Leo garuk-garuk kepala. Ia menyendiri di dalam kamar mandi rumah bersalin milik seorang bidan. Kucurannya sudah selesai, hanya saja ia ingin tinggal lebih lama di dalam. Mengurai kejadian dadakan malam ini.
Jadi bapak dalam semalam? Oh, tidak. Ia belum pernah menjamah perempuan manapun. Punya pacar saja tidak. Ini malah jadi suami dari ibu-ibu muda yang ia antar melahirkan. Suruh meng-azani anaknya pula.
"Astaga, apa aku pernah mabok teros nindih cewek sampek dia hamil ya? Masa iya sih? Nongkrong di ankringan nggak ada menu bir bintang deh perasaan. Minumanku juga paling kopi susu aja."
Leo coba mengingat-ingat. Ia pernah mampir ke mana, atau kenal di mana perempuan yang sedang menyusui di kamar tersebut. Tapi, semakin ia ingat semakin ia tak ingat.
Mendesah, ia pun memutuskan keluar. Lama-lama pesing juga di dalam kamar mandi. Begitu terbuka, ia lihat Serly, nama perempuan yang ia tolong tadi sedang menyusui bayinya. Mendekat, Leo bisa melihat tetek Serly yang dikeluarkan dari sarang guna disedot sang bayi. Ludah Leo ia telan bulat-bulat. Auh, ia juga pengen menggantikan si bayi.
Serly menoleh begitu menyadari ada Leo datang. "Makasih banyak ya."
Leo hanya meringis. "Hehehe, iya. Sama-sama."
"Kamu pasti kaget banget tadi."
Mengangguk. "Banget. Tapi, kalau boleh tahu nih. Bapaknya ke mana memang? Nggak ikut nyusu, eh maksudnya bantuin lahiran?"
Baiklah, Leo fokus lihat si bayi saja. Jangan sumber makanan si bayi yang terlihat mulus tanpa bercak. Bisa lah, ia coba kasih bercak kapan-kapan pakek giginya yang gingsul sedikit sebelah kiri. Eits, istri orang. Ya ampun!
"Bapaknya ... nggak tahu tuh ke mana."
Raut bahagia yang tadi Serly pancarkan kala melihat si bayi belum punya nama resmi, pudar. Berganti dengan lekat kesedihan. Leo jadi tak enak hati. Mungkin suaminya sudah almarhum, jadinya Leo kira Serly sedih.
"Betewe, kamu tinggal di mana? Kok tadi jalan ke sininya." Leo gegas mengalihkan pembicaraan.
"Di gang Salem."
Leo mengangguk. Deketan dong. Aku di gang patin. Satu gang sebelum ke rumah kamu kalau dari sini."
***
Demi rasa kemanusiaan yang memang hati Leo sungguh lemah pada perempuan dan orang tua, ia pun mengantar Serly ke rumah. Namun terlebih dulu ia pulang mengambil motor untuk membonceng Serly serta Agam, nama anaknya yang artinya laki-laki kuat.
Sampai di depan sebuah rumah yang lampunya masih menyala dari semalam, Leo membantu Serly turun dan membukakan pintu. Rupanya tidak dikunci saking paniknya Serly semalam. Untung lingkungan aman saja.
"Masuk aja, Le."
Leo masuk semakin dalam, bahkan ke kamar Serly. Ia edarkan pandangan pada rumah tak besar tapi rapi tersebut. Barang-barang di sana tak banyak. Hanya ada lemari, meja plastik yang di atasnya ada TV. Tidak ada meja kurai tamu, karena digelar tikar untuk orang yang bertamu.
Di dalam kamar, hanya ada kasur tanpa dipan, lemari kecil dan sebuah meja yang di atasnya ada beberapa alat make-up Serly.
"Maaf ya, Le, rumahnya kecil. Aku kontrak ini juga dicarikan sama temenku."
Leo meringis lagi. "Oh gitu. Tapi enak kok di sini. Kecil tapi nyaman. Halaman juga luas. Kalau berisik nggak nyampek ke tetangga."
Serly mengangguk. "Iya. Ada jarak antar rumah. Jadi, kalau aku teriak-teriak pas kesel nonton film, nggak bakal ganggu tetangga."
"Iya sih. Enak juga kalau buat patnam-patnam ya." Leo mengangguk-angguk.
Serly hanya geleng-geleng kepala. "Le, boleh minta gendongin Agam dulu? Aku mau mandi sebentar."
Leo lekas menerima Agam untuk ia gendong. Sementara Serly ke kamar mandi. Leo sih, senang-senang saja. Ia kecupi Agam yang sedang menggeliat. Tidurnya terusik karena cumbuan Leo di pipinya.
Dering telepon milik Leo membuatnya bergerak cepat agar Agam tak terganggu. Begitu melihat nama di layar ponsel dan melihat angka di jam dinding kamar Serly, ia lupa pada dua hal. Kerja, dan orang tuanya.
"Assal—"
"Kamu di mana, Le? Toko belum juga dibuka, ini anak-anak pada nanyain."
Tangis Agam membuat Leo berdiri dan tak langsung membalas pertanyaan ibunya. Malah dimatikan. Leo jelas kebingungan. Hendak menelepon ibunya lagi, tapi sudah ditelepon lebih dulu. Kali ini panggilan video.
Begiti wajah ibunya yang terlalu dekat nongol, Leo hanya meringis. "Buk, halo."
"Kamu di mana sih?"
Lagi, Agam menangis. Membuat Leo menoleh pada si bayi dan bergerak menimang agar tenang.
"Le, anak siapa itu?"
Leo melotot kaget. Astaga, ibunya dengar Agam nangis dong. Seketika ia arahnya wajah mendekat. "Anak temen, Buk. Aku lagi di rumah temen, bantu lahiran." Alasan Leo semoga saja diterima ibunya.
Agam masih saja menangis. Akhirnya Leo menaruh ponselnya di jendela yang belum terbuka. Agar ia tetap bisa sambil telepon dan menimang Agam.
"Bentar ya, Buk."
Leo bergerak sejenak. Kali ini leluasa, karena ponsel tak lagi di genggaman. Melihat Agam mulai tenang, ia menoleh pada ibuknya yang bengong di sana.
"Tokonya suruh Budi buka dulu, Buk. Kunci cadangan ada di kamarku. Sekarang lagi gawat darurat soalnya."
Sundari, ibu Leo berdecap. Pasalnya pagi-pagi ia pulang dari pasar, anak buah Leo pada datang ke rumah. Toko belum dibuka, padahal sudah jam sembilan. Biasanya toko material bangunan tersebut buka jam tujuh pagi.
"Ya udah. Buruan pul—"
"Eh, anak ibuk anteng nih. Maaf ya, Le, agak lama mandinya."
Leo tersenyum sambil menyerahkan Agam ke Serly. Kemudian tanpa risih, Serly mengeluarkan teteknya untuk segera menyusui Agam. Leo girang, karena ia sudah leluasa bergerak lagi. Ehm, sekaligus bisa lihat pemandangan aduhai lagi di depan mata.
"Pulang dulu ya, Agam. Nanti Papah Leo ke sini lagi. Papah Leo bau juga nih, belum mandi dari kemarin."
Leo hendak mencium pipi Agam tapi urung. Nanti, hidungnya nempel di tetek Serly kan, dia jadi terbuai. Ah, tidak usah saja.
Leo mengambil ponsel tanpa melihat dulu, bahwa emaknya masih menatap murka di seberang sana. Ia melambaikan tangan, dan keluar dari rumah Serly.
Hendak memasukkan ponsel ke saku, teriakan Sundari membuat Leo kaget.
"Leo! Kamu hamilin anak mana? Cepetan pulang buat jelasin!"
Leo meringis takut. Astaga, dari tadi emaknya masih telepon ternyata. Bisa runyam kalau begini.
_____
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar JANDA
HumorBagi Leo, menikah adalah harapan yang ia gadang sejak burungnya digunting oleh mantri sunat. Menginjak dewasa, ia tinggal menemukan partner hidup samawa. Sayang, ia kepalang sial. Membantu orang lahiran saat pulang kerja dan malah diakui jadi suami...