Hal itu terjadi begitu saja tanpa Aria sadari, tanpa Aria harapkan, apalagi impikan. Rasanya seperti kilat yang menyambar di siang hari, perasaan itu menrasuk begitu aja ke dalam benak Aria ketika ia melihatnya. Kalaupun ia sempat merasakan sedikit percik-percik panas yang mengalir sebelumnya, perasaan itu kini sudah dibumihanguskan oleh kesadaran mutlaknya beberapa detik yang lalu. Dengan tatapan terpana dan bibir sedikit terkuak, Aria memandang ke satu arah. Aria yakin dirinya jatuh cinta.
Aria menarik napas tajam saat cowok itu menoleh ke samping, membaca sepertinya. Dan hanya satu kata yang bisa Aria temukan untuk menggambarkan cowok itu. He is Perfect! Sempurna. Cowok itu bagaikan titisan Adonis, dengan wajah oke, alis melengkung tebal yang menaungi mata yang sewarna langit di tengah malam, dan lekukan bibir yang seolah minta dicium. Dan senyumnya... Oh, senyumnya mampu mencairkan es abadi di Kutub Utara dalam beberapa detik! Hanya dengan seulas senyum, yang diberikan cowok itu pada seorang waitress yang mengantarkan pesanannya, wajah cool cowok itu berubah menjadi hangat dan bersahabat. Dan Aria sadari, ada lesung pipit di pipi kirinya. Uhh... Yummy!
Lalu, kenyataan pahit menyambar Aria bagai petir yang kedua. Ia melirik ke layar laptopnya yang gelap dan nyaris bergidik saat melihat pantulan wajahnya di layar itu. Rambutnya diikat asal-asalan, ia tidak pakai make up, dan ada kantung mata hitam di bawah matanya lantaran kurang tidur. Tampangnya persis seperti tampang gembel yang nggak kenal dengan air. Buru-buru, tapi dengan teknik tak kentara, Aria merapikan sedikit rambutnya. Melepas ikatannya dan menyisir dengan jari secara sambil lalu. Setelah itu ia mengambil jepitan dan menjepit poninya dengan rapi. Yah, memang tidak maksimal, tapi setidaknya sekarang tampangnya sudah jauh lebih beradab ketimbang tadi.
Kenyataan lain kembali menggampar Aria dengan keras, tepat ketika ia nyaris menghela napas lega. Ia melihat betapa berantakannya meja yang ia tempati. Ada tiga gelas kopi kosong, tiga piring kecil bekas kue tart, dan sebotol air mineral. Hiiey, dia kelihatan seperti orang yang kelaparan! Mana sudah hampir dua jam ia duduk di cafe itu, merenung dan bersemedi mengharapkan dapat menemukan ide cerita untuk novelnya, yang tenggat waktunya tinggal tak berapa lama lagi. Dengan enggan ia menggeser mousenya, maka terpampanglah layar kosong Ms. Word. Bersih, tanpa satupun tanda titik atau huruf.
Aria mengerang dan mencuri pandang ke arah Si Ganteng, panggilan Aria buat cowok yang sudah memanah hatinya itu. Ayo, Aria, jangan berkecil hati! Kamu masih bisa mengumpulkan setiap keping harga diri yang kamu miliki! Dengan sisa tekadnya, Aria duduk lebih tegak, wajah semangat, dan posisi tangan di atas keyboard, walau ia belum tau mau menulis apa. Yang penting gaya dulu. Siapa tau si Ganteng melirik ke arahnya kan? hehe.
Kembali Aria mencuri pandang ke arah si Ganteng. Ya ampun, makin dilihat, cowok itu makin terlihat ganteng. Jantung Aria berdegup kencang hanya dengan menatap cowok itu. Pengunjung lain seolah kasat mata olehnya. Dan ia juga harus mati-matian menahan agar air liurnya tidak menetes dan menggenang di lantai di kakinya.
“Lihat ke sini... Lihat ke sini...”gumam Aria tanpa sadar.
Puji Tuhan! Seolah sinyal-sinyal acak dan mantra konyol yang sejak tadi dirapalkannya sampai pada cowok itu, si Ganteng mendongak. Dan melihat tepat ke arah Aria. Deg! Jantung Aria seolah berhenti berdetak saat itu juga. Nyaris iia terjungkal dari kursinya saking kagetnya. Dan semakin lama, semakin menggilalah degup jantung Aria. Mungkin sepulang nanti dia harus mampir ke dokter dulu, bertanya siapa tau ada jantung yang nagnggur, karena sepertinya sebentar lagi jantungnya akan segera tewas.
Dan tanpa diduga, sebuah senyum melekukkan bibir si Ganteng. Cowok itu tersenyum padanya!
Aria langsung yakin dirinya pasti sudah ada di surga.