***
"Nona, bantu aku, please!" rengek laki-laki berambut blonde itu sekali lagi dengan memberikan tampang puppy facenya. Dia pikir, dia bisa membuatku merasa kasihan atau iba dengan tampang seperti itu. Tidak!
"Aku sudah megatakannya berulang kali, Niall. Aku tidak mau. Jangan memaksaku lagi!" tegasku sambil terus berjalan menyusuri jalan setapak di pinggiran sungai Thames. Aku tak ingin lagi menggubris ocehan laki-laki yang sedari tadi sudah mati-matian membujukku.
Laki-laki itu bernama Niall Horan. Dia adalah sahabatku sejak kecil. Satu hal tentang sifatnya yang kusukai dan entah kenapa sekarang malah membuatku kesal. Dia pantang menyerah. Aku yakin dia akan terus membujukku seperti ini jika aku terus menolak kemauannya. Sekarang Niall mencekal tangan kananku hingga membuat langkahku terhenti. Namun dengan sigap aku mengibaskan tanganku agar terlepas dari cengkraman kuat Niall. Aku berbalik menatapnya dan memasang tampang jengkelku.
"Kau tega sekali," tukasnya penuh penekanan. "Apa kau ingin melihatku sendirian tanpa pasangan di pesta Valentine itu?" Niall menekuk wajahnya. Bibirnya mengerucut, lantas menunduk seolah-olah sedang meratapi nasibnya yang sampai sekarang belum juga memiliki seorang pacar yang bisa dijadikan pasangannya untuk diajak pergi ke acara semacam itu. Aku tak habis pikir, kenapa Niall mau menerima undangan itu padahal dia tidak memiliki pacar. Bodoh!
"Salah sendiri kau mau saja menerima undangan itu. Sudah jelas-jelas kau tak memiliki seorang pacar," balasku kejam seraya memalingkan wajahku darinya. Entah ekspresi macam apa yang akan dia berikan kepadaku. Aku tak peduli.
"Untuk apa aku memiliki seorang pacar, kalau ada kau yang selalu bisa kuandalkan," sahutnya sontak membuatku menggeleng-gelengkan kepalaku. Niall memberiku cengiran polosnya. Membuatku geregetan saja!
Aku mendengus sebal seraya menatapnya tajam. "Nah, kau tak bisa mengandalkanku di dalam situasi dan kondisi seperti itu."
"Tentu saja bisa. Kau kan sahabat terbaikku," sahutnya sambil memainkan alis matanya naik-turun diiringi cengiran kudanya, membuatku ingin sekali meremas wajahnya. Tidak adakah yang lebih menggemaskan sekaligus menyebalkan dari tampang laki-laki blonde ini?
"Seorang sahabat wanita hanya bisa kau andalkan pada zona dan moment tertentu saja, berbeda dengan seorang pacar yang bisa kau andalkan kapan pun dan dimana pun," Tukasku acuh.
"Ahh... aku tak percaya. Kurasa tak ada bedanya sahabat wanita dengan teman wanita-atau pacar." Sahutnya dengan nada enteng.
"Tentu ada bedanya Niall, bodoh!"
"Apa bedanya?" tanya Niall seraya mendekat padaku. Dia mulai menatapku lekat-lekat. Dasar aneh! Aku pun sedikit mundur kebelakang agar jarak kami tak terlalu dekat lagi.
"Ada hal-hal tertentu yang tak bisa kau lakukan bersama sahabat dan hanya bisa kau lakukan bersama pacar."
"Contohnya seperti apa?"
"Seperti..." ucapku terhenti sejenak karena aku sedang berfikir hal-hal apa saja yang bisa dilakukan bersama pacar, "seperti berciuman contohnya," lanjutku. Aku yakin itu jawaban yang tepat. Mana mungkin hal itu dilakukan bersama sahabat wanita.
"Apa kau yakin itu contohnya?"
"Iya." Sahutku mantap.
Niall langsung melangkah mendekat padaku lagi. Kali ini aku tidak berniat untuk mundur kebelakang. Lalu, dalam hitungan detik Niall langsung mencium pipiku. Sontak aku kaget dengan apa yang dilakukannya. Baru kusadari napasku sempat terhenti dan degub jantungku terasa tidak normal saat aku merasakan bibir lembut Niall menyentuh pipiku untuk beberapa detik. Aku sama sekali tak percaya dengan apa yang dilakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl-Best-Friend
FanfictionWould you like to be my girl-best-friend? -Niall Horan