Aku memicingkan mata, saat mencoba mencari arah suara yang memanggilku di seberang sana. Sinar matahari yang menuju ufuk barat tak hentinya menyengat mataku. Lantas, sebelah tanganku mencoba menghalangi masuknya cahaya nan terik itu. Telah letih mataku mencari-cari, hingga akhir terhenti pada sesosok tubuh yang tinggi menjulang, dengan kulit kecoklatan, serta senyuman ramahnya, tak lupa dengan gigi kelincinya. Siapa lagi? Kalau bukan Radit.
Radit adalah adik kelasku. Sebenarnya sih umur kami sebaya. Tetapi, karena ia terlambat masuk. Radit jadi satu tingkat di bawahku. Aku yang kelas dua SMA, dan Radit yang baru masuk SMA. Radit adalah tipikal orang yang bawel, nyinyir, dan nyebelin—bagiku. Adik kelasku yang paling bandel di antara yang bandel ini, sedang bergalau ria karena baru putus dari pacarnya Laras. Mereka berpisah karena ulah salah seorang anggota basket yang iseng merecoki hubungan mereka.
Layaknya aku yang juga baru menjomblokan diri, setelah putus dari mantan pacarku—Anggara. Tetapi, setidaknya aku tidak segalau Radit. Karena aku bisa mengisi kekosonganku dengan bermain bersama teman-temanku. Eh… Iya, kenalin namaku Laluna, akrab disapa Luna. Anak sematawayang yang manja banget, dan pastinya anak-anak seisi sekolahan bakalan nggak nyangka banget kalau orang yang setegas dan sekeras ini adalah anak satu-satunya. Tiba-tiba saja sosok itu—Radit, menuju ke arahku dan duduk di sampingku dengan melemparkan sebuah senyum sumringah yang tak asing lagi buatku.
“Kak, gue boleh curhat sama kakak nggak?” Tanya Radit.
“Boleh kok. Kenapa Dit? Laras lagi?” Tebak Luna.
“Nggak ahh… Siapa bilang” Sanggahnya.
“Terus ada apa?” Tanya Luna bingung.
“Sebelumnya gue mau numpang copy foto di kamera gue dulu dong di laptop kakak” Ujar Radit sambil mengambil memory card yang berada di kamera DSLR-nya.
“Nih, copy sendiri aja ya” Ujar Luna sembari memberikan laptopnya.
***
Enggak nyangka deh. Dibalik kebawelannya, ternyata Radit anaknya asyik juga. Tanpa kusadari dari tadi kerjaan kami hanya bercandaan sambil ngobrol ngarol-kidul. Ngobrol tentang pengalamannya selama jadi fotograferlah. Ngobrol tentang masa-masa saat aku masih bersama Anggaralah. Ngobrol tentang Laraslah. Pokoknya banyak banget deh obrolan di antara kami yang mengocok perut. Di saat kami tengah asyik tertawa nggak henti-hentinya, tibat-tiba saja Galih menghampiri kami.
“Ehem, sejak kapan Lo sama Luna, Dit?” Tanya Galih bingung sekaligus ngeledek.
“Sejak zaman baholak” Jawab Radit bercanda.
“Ciie… Cuit-cuit… Nggak nyangka deh. Ternyata selama ini, diam-diam Radit udah jadian sama Luna” Kicau Galih.
“Apaan sih?” Ujar Luna kesal.
“Lo tuh play boy banget ya? Baru aja putus sama Laras, udah main jadian aja sama Luna” Ujar Galih.
“Aduh… Apaan lagi nih?” Ujar Luna mulai semakin kesal.
“Beneran udah jadian nih sama Luna?” Tanya Galih akhirnya mulai serius.
“Kalau iya. Kenapa?” Ujar Radit asal ngomong.
“Apa!?” Ujar Galih terkejut.
***
Secepat kilat aku langsung menyambar tangan Radit dan membawanya pergi menjauh dari Galih. Entah setan apa yang merasukiku. Aku sangat berang dan kasam kepadanya. Enggak terima? Mungkin iya. Karena aku tak pernah membayangkan apa jadinya apabila aku sempat jadian sama juniornya. Mau ditaruh kemana image-ini?