumi dari para manusia.

Kemudian pecahlah perang. Organisme melawan mekanisme.

Hingga sekarang, aku belum mendengar sedikitpun mengenai siapa yang memenangkan perang itu. Namun, jujur saja, aku tidak terlalu peduli. Aku memiliki lebih banyak hal untuk kukhawatirkan saat ini.

Kami tidak tahu apa yang bergerak di balik Kilat. Kami tidak tahu sedikitpun mengenai Kilat kecuali bahwa mereka ada untuk membunuh kami. Sebelum kami mulai masuk ke wilayah ini, kami sangat jarang bertemu Kilat dan aku bisa dengan bangga mengatakan bahwa kami susah sekali dibunuh. Entah itu karena bekal pengetahuan kami, karena keberuntungan, karena takdir, atau bahkan Tuhan, kami juga tidak tahu. Namun kami mencapai wilayah ini juga dengan selamat.

Namun, tidak seperti alam, Kilat bisa membunuh kami dengan sangat mudahnya.

Aku mulai merasa sedikit pusing dan memijit ringan pelipisku, perlahan melihat ke sekelilingku dengan sangat berhati-hati. Ya, Perang Kudeta telah menjadi masa lalu, dan dunia telah berubah setelah itu. Namun itu tidak berarti aku tidak bisa membaca. Dalam kondisi seperti ini – di mana dunia telah menjadi reruntuhan dari peradaban-peradaban yang telah lalu – ternyata kemampuan membaca bisa menentukan perbedaan antara hidup dan mati. Kami bisa memilah hal-hal yang kami butuhkan, bisa mengenali kinerja berbagai hal dari masa lampau yang masih bertahan hingga sekarang seperti mobil dan kereta, dan bahkan meneruskan pesan di antara sesama kami. Kami berada di seluruh penjuru dunia, namun kami terpencar di dalam kantong-kantong gerak. Kelompokku baru tiga minggu menduduki wilayah ini. Wilayah lama kami mulai menjadi tidak kondusif dan kami tidak punya pilihan selain bergerak. Mengapa ke wilayah ini, kami tidak tahu. Kami membiarkan naluri kami menuntun langkah kami, dan ternyata kami tiba di sini.

ArchipelagoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang