Hai, namaku Jungkook. Lengkapnya Jeon Jung Kook. Tapi jangan panggil aku Kookie, itu panggilan memalukan yang teman-temanku buat. Bulan ini, aku baru akan mengakhiri masa bangku sekolah menengah. Kemudian—jika Tuhan menghendaki—aku akan menjadi calon seorang arsitek.
Banyak yang bilang aku ini tampan, cute, bahkan cantik. Aku digilai banyak gadis di sekolahku. Ah, itu berlebihan. Apa kau juga berpikir begitu? Kurasa jika kau melihat fotoku, jawabanmu—mungkin—ya.
Hahaha.
Jika kau terus membaca ini, berarti kau telah membuka privacy-ku. Kau pasti berpikir, hah, dan sebenarnya ini adalah tulisan dalam buku harianku.
Dari sekian banyak gadis, aku hanya menyukai 1 wanita. Ya, wanita. Tidak, maksudku 2 wanita. Yang pertama tentunya adalah Ibuku, dan yang kedua adalah wanita yang tinggal di sebelah rumahku.
Aku memanggilnya noona.
"Kookie-ya, bagaimana harimu?" Pesan singkat pertama dari noona pada hari ini. Sial, dia juga memanggilku dengan sebutan memalukan itu. Aku akan lebih senang jika dia memanggilku 'Jungkookie'. Ah, lupakan. Tetap saja itu memlaukan.
"Tidak buruk. Bagaimana pekerjaanmu?" Jawabku singkat.
Noona selalu bertanya tentang hariku, sekolahku, kegiatanku, dan lain sebagainya. Aku akan menceritakan semuanya dengan senang hati. Noona adalah pendengar yang baik.
Tiga hari sebelum ujian akhir, aku mendengar noona akan melakukan perjalanan bisnis ke Beijing. Mungkin ini terlalu kekanakan, tapi aku merasa cemburu. Yah, aku sering melihat seorang pria mengantarnya pulang dengan mobil hitam.
Tentu saja mereka akan pergi bersama ke Beijing.
"Keluarlah, langit malam ini bagus." Kataku lewat pesan singkat. Noona tidak menjawab. Kulihat dari jendela, dia sedang berdiri di balkon kamarnya dengan secangkir minuman di tangannya.
Langkahku beranjak. Sekarang aku bisa melihat wanita itu tanpa ada kaca penghalang. Aku sudah bosan dengan senyum menggoda para gadis, bahkan gadis tercantik di sekolahku. Mereka terlihat membosankan. Tapi wanita itu, dia tersenyum kepadaku. Berbeda sekali sensasinya.
Kami hanya diam selama kurang lebih 8 menit. Kemudian aku mengambil ponsel, mendial nomor yang sudah kuhafal di luar kepala, lalu menyentuh ikon telepon hijau.
Wanita di sebrang balkonku itu menempelkan ponsel di telinga kirinya. Dia tidak menggerakkan bibirnya sama sekali. Mungkin menungguku bicara lebih dulu sampai aku bertanya, "Kau tidak membaca pesanku?"
"Aku membacanya." diam sejenak, "Tapi sengaja tidak kubalas."
"Kenapa?"
"Aku tahu kau akan keluar. Kau, kan, seperti kelelawar, duniamu lebih nyaman di malam hari."
Kata-katanya membuatku tertawa ringan. Karena di malam hari aku bisa melihatmu sepuasku. Sampai kau masuk lagi ke kamarmu dan memadamkan lampu, atau sampai aku bosan. Tapi—kenyataannya—aku tidak pernah bosan.
"Noona,"
"Ya?"
"Banyak gadis yang menyukaiku. Tapi aku tidak menyukai mereka. Apa yang harus kulakukan dengan mereka? Merka membuntutiku seperti sasaeng fans."
"Pilih salah satu di antara mereka," noona meletakkan cangkirnya, "Tidak, jangan. Jangan pernah memilih di antara mereka. "
Aku menjadi sedikit gugup, "Jangan?"
"Karena jika kau memilih satu, yang lain akan iri. Dan pacarmu akan di-bully." Aku menelan berat salivaku, kukira jawabannya akan seperti apa yang kukira. "Oh ya, hari Senin ujianmu, kan? Besok aku akan ke Beijing."
"Aku sudah tahu."
"Oh baguslah. Aku tidak perlu mengulangnya lagi."
Kami terdiam lagi. Merasakan belaian angin malam yang kian dingin.
"Sepertinya aku yang harus 'mengulang.'" Ucapku.
"Maksudmu?"
"Noona, aku menyukai satu wanita."
"Wanita? Pasti Ibumu. Hahaha."
Aku mendengar tawanya yang renyah seperti biasanya. Seperti saat kami bercengkrama. "Tidak, bukan Ibuku."
Noona masih tertawa di sebrang sana, "Wanita? Mungkin kau harus menyebutnya 'gadis'. Hahaha. Tell me, who is she?"
Aku menelan salivaku, tubuhku berdiri lebih tegak dari posisiku tadi, "Kata pertama yang kuucapkan dalam kalimat sebelum dua kalimat yang baru saja kuucapkan."
Kulihat noona seperti mengerutkan keningnya, ia diam sejenak seperti berpikir. Sepuluh detik kemudian, aku melihat langkahnya semakin mundur. Aku hanya diam dengan senyum miris di bibirku. Suara telepon di telinga kiriku masih hening. Wanita di sebrang sana tiba-tiba meledakkan tawanya keras. Tapi terdengar seperti dipaksakan.
"Noona, aku tidak bercanda."
"Kata pertama yang kau ucapkan dalam kalimat sebelum dua kalimat yang baru saja kau ucapkan, 'Noona'? Aku? Hei bocah, apa kau sedang mencoba merayuku? Aku tau kau memang tampan, tapi—"
"Aku mengatakan ini karena kau akan pergi ke Beijing bersama pria itu."
"Baiklah, mari luruskan ini. Jungkook-ah, kau masih sekolah, walaupun sudah di tingkat akhir. Dan 3 hari lagi kau akan menempuh ujian akhir. Aku tidak ingin kau terganggu dengan gurauan konyolmu itu, dan nilaimu jadi jelek. Maka dari itu, belajarlah dengan rajin. Mengerti?"
Setelah malam itu, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Aku tetap mendapat nilai baik meski aku terus memikirkan wanita itu. Sungguh, dia tidak pernah menganggu belajarku.
Kudengar, dia akan bertungangan dengan pria pemilik mobil hitam yang selalu mengantarnya kemana-mana. Hah, itu kekasih atau supirnya? Kemarin secara kebetulan mata kami saling kontak, tapi dia mengalihkan pandangannya ebih cepat dari yang kukira.
Mungkin benar katanya, seharusnya aku menyukasi 'gadis', bukan 'wanita'.
-fin.
Thanks for reading, mind to leave a comment? ^^