Hujan dan Luka

71.5K 5.1K 633
                                    

[hanya dipublish di http://wattpad.com/user/just-anny, jika menemukan cerita ini di situs lain artinya itu merupakan PLAGIAT/PENYEBARAN TANPA IZIN]

    

ORANG sering bilang kalau hujan itu menenangkan, memberikan kesan damai, atau sebagainya. Sensasi buliran-buliran air menetes di tangan yang kemudian mengalir perlahan terasa menyenangkan. Hujan seperti membangkitkan kesan romantis. Kebanyakan perempuan biasanya menyukai hujan. Sayangnya, itu tidak berlaku untuk Raina. Karena menurut Raina yang suka malas membawa payung, hujan hanya akan menghambat perjalanan pulangnya. Seperti sore ini.

"Sebal! Kenapa harus hujan lagi?!" gerutu Raina saat akhirnya berhasil menepi di selasar gedung kampus. Perlahan Raina memeriksa luka-luka di sekujur tubuhnya kemudian meringis kesakitan. Kejadian tadi siang tiba-tiba kembali menghampiri ingatan Raina, membuat emosinya semakin menggebu. "Kesal! Kesal! Kesal! Hari ini aku kesal! Tadi dihajar habis-habisan, sekarang aku terjebak hujan. Siaaaal!"

PLETAK

Raina menendang batu lalu mengenai seorang laki-laki yang sedang berjalan tanpa payung di depannya. Untuk ukuran tenaga pemain karate seperti Raina, tendangan tadi terbilang keras. Apalagi batunya bukan kerikil berukuran kecil. Raina yakin, batu yang mengenai punggung itu bisa meninggalkan luka yang cukup perih. Tapi anehnya, laki-laki dengan tubuh tinggi tersebut hanya menoleh biasa seperti tanpa kesakitan.

"Kamu manggil?" tanya laki-laki yang diduga seumuran Raina itu dengan nada biasa. Raina bergeming. Tubunya seperti terpaku--saking kagetnya. "Hey, kamu manggil aku?" tanya ulang laki-laki itu, membuat Raina tersadar dari lamunannya. Laki-laki tersebut sudah persis ada di hadapan Raina.

"Ah, hah? Ng-nggak." Raina gelagapan. Satu sisi Raina merasa bersalah karena telah menendang batu besar tadi. Tapi di sisi lain, dirinya masih sangat heran kenapa laki-laki tersebut sama sekali tidak merasa kesakitan.

"Kamu lagi apa di sini?" tanya laki-laki itu seraya berjalan ke samping Raina. "Meneduh ya?" Raina menoleh. Ternyata dia sedang menatap Raina dengan senyuman ramah. Senyuman yang membuat Raina tenang karena yakin laki-laki tersebut punggungnya baik-baik saja.

"I-iya, soalnya hujan. Hujan menyebalkan ya, kita jadi basah," jawab Raina mencoba mencari topik. Wajahnya menengadah seraya mengangkat tangannya menyentuh tetesan air hujan.

"Menurutku nggak sih," elak laki-laki itu ikut menadah air dengan telapak tangannya, membuat Raina menautkan dahi. Beberapa detik kemudian laki-laki tadi menoleh ke arah Raina. "Namaku Tirta, kamu?" Laki-laki yang mengaku bernama Tirta itu tersenyum lembut.

"Aku Raina," jawab Raina.

"Wah, nama kita cukup mirip. Raina, kamu bisa berarti hujan. Sedangkan aku, Tirta, artinya air."

Diam-diam Raina tersenyum mendengarnya. Namun sedetik kemudian senyum itu hilang, tergantikan oleh kerutan di dahi. "Tapi aku nggak suka hujan. Hujan bisa bikin perjalanan kita terhambat. Aku nggak bawa payung, dan aku lihat kamu juga sama. Terus gara-gara hujan, kita jadi kebasahan dan kedinginan," ujar perempuan berkucir kuda itu sedikit keras kepala. Raina seketika memeluk dirinya sendiri--berharap kehangatan.

"Aku nggak ngerasa kedinginan sama sekali," aku Tirta dengan wajah tenang. Raina memerhatikan respon tubuh Tirta, membuat dahi Raina mengkerut. Berbeda dengan Raina yang sudah mulai menggigil karena dingin, Laki-laki di sampingnya itu tampak sangat tenang. Kulitnya seperti tidak menyadari hawa dingin sama sekali, cukup mengherankan bagi Raina.

"Sejujurnya hari ini aku sedang kesal," ujar Raina tiba-tiba dengan dengusan panjang. Raina tidak tahu apa yang membuatnya dengan mudah bercerita tentang kekesalannya hari ini kepada Tirta--orang yang baru dikenalnya. Raina hanya merasa membutuhkan pendengar. Bukankah beban akan terasa lebih ringan saat dibagi?

Hujan dan Luka [1/1 End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang