3.

112 9 1
                                    

"Jadi, untuk apa kita kesini?"

Perempuan itu berdiri sambil berkacak pinggang, menatap kesembilan orang lain yang ada di dalam ruangan biologi itu.

"Tenang dulu Alex. Biar aku yang bicara," Louis berdiri, lalu menepuk-nepuk pundak Alex, menyuruh sahabat kecilnya itu untuk tenang. Alex mendengus kesal lalu duduk di sebuah kursi.

"Perlihatkan lengan kanan kalian." Ucap Louis sambil menggulung lengan baju bagian kanan miliknya, gerakan itu juga diikuti oleh kesembilan temannya yang lain.

Mereka semua memiliki tato sialan itu.

"Jujur, aku tidak tahu apa arti tato ini," Louis berucap sambil menatap tatonya itu dengan teliti, seolah-olah sedang mencari petunjuk.
"Guys, aku rasa ini bukan permainan lagi," salah seorang gadis berambut pirang berucap seraya bangkit dari duduknya, dan berjalan ke arah Louis.
"Kurasa aku harus pulang. Kau pasti meletakkan surat itu 'disitu' kan Louis?" Kate, nama gadis itu, menatap Louis dengan sengit.
"Ya. Dan kau tentu tahu apa konsekuensinya jika kau pulang, Kate." Louis berbalik dan berjalan menuju pintu untuk menutup pintu.

Tapi sebelum Louis mencapai pintu, pintunya sudah tertutup sendiri, membuat Louis terlonjak ke belakang.

"I've told you Louis," Kate memutar bola matanya dengan kesal, dan Louis mendelik dengan marah.
"Hei, bukankah kau sendiri yang berteriak kegirangan bahwa kau ingin ikut? Jangan salahkan aku, pirang!" Louis menghardiknya dengan kasar, lalu maju selangkah mendekati Kate. Tapi sebelum perdebatan panas itu terjadi lebih lanjut, Alex sudah berdiri di antara mereka.

"Louis. Lebih baik kau jelaskan apa yang terjadi."
Louis terdiam, lalu kemudian menggaruk tengkuknya yang jelas-jelas tidak gatal.

"Baiklah," Louis menyerah, lalu duduk di sebuah meja.

"Dua hari lalu aku mendapat undangan itu di lokerku. Lalu aku berpikir itu hanya permainan bodoh jadi aku mengajak kalian. Harry, Zayn, Liam, dan Niall langsung setuju. Disusul oleh Kate dan Eleanor. Kami hanya perlu 3 orang lagi. Lalu aku mengajakmu, Perrie dan Livvy," ucap Louis sambil menunjuk Alex, sebagai definisi dari kata 'mengajakmu' tadi. Alex hanya mengangguk-angguk, meminta Louis untuk melanjutkan.

"Lalu, setelah nama kalian sudah kutulis disitu, tanganku perih dan ada tato disana. Lalu muncul tulisan lain di balik lembaran itu, yang menyuruhku membawa surat itu ke tempat sampah yang ada di depan Gedung D,"
Louis mengambil sedikit jeda.
"Itu kulakukan kemarin. Nah, malamnya di mejaku, ada pesan yang diukir disana, menyuruh kita untuk berkumpul disini setelah semua waga sekolah pulang. Hanya itu yang aku tahu,"
Louis mengangkat bahunya tanda dia tidak tahu apa-apa lagi setelah itu.

Tiba-tiba, sebuah alat pengeras suara yang dipasang di setiap kelas berbunyi nyaring, membuat suara ting-tong, membuat kesepuluh orang itu terdiam. Ini sudah sore, jadi tidak mungkin ada orang yang melakukan itu.

"Santai saja, paling cuman ulah satpam iseng," Zayn terkekeh, memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi.

Tiba-tiba terdengar suara berderit di papan, membuat mereka refleks menoleh. Betapa terkejutnya mereka mendapati spidol papan tulis yang tadi ada di laci meja guru, sekarang sedang bergerak sendiri, melayang-layang di ketinggian yang sama dengan papan tulis, menulis sesuatu.

"Diam kau, Malik."

Begitu isi tulisannya.

Ditambah lagi tulisan itu berwarna merah darah, dan bau anyir tiba-tiba saja memenuhi ruangan itu.
Kesepuluh orang di dalamnya hanya diam sambil bertatap-tatapan, tidak tahu apa yang seharusnya dikatakan atau dilakukan. Yang jelas mereka takut. Ini sudah bukan game biasa lagi.

"Kalian benar. Ini bukan game biasa lagi."
Spidol tadi kembali bergerak melayang-layang di atas papan tulis, membuat kalimat baru. Setelah lima detik, kalimat itu dan kalimat sebelumny hilang, dan papan tulis pun bersih dari tulisan itu. Kosong. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tapi spidolnya masih melayang disana.

Tiba-tiba saja spidol itu kembali bergerak dengan kecepatan yang, sangat, amat cepat, membuat tulisan berantakan yang berbeda jauh dari tulisan sebelumnya. Lebih berantakan, lebih mengerikan. Sepuluh orang tadi diliputi keheningan, mereka membaca apa yang tertulis disana.

"Welcome! Dengan senang hati aku menyatakan bahwa game ini dibuka kembali. Dari sini kalian harus pergi ke Gedung D, dimana di depan Gedung itu akan ada sebuah kotak. Buka kotaknya, ambil isinya dan masuk ke dalam Gedung. Jangan banyak tanya. Petunjuk selanjutnya akan muncul disana. Ngomong-ngomong, kalau kalian tidak mengikuti perintahku, tato itu akan membakar habis tubuh kalian.
See you! X.
P.s. Aku melihat 'x' itu di salah satu surat cinta siswa. Karena kupikir itu romantis makanya kutulis, heheh.

All the love, Ms. Mirror."

Spidol itu jatuh ke lantai setelah pesan gila itu selesai ditulis, dan sepuluh orang tadi masih terdiam di tempat masing-masing.
Ini gila. Sangat.

"Guys, sebaiknya kita bergerak sekarang," Louis akhirnya memecahkan keheningan, dan mereka semua menoleh ke arahnya.
"Tapi mungkin saja kita akan berakhir seperti senior kita kalau kita pergi ke sana Lou! Kau gila?" Eleanor, gadis dengan rambut coklat bergelombang itu bangkit dari tempat duduknya dan berteriak emosi.
"Lebih baik kita pergi sekarang atau tato ini akan membakar kita," Louis melipat pergelangan kanan bajunya, memamerkan 'tato' yang ada disana.

Mau tidak mau, kesepuluh orang itu berdiri dari tempat duduk masing-masing, dan mulai berjalan menuju Gedung D, dimana game akan segera dimulai.

Peraturan nomor satu :

Turuti aturan Ms. Mirror jika ingin selamat.

_____________________________________

Hello !
Sorry updatenya lamaaa banget..

Part berikut keknya bakal serem..
Biar ga panjang, udahan aja yaa, byeee!

Vomments jangan lupa ;)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang