Hari H

440 17 5
                                    

Hari H, hari dimana aku kehilangan semangat hidupku. Semalam suntuk aku berusaha menyibukkan diri dengan puluhan buku islami penggugah jiwa dan pembangkit semangat, tapi tetap sama, aku masih berkubang dalam kesedihan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua pagi namun mataku masih terbuka lebar dengan pikiran yang dipenuhi bayangan Aya yang cantik duduk di samping Anam yang ganteng, dan di hadapan mereka ada seorang penghulu. Astagfirullah, membayangkan saja sudah membuatku gila, apalagi datang ke pesta mereka.

Kuputuskan untuk tidak datang ke pernikahan mereka. Biarlah Anam marah dan menguburku hidup-hidup dari pada aku hidup sebagai zombie yang kaku dan tak mempunyai perasaan pada siapapun. Kurebahkan tubuhku, memejamkan mata, berusaha tidur. Gagal. Dalam hati aku terus bertasbih agar hati tenang dan tertidur, ternyata sangat sulit. Barulah aku lelap setelah sholat subuh.

"Gubrak! Gubrak!" telingaku terganggu oleh suara berisik dari tempat yang tak jauh. Sepertinya dari dalam kamarku sendiri. Astagfirullah, apa ada maling? Tapi apa ini? Mataku rapat tak mampu kubuka.

"Imam. Imam. Ayo bangun, Imam!" tubuhku tergoncang hebat. Sebuah tangan kekar menepuk-nepuk pipiku lumayan keras hingga aku merintih tanpa sadar. Dari suaranya aku sudah tahu siapa dia, jadi walaupun sakit aku tak mau bangun.

Sesaat kembali hening. Detik berikutnya aku menggigil dalam selimut. Badanku basah kuyup setelah disiram air oleh Rio. Mataku terbelalak menatap garang ke arah Rio yang berdiri di depanku dengan tangan yang masih memegangi ember besar. Napasku memburu karena kaget tiba-tiba disiram air dan kesulitan bernapas.

"Gila kamu!" teriakku.

"Kamu yang gila! Ngapain kamu datang ke rumah Aya dan menyuruhnya menggagalkan pernikahan!" bentak Rio. Aku cuma bisa diam karena sekarang akupun sangat malu untuk kejadian itu.

" Aku di sini buat mastiin kamu datang ke pernikahan mereka! Cepat mandi atau mau aku mandiin lagi di kamar mandi, hah?" ancam Rio. Oke. Aku tahu dia gak pernah main-main untuk setiap ancamannya. Jadi aku langsung lari ke kamar mandi sebelum benar-benar ada season ke dua buat mandiin aku di kamar mandi.

Aku sengaja berlama-lamaan di kamar mandi biar datangnya telat, atau kalau bisa sesudah acara bubar. "Astagfirullah! Bego, ngapain kamu!" Teriakku histeris. Aku langsung narik handuk lalu menutup kannya ke tubuhku. Gimana gak kaget, marah, kesel dan pengen mukul pake gayung, bayangin aja, pas kamu mandi tiba-tiba pintu di dobrak dan yang dobrak malah pasang muka kaya gerandong.

"Kamu mandi sejam, kamu kira kamu mempelai lelakinya, hah?" teriak Rio gak sabar. Dan, gila, kata-katanya bikin sesak napas. "Gak usah lebay, deh, kamu udah pake boxer tau!" dia menunjuk boxerku dengan ekspresi jijik. Yaelah, aku kan reflek doang nutupin badan, ya mana inget kalau udah pake celana.

Rio melemparkan kemeja batik berwarna biru dan celana jeans biru donker padaku. "Sialan, emangnya aku pacarmu, hah? Kenapa musti pake baju couple gini sama kamu?" protesku.

"Special request dari mempelai cowok!" jawabnya sebelum pergi.

Dalam hatiku menggerutu. Apa si Anam mau nunjukkin ke semua orang kalau dia menang dan mendapatkan pujaan hatiku? Dan aku berakhir dengan baju couple dengan Rio, bukannya dengan salah satu cewek cantik dan sholeha yang menyatakan cinta padaku namun kutolak karena Aya? Sial, kenapa juga ini baju udah aku pakai?

Sejurus kemudian kami sudah berada di tempat walimahan, tentunya setelah rambutku diacak-acak sama Rio biar tetep keliatan keren dan stylish meski bukan aku tokoh utama hari ini. Kami duduk di kursi paling depan dan langsung berhadapan dengan kedua mempelai yang duduk berdampingan, di hadapan mereka ada penghulu dan ayah dari Aya, sedangkan di sisi samping meja persegi panjang itu ada dua saksi yang aku gak tau siapa. Ijab-qobul diucapkan Anam dengan lancar tanpa salah maupun gerogi, seakan udah khatam masalah itu sejak tiga tahun lalu.

Hal paling sulit bagikupun terjadi. Mengucap kata "Sah" dengan lantang meskipun hatiku berkata sebaliknya. Rio menepuk pundakku tanpa menatap ke arahku. Aku berusaha mati-matian buat enggak nangis. Acara yang cuma dihadiri orang terdekat ini dilanjutkan dengan makan sop dan minum es buah sembari mendengarkan musik Qosidah dan rebana dari anak yatim-piyatu. Acara ke tiga adalah do'a dari beberapa anak yatim-piatu untuk mempelai dan keluarga. Dan terakhir adalah foto-foto dengan pengantin, dimulai dari keluarga Aya lalu Anam dan sekarang giliran kami. Rio menyeretku naik ke atas panggung dengan karpet merah dan hiasan bunga palsu karena Aya gak mau membunuh bunga hidup hanya untuk sebuah foto.

Aku yang berjalan tergopoh karena ogah-ogahan akhirnya tersandung tangga panggung. Di depanku adalah Aya dengan kerudung putih dan kebaya senada dengan make up natural ala Korea yang membuatnya tambah cantik. Sesaat aku akan bersyukur bisa memeluk Aya untuk pertama dan terakhir, namun saat kemudian aku memaki karena aku jatuh di pelukan Anam. Bak pahlawan kesiangan, Anam yang melihatku nyaris nabrak istrinya yang baru dia nikahi beberapa jam lalu, langsung menyongsongku dengan senyum sok manis dan tangan terentang.

"Meskipun tak sengaja, tak akan kubiarkan kau menyentuh istriku! Aku bahkan belum pernah menyentuh tangannya!" bisik Anam sambil terkekeh. Aku ikutan terkekeh, terkekeh ngenes maksudnya.

Aku berdiri di samping Anam, Rio di samping Aya, Saat fotograper mulai menghitung, tiba-tiba mempelai cowok yang menjengkelkan ini meminta posisi diubah. Dengan gemetar aku berdiri di samping Aya yang bahkan tak menoleh padaku. Anam tiba-tiba melepas tuxedo hitamnya, dan kamipun seperti three idiot yang pake baju batik couple. Anam memeluk bahu Aya dan kami tersenyum ke arah kamera. Kali ini bukan senyuman ngenes yang gak ikhlas, tapi lebih ke senyuman penuh terima kasih. Aku tahu maksud Anam, kami memakai baju sama yang menandakan persahabatan kami baik-baik saja, dia ingin memberikan kesempatan untukku berfoto bersama Aya untuk pertama kalinya. Aku berdiri di sebelah Aya yang cantik bak bidadari, namun rangkulan pundak dari Anam menegaskan dia itu milik sahabatku, aku cukup berpuas dengan menjadi sahabatnya.

Yang TerlewatkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang