Part 1 : Introduction

875 35 5
                                    

"Ugh. Manusia selalu saja menyebalkan. Bagaimana bisa mereka begitu 'sok tahu' tentang kita, padahal mereka sendiri tidak pernah kontak dengan kita?" batin Alisha.

"Temanmu yang masih manusia ini tersinggung lho hahaha," sahutku.

Jika kalian tidak mengerti, izinkan aku menjelaskan ini. Alisha adalah salah satu dari teman-teman tak kasat mataku. Temanku ini sudah meninggal 3 tahun lalu. Aku adalah seorang indigo kelas 3, meskipun penampilanku tak banyak beda dengan anak-anak gadis seumuranku. Yah, aku membuat tingkatan indigo berdasarkan kemampuan dan tingkat resikonya. Indigo kelas pertama hanya bisa melihat masa depan, namun tak dapat mengubahnya. Kelas kedua mampu melihat mahluk astral dan menerawang masa depan. Nah untuk yang kelas 3 ini, aku rasa aku cukup handal jika harus melihat masa lalu dan masa depan, berkomunikasi dengan penghuni alam lain, telekinesis, dan bahkan aku bisa mengetahui kapan seseorang berbohong kepadaku. Kudapatkan kemampuan ini turun temurun dari Nenek dan Ayah. Ayahku dan Nenekku merupakan satu-satunya generasi yang masih memiliki 2 orang Indigo level 3 dalam 1 keturunan, dan aku cukup bangga akan itu. Jika kalian bingung dengan ceritaku, tenang saja. Bukan hanya kalian yang bingung. Biar kujelaskan sembari ceritaku ini berlanjut.

Tinggal disebuah kota kecil membuatku cukup akrab dengan warga sekitar. Bukan hanya dengan warganya, "Penunggu"-nya pun aku kenal. Meskipun tidak sedikit dari mereka yang memiliki energi jahat, tapi aku percaya. Mereka tidak akan pernah mengganggu apabila tidak diganggu duluan. Tiap minggu rutin kuhadiri kursus piano Nyonya Schum. Harus hadir pada jam 9 pagi memaksaku bangun pada pukul 7 pagi di hari minggu.

Ugh, nice.

Alisha tampak duduk manis memperhatikanku mempersiapkan segala kebutuhan yang aku perlu bawa ketika kursus nanti.

"Kau tidak perlu membawa sisir untuk kursus piano, Hannah," sindirnya

"Kau tidak mengerti, Sha. Biarpun aku cukup sering tertinggal di kelas, bukan berarti itu menjadi alasan untuk tidak tampil menarik didepan teman-temanku," bantahku sambil menggeraikan rambut pirangku yang panjang.

"Ayolah Hannah. Kau hanyalah gadis berumur 14 tahun. Sejak kapan kau belajar bersolek?" ucapnya polos

"Sejak aku sadar bahwa menjadi seorang remaja itu hanya sekali. Lagipula, aku masih bernafas. So there's no worries at all," ucapku lagi.

Ia kesal dan meninggalkanku ke kamar mandi.

"Hantu ababil," Ledekku sambil tertawa.

Yah, ini mungkin terdengar gila. Bercanda dengan seseorang yang telah lama meninggal. Namun ini nyata, Alisha tewas 3 tahun lalu disebuah kecelakaan mobil. Keteledoran Ayahnya membuat nyawanya melayang. Sejak saat itu, Alisha mengikuti tiap langkah yang kubuat dan menjadi layaknya saudara gaibku. Memiliki poni yang cukup tebal membuat luka di kepalanya menjadi samar. Setidaknya, ia lebih loyal ketimbang dengan anak-anak lain yang jauh lebih normal dan nyata darinya.

Pathetic.

"Hannah! Sarapanmu sudah siap!" pekik Ibu dari dapur

"Iyaa bu! Aku datang," ucapku bergegas, sambil berlari kecil menuruni tangga.

Kupilih kamar tidur di loteng. Selain karena pemandangannya yang indah, bulan purnama terlihat begitu sempurna dari jendela kamarku. Kuhampiri meja makan yang cukup besar ini. Ayah duduk di ujung meja, membaca koran sambil meminum kopi pahitnya.

"Cepat habiskan sarapanmu, Hun. Ayah akan antar kamu kesana," ucapnya hangat, seperti biasa.

"Ayaaah...Aku sudah dewasa sekarang. Bisakah Ayah memanggilku Hannah ketimbang Hunny? Itu membuatku merasa seperti anak-anak," ucapku lirih

The IndigoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang