Ta'aruf. Apa yang terlintas dalam pikiranmu ketika kau ndengar kata itu? Tentang perjodohan, pernikahan tanpa saling kenal atau pacaran ala cewek bercadar dengan cowok bercelana tanggung--pendek enggak panjang pun enggan. Suwer. Kalau itu yang ada dipikiranmu maka resmi deh kamu jadi manusia kudet. Hehehe.
"Ta'aruf dari segi Bahasa Arab sendiri berarti saling mengenal. Jadi bukan pernikahan yang gak saling kenal satu sama lain," jelasku pada Aya.
"Terus yang dilakukan pas lagi ta'aruf apa aja?" tanya gadis berpipi tembem itu lagi.
"Tanya-jawab tentang pribadi masing-masing. Misalnya; tentang kekurangan dan kelebihanmu, keluargamu, misi dan visi membangun rumah tangga. Kalau merasa cocok dilanjutkan ke khitbah atau lamaran." Aku sedikit mundur agar bisa menyandarkan punggung ke tembok rumah makan lesehan yang hanya menyediakan menu steak ini.
"Kelemahanku adalah lemot kalau diajak ngomong, gak bisa masak, cerewet, cuek dan pelupa. Kalau kelebihanku ... em ... apa, ya? Oh, iya. Aku jujur, penurut dan setia," gumamnya sambil menggaruk kepala hingga jilbab paris berwarna cokelat yang dia kenakan sedikit berantakan.
"Eh, ngapain kamu menyebutkan semua itu? Aku ini lagi menjelaskan tentang ta'aruf, bukannya mau berta'aruf denganmu!" ucapku yang mulai tidak nyaman dengan tatapan curiga dari teman-teman kami.
"Apaan sih, gitu aja sewot. Aku juga gak lagi ngomong ke kamu, tapi ke diri sendiri" kata Aya dengan air muka yang menunjukan kekesalan.
"Kalian ini dari tadi malah ngomongin agama. Kita ini di sini buat reuni SD, bukan untuk pengajian. Hargai Floren yang non-muslim, dong!" tegur Rio-- mantan ketua kelas sewaktu SD. Kalau dipikir-pikir dia memang sudah punya leadership yang keren semenjak kecil, jadi wajar aja kalau dia sekarang jadi ketua osis di sekolahnya.
Aku nyengir ke arah Floren yang duduk pas di depanku. Floren hanya mengangkat bahu pertanda tak perduli dengan apa yang sedang aku dan Aya bicarakan. Sementara gadis di sebelahnya yang tukang kepo dan sedari tadi nanya tentang ta'aruf malah enak-enak minum jus avocado bahkan setelah ditegur Rio.
Gadis bernama Aya Nur Adiputro atau sering dipanggil Aya, bukanlah gadis yang memiliki fisik indah. Dengan tinggi badan yang hanya 150 cm, kulit cokelat dan pipi tembem, ditunjang dengan sifat pendiam namun agak keponya, membuat dia tidak tampak menonjol sewaktu SD. Jadi wajar saja aku tidak mengenalinya saat kami bertemu di pengajian pada waktu kami duduk di kelas satu SMA. Dia bercerita panjang lebar dengan suara melengking khas dia dan ekspresi kesalnya karena dilupakan teman sekelasnya sendiri. Sejak saat itu kami berhubungan lewat Facebook. Eit ... jangan salah sangka dulu. Berhubungan di sini bukan dalam artian romantis, melainkan saling lempar ejekan.
Selama berhubungan lewat sosmed itu, aku menyadari perubahan pada dirinya. Aya yang dulu tomboy, mainnya sama cowok, dengan style berpakaian kaos oblong dan celana di atas lutut. Tapi sekarang, dia menjaga jarak dengan cowok tapi tetap care, memakai baju dan celana panjang, memakai jilbab yang membuat wajah bulatnya semakin manis dan kata-katanya sedikit agamis. Eh, what? Tadi aku bilang dia manis? Oh tidak, sepertinya otakku mulai eror.
'Pluk!' sesuatu jatuh tepat di kepalaku dan membuyarkan lamunanku. Kulihat ada gumpalan tisu sebesar kepalan tangan berada di atas meja, tepat di depanku. Aku mengedarkan pandangan, mencoba mencari tahu siapa pelaku penganiayaan terhadapku. Mataku berhenti pada sepasang mata bulat berwarna cokelat yang mengeluarkan aura menantang.
" Apa lihat-lihat? Disuruh pimpin do'a malah diem. kita udah pada lapar tahu!" kata Aya yang diiyakan oleh teman- teman yang lainnya.
"Huft ... sorry ya, Ren." Aku menatap pada Floren yang menautkan kedua jari tangan kemudian meletakkannya di depan dada dengan mata yang terpejam. Sepertinya dia sedang berdo'a. Setelah gadis berambut ikal itu selesai berdo'a, aku baru mulai memimpin do'a agar Floren tidak terganggu, juga sebagai tanda menghormati kepercayaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Terlewatkan
SpiritualImam dan Aya adalah teman sewaktu duduk di bangku sekolah dasar. Setelah sekian tahun tak saling memberi kabar, mereka kembali bertemu saat kelas satu SMA di pengajian. Sejak itu mereka mulai berkomunikasi lewat sosmed untuk saling ejek. Pertemuan...