"Maaf, aku baru mengatakannya sekarang dan telah menghabiskan waktumu untuk menunggu."
Petikan kalimat ringkas terucap dari tiga orang kepada satu sama lain. Kalimat yg mampu membuat aku, kamu, atau ia yang mendengar, merasa hatinya retak. Tak terbentuk lagi. Kecewa. Dan tak bisa melakukan apa pun, selain menghadapi kenyataan yang mengecewakan itu.
Pantai papakolea, enam tahun yang lalu.....
"Aku pasti kembali."
"....."
"Tenanglah, aku akan kembali. Sebelum aku pergi, berilah aku senyuman."
"Lawan bicaranya memamerkan senyum lebar, namun segera kembali ke raut wajah semula. Kesedihan jelas tercetak di wajah itu.
"Hei, kau kenapa? Kau akan lebih bagus bila begini." Ia menarik kedua sudut bibir lawan bicaranya dengan kedua jari telunjuknya. "Kau pasti bisa. Percayalah!"
"....."
"See you....."
Ia memutar tubuh, membelakangi lawan bicaranya. Meninggalkan derak pasir pantai yang mengambur lembut.
Lawan bicaranya hanya membisu. Bisu dalam cinta.
Kau tahu siapa lawan bicaranya? Aku. Ya, akulah lawan bicaranya. Aku yang tak pernah mengungkapkan rasa itu padanya. Terlalu naif untuk mengharapkan perasaanku dibalas dengan rasa yang porsinya sama.
Dari awal, aku tahu, ia sudah belajar melupakanku. Tapi, bagaimana denganku? Aku takkan pernah lupa. Dengan hati yang telah menjadi tempat peristirahatan terakhir cintaku.