Chapter 2

140 13 4
                                    

Aku terbangun dengan rasa nyeri di bagian kepala, mustahil untuk menahan sakitnya. Sambil memijit kepalaku, aku menatap sekelilingku...

Ruangan sempit mungkin berukuran 2x3 meter persegi, didepanku ada toilet duduk dan disebelahnya ada bak cuci piring. Ada meja belajar dan satu kursi didepan toilet duduknya. Tidak ada kasur, tidak ada jendela, tidak ada pintu, satu-satunya cahaya hanya dari lampu kecil dilangit-langit ruangan ini dan kipas di fentilasi udara yang mengeluarkan suara bising, diatas sudut ruangan. Aku tidak bisa menjangkaunya.

Dimana aku?

"Halo? Ada orang disini?" kataku sambil mengetuk-ngtuk setiap dinding ruangan ini.

Tidak ada balasan.

"Halo? Tolong aku!" teriakku namun suara kipas di fentilasi udara meredam suara. Membuatku frustasi. Aku berada diruang terisolasi dan ini sangat menakutkan.

Aku membuka jaketku karena kipas itu membawa hawa panas diruangan ini, sambil menangis, aku meringkuk disudut ruangan menunggu siapapun yang mungkin akan membantuku.

Entah sudah berapa jam aku menangis terisak sampai-sampai aku mendengar seseorang— atau sesuatu, datang mendekati. Aku memasang tajam-tajam kelima indra yang kupunya saat mendengar langkah kaki semakin mendekat kemudian dinding didepanku bergeser dan itu dia, Harry masuk memeluk kasur matras.

"Minggir" perintahnya.

Aku menurutinya dan Harry langsung melebarkan kasur itu dilantai beserta bantal kecilnya.

"Dimana ibuku?"

"Diam" jawabnya dingin lalu berdiri lagi. "Lepas sepatumu"

Aku melepas sepatu hadiah Natal dari ayah dan memberikannya. Mengingat ayah dan ibu hanya membuatku semakin menyesal pernah meninggalkan rumah.

Harry merampas sepatuku. "Aku akan kembali untuk makan malam"

"Dimana ibuku? Tolong bawa aku pulang kerumah!" aku menarik ujung bajunya, membuatnya mendorong tubuhku dengan kasar. Aku jatuh kelantai, meringis saat merasakan sakit di tulang ekorku.

"Ku bilang diam! atau kau tidak akan makan hari ini" bentaknya lalu menggeser dinding lagi.

Aku berlari, langsung memeluk kakinya sambil terisak dan memohon. "No please...please let me go"

Dia menendangku membuatku tersungkur lagi, tanpa memandang kearahku, pria itu pergi dan menghilang. Aku mengedor-gedor dinding mencari celah untuk keluar namun hasilnya nihil, hanya membuatku menjerit frustasi.

***

"Bangun"

Seseorang mengguncang tubuhku dan menyiprati wajahku dengan sedikit air. Tubuhku terentak kebelakang saat melihat Harry sudah berlutut disebelahku.

"Selamat pagi, aku membawakanmu sarapan" katanya lalu berdiri, aku melakukan hal yang sama dan melihat telur dadar, dua sosis juga selembar roti tawar. Aku makan dengan rakus karena kemarin Harry sama sekali tidak kesini.

Entah sudah berapa hari aku terkurung didalam sini. Rasanya seperti selamanya.

"Sekarang sudah pagi?" tanyaku disela-sela kunyahan.

Harry mengangguk.

"Aku butuh jam beker, setidaknya untuk mengetahui pukul berapa sekarang"

"Baiklah, besok kubawakan dan mungkin buku cerita, juga pelajaran.." ujarnya membuat mataku melebar dan berhenti makan. "Jangan menatapku seperti itu!"

Aku mengurungkan niatku untuk bertanya kenapa sikapnya selalu berubah.

"Aku mau mandi" kataku setelah menghabiskan semua makanan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Stockholm SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang