Paviliun ke-tiga

728 1 1
                                    

1

Roda koper Siska berdecit makin nyaring. Dia menyeretnya lebih cepat, lalu berhenti tepat sebelum dua anak tangga yang menurun di depannya. Bukan. Bukan berhenti karena ada tangga, tapi karena melihat sesuatu yang lain.

Seorang perempuan dengan rambut hitam sebahu, tinggi, dan berkulit putih cerah berteriak kesetanan sambil membawa akuarium ikan kecil dan mengarahkan akuarium itu ke kolam renang yang ada di depannya.

“Kamu nggak kasian sama ikan ini?! Hidup sendirian di akuarium kecil gini…mending dilepasin aja!” ancam perempuan itu. Matanya berkilat marah, kepalanya mendongak pada sesosok pria yang ada di balkon lantai dua.

“Berani sentuh Siska aku bunuh kamu!” lelaki itu balik mengancam dari balkon lantai dua. Dia melonggarkan pegangannya pada kaktus yang ia pegang. Kaktus dalam pot mini itu sudah siap terjun bebas ke lantai satu.

Siska memiringkan kepalanya, mundur beberapa langkah. Siska? Lelaki itu memanggilnya?

“Jangan berani-berani lempar kaktusku! Sebelum kamu bunuh aku, aku akan bunuh kamu duluan!!” perempuan itu tak mau kalah, “Dan Siska kesayanganmu ini bakal ada di piring makan siangku!” dia berteriak makin keras.

“Beraninya di bawah! bawa-bawa Siska segala! Ayo kalau berani sini. Face to face. Masa sama adik sendiri takut!”

Perempuan itu memiringkan akuariumnya, hampir 45 derajat. Dan hampir-hampir membuat Siska mendapat rumah baru yang lebih luas: kolam renang.

“Yang ada aku juga sial punya adik kayak kamu!! Masukin kaktusku nggak?! Cepet! Atau Siskamu ini…” dia memiringkan akuariumnya.

“Hey! Berhenti! Udah!” seru seseorang dari belakang Siska, membuat Siska memutar tubuhnya. Tante Henik. Yang entah kenapa semakin sering dilihat semakin kelihatan cantik, “Rangga, Jasmine. Berhenti main-mainnya. Ada tamu!” tante Henik menyaut akuarium dari tangan Jasmine, nama perempuan itu. Yang terpaksa menyerahkannya pada tante Henik.

“Kamu bukannya ada kuliah hari ini?” Tante berjalan ke meja makan yang ada di sebelah Siska. “Dan kamu, Rangga. Nggak sekolah?” tante Henik mendongak.

Dengan raut muka acuh Rangga meletakkan kaktus ke raknya semula, “Gurunya sakit panu tante, nggak bisa ngajar. Check up katanya.” Jawabnya asal-asalan.

Tante Henik menggeleng, Rangga menempelkan dagunya ke pagar balkon, sementara Jasmine sibuk melihat Siska dengan seksama.

“Oh ya, ini Siska. Yang bakal tinggal di rumah kita. Keponakan Tante,” Tante merangkul Siska dari belakang. Memperkenalkannya pada Jasmine.

Siska tersenyum kikuk. Berdiri di depan Jasmine membuatnya minder. Jasmine sangat tinggi, Siska hanya sebahunya. Menyedihkan, “Siska.”

Jasmine tersenyum, “Jasmine. Panggil aja Jess.”

“Oh ya, Rangga, ini…” Tante mengalihkan pandangan ke balkon. Mendapati bahwa Rangga sudah menghilang ke dalam rumah Tante tersenyum kecut, “Ah, nanti kamu juga kenal sendiri, Sis.” Tante merangkul Siska makin rapat, “Sekarang, ayo ke rumah Tante. Kamar kamu udah Tante siapkan dari kemarin-kemarin loh…”

“Hey Sis…” Panggil Jasmine. Siska menoleh, disusul Tante, “Orang-orang di sini agak nggak waras. Apalagi Rangga itu, jadi, siap-siap aja deh.” Jasmine menggeleng sambil mengerlingkan mata pada Siska.

Siska memaksakan senyum. Mama menitipkannya di rumah macam apa?!

***

Rumah macam apa?

Rumah macam apa?

Sebenarnya rumah ini cukup unik. Nuansa etnik sudah terlihat begitu Siska memasuki rumah ini bersama Mama satu jam yang lalu. Tamannya cukup luas untuk ukuran rumah di kota. Dan garasinya? Hm, rupanya Mama menitipkannya ke saudara Mama yang kaya―yang tak pernah Mama ceritakan―terlalu kaya. Ada tiga mobil mewah terparkir, juga sepeda motor yang jumlahnya enam lebih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 23, 2011 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Paviliun ke-tigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang