Belum pernah kurasakan perasaan seperti ini, ketika kekecewaan dan kemarahan berpadu, memuncak seakan meledakkan jiwaku. Tapi secuil rasa ingin tahu mengenai ayahku, sempat terbersit juga.
Ayah.
Satu kata yang tak pernah kuucapkan sejak aku lahir. Memang aku memanggil kakek dan nenekku dengan sebutan Bapak dan Ibu karena mereka juga ikut mengurusku saat aku kecil. Namun rasanya berbeda saat aku bisa mengucapkannya pada ayah kandungku.
Kuputuskan untuk menemui ibuku dan membahas mengenai hal ini. Sudah cukup lama aku tidak mengunjungi beliau. Ibuku tinggal bersama keluarga barunya—suami dan anaknya yang berusia sekitar sepuluh tahun, aku sendiri tidak ingat. Selama ini aku hanya menghubungi ibuku melalui telepon, terlebih setelah aku mengirimkan uang bulanan. Meski seharusnya menafkahi ibuku adalah tanggung jawab suami barunya, tetapi sebagai anaknya aku merasa bertanggung jawab juga.
Aku tidak yakin ibuku ada di rumah, mengingat kedatanganku ini sangat mendadak dan tanpa menghubungi beliau terlebih dahulu. Sebenarnya aku tidak begitu suka bertemu dengan beliau, sebab yang ada di pikirannya hanya memarahiku. Tidak ada sepatah kata lembut yang muncul dari bibirnya.
Rumah ibuku terletak di gang sempit, yang tak jauh beda dengan gang kos Julian. Aku harus memarkirkan mobilku jauh di luar gang. Seperti biasanya, kehadiranku menghebohkan warga. Mereka mengira aku adalah bule asli yang tidak mengerti bahasa Indonesia. Beberapa di antara anak-anak kecil menyapaku dengan bahasa Inggris, "Hello, Mister", kemudian terbahak-bahak. Bahkan mereka juga memotretku diam-diam dengan ponsel masing-masing.
Kuhentikan langkahku di depan sebuah rumah sederhana bercat krem dengan pagar berukuran setinggi pahaku dengan warna yang sama. Dua sepeda motor diparkir berjajar di teras rumah. Pintunya tertutup rapat, tidak seperti rumah-rumah di sekitarnya yang pintunya dibiarkan terbuka. Hanya sekali kutekan bel yang terletak di samping pagar, lalu seseorang membuka pintu itu.
Lebih tepatnya anak kecil, yaitu adik tiriku. Dia hanya menatapku, tak mengucap apapun.
"Mama ada?"
Seakan terkejut karena aku berbicara bahasa Indonesia, "A-ada, Mister. Sebentar saya panggilkan Mama." Kudengar dia berteriak 'Ma! Ada bule cari Mama!', aku hanya mengulum senyum.
Ibuku melangkah tergesa-gesa ke arah pintu lalu menyambutku dengan wajah sedikit terkejut dan panik, "Kamu ngapain kemari?" Nada suaranya terdengar emosi. Aku bisa menduga.
Adik tiriku berlindung di belakang tubuh ibuku. Dia memandangku penasaran. Aku menebak pasti ibu tidak pernah menceritakan tentangku.
"Axel mau tanya sesuatu, Ma." jawabku singkat.
Raut wajah ibuku semakin kesal. Beliau menoleh ke arah adik tiriku, "Fadhil, sana main dulu di luar. Ibu mau ngomong sama bule!" Ternyata ibuku juga kasar terhadap adik tiriku.
Bahkan aku tidak dipersilakan duduk untuk berbicara. Aku tidak peduli dan tetap duduk di sofa di hadapan ibuku.
"Ngomong apa, Xel? Jangan lama-lama ya. Papa Fadhil sebentar lagi pulang. Dia nggak suka lihat kamu."
Kalau saja wanita ini bukan ibuku, aku mungkin akan mendecak karena sebal, "Nggak lama kok, Ma. Axel cuma mau tahu tentang ayah Axel. Ayah kandung."
Beliau terperangah mendengar pertanyaanku. Selama ini memang beliau tidak pernah menceritakan tentang ayahku. Yang kutahu, ayah kandungku pergi menelantarkan kami sehingga ibuku harus banting tulang mencari uang serta tak lupa menyalahkan dan memakiku tiap hari. Begitu pula kakek dan nenekku yang sangat membenci ayahku. Tumbuh dalam kebencian yang teramat sangat, membuatku tidak peduli pada sosok ayahku. Tapi kejadian barusan menyadarkanku bahwa sebenarnya aku penasaran tentang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Contact Person : AXEL
General Fiction[Dibukukan - Cetak dan E-Book] 'Hubungan percintaan bukan lagi sesuatu yang sakral. Semua bisa diperjualbelikan.' -Axel- Axel, penyedia jasa 'kekasih pura-pura', teriming-iming oleh pundi-pundi uang. Ketika ditawari untuk menjadi kekasih seseorang...