Part 2 : First Contact

614 32 12
                                    

Aku terbangun dengan sempoyongan dan linglung. Rasa pegal menyelimuti seluruh otot belakangku. Keras dan dinginnya lantai kamar membuat otot-ototku terasa mengkerut. Sisa pusing semalam masih terasa hingga saat ini. Kulihat jam dinding yang tertempel di atas lukisan tua kamarku.

Nice.

Aku terbangun tepat pukul 6.30 pagi. Lewat 15 menit dari biasanya.

"Hannah! Cepat bangun! Ibu tidak mau kamu telat!" pekik ibu dari dapur.

"Iyaa, Bu. Aku mandi sekarang," sahutku lantang.

Segera kugerakkan tungkai kakiku yang semampai ini, bergerak menuju ke kamar mandi. Alisha tampak sedang duduk di dalam bathtub, menunduk. Aku terdiam sesaat.

Ini aneh.

"Hei Sha, apa yang.."

Belum sempat kulanjutkan kata-kataku, Alisha segera beranjak dari bathtub dan menghilang ke balik tembok. Tanpa kata.

"Sial! Apa-apaan ini!? Alisha tidak pernah sedingin ini. Apa penyebabnya?" pikirku lama.

Tiba-tiba, terdengar suara Alisha berbisik di sekitar telingaku, "Jaga dirimu, Han. Sesuatu yang jahat sedang berada disini. Ia mengincar seluruh keluargamu, garis keturunanmu. Aku takut sesuatu yang buruk akan menimpa keluargamu." Aku tertegun sesaat. Kupandangi sekitarku. Nampak pemandangan normal kamar mandiku, tanpa adanya sosok Alisha. Aku bergeming cukup lama sebelum ...

DOR DOR DOR!

"Hannah! Kenapa lama sekali!?" teriak ibu, sambil terus menggedor pintu kayu kamar mandiku.

"Sebentar, Bu!" sahutku lantang, sambil membasuh badanku dengan dinginnya air pagi. Kuselesaikan mandi "cantikku" dan kusiapkan seluruh perlengkapan sekolahku. Tak lupa, kumasukkan sisir yang sering kubawa kemana-mana ini ke dalam kantong tasku. Bergegas karena telat, kuturuni tangga loteng dan memakan sarapanku dengan ringkas. Ayah memperhatikanku dan tersenyum.

"Hun, pelan-pelan. Kau bisa tersedak dan itu bisa membuatmu terlihat konyol," ucap Ayah.

Hun? Lagi? UGH

"Aku telat, Yah. Bisakah kita berangkat sekarang?"

"Tentu saja, Hun."

Ah, lagi dan lagi!

Segera, Ayah beranjak dari kursinya dan berjalan menuju garasi untuk memanaskan mobilnya, sedangkan aku mencari Ibu, mencium pipinya dan berpamitan padanya. Bergegas, Ayah mengantarku ke Sekolah dengan mobil chevy tuanya. 

Di sepanjang perjalanan, tak dapat kutemukan satupun teman-teman dari sekolahku sedang berangkat ke sekolah.  Keringat dingin membasahi tengkukku.

"Ayah, bisakah kita melaju lebih cepat? sepertinya aku terlambat kali ini."

Ayah mengangguk, lalu mempercepat laju mobilnya. Setibanya di sekolah, reaksi pertamaku hanyalah satu.

The Hell?

Pintu gerbang sekolah tertutup rapat, apel pagi sudah dimulai. Matilah aku kali ini.

"Maafkan aku, tapi kau tidak dapat masuk selama apel masih berlangsung. Tunggulah beberapa saat sebelum apel ini berakhir," ucap pak Dorsey ketika melihatku berjalan mendekat ke arah pintu gerbang. 

Ia adalah salah satu satpam sekolah yang terkenal tegas. Badannya yang tegap dan kulitnya yang gelap membuatnya terlihat begitu kaku. Tatapan matanya yang tajam membuat nyaliku ciut. Ucapan pak Dorsey membuat beberapa anak yang sedang mengikuti apel nampak terganggu dan melihat ke belakang, melihatku berdiri bak patung yang nampak bodoh dengan satpam di sebelahnya. Wajahku merah padam. Menahan malu yang tak kentara. Tak terasa meleleh sudah air mataku di pipiku yang memerah ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 24, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The IndigoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang