3. Mitos Keamanan

41 1 0
                                    

Langit cerah menjadi terang
dentuman nan jauh kedengaran
membelah sunyi alam
butir-butir peluru tak kenal sasaran
tidak mengenal siapa tuan
tidak mengenal siapa lawan
terus menembusi raga berjiwa

Tangisan si kecil bergema
sayup-sayup di udara
di celah ribut pertempuran
terkapai-kapai mencari tempat berpaut

Mungkinkah pernah terlintas di benak fikirannya
kenapa ini semua terjadi?
kenapa aku mangsanya?
adakah ini takdir bangsa ku?
pupus di hujung perang

Sesekali
potong-potong kenangan menerjah
cemeka wajah ayah dan bonda
tersenyum riang
menanti saat dewasa
tapi itu hanya kenangan

Cebisan-cebisan daging mentah
menutupi bumi
darah mewarnai tanah
menjadi hanyir kemerahan
gadis-gadis sunti
dicincang-cincang sucinya
dirobek-robek maruahnya
diperlakukan seperti boneka galaknya

Keamanan dinanti tidak kunjung tiba
peperangan terus bermaharajalela
hati membengkak melihat telatah sang durjana
memacukan senjata ke muka
meruntuh pusat ibadah
mengganyang pusat ilmu
menabrak tamadun yang dibina
demikian perilaku manusia ahmak
demikian wajar terlaknat dihukum

Petualang apa namanya ini?
kemusnahan beraja bernafsu
mana mungkin terbayar
nyawa-nyawa yang terlucut dari jasadnya
dirampas tanpa rela sang empunya

Dunia bagaikan terus terpaku
tangan dan kakinya dipasung
hanya terdaya menghambur kata bantahan
tidakkah mereka sedar
insan lemah terus diratah

Mari kita bergandingan bahu
hulurkan tangan
ringankan beban
agar sinar harapan bertunas kemabali
berkembang mekar mewangi
memecah mitos keamanan

Puisi: MindaWhere stories live. Discover now