Cinta Itu Luka

117 4 10
                                    

Cinta Itu Luka
Cerita Pendek: Ewin Suherman

Kamu memakai heels setinggi lima belas senti. Menambahi tinggi badan kamu yang lima senti meter di atasku. Membuatku minder dan tidak percaya diri. Tapi cara kamu tersenyum bikin aku lekas-lekas menghapus perasaan itu.

"Aku gembira sekali malam ini." Katamu sambil memegangi cawan yang sudah kosong seperti kamu lagi menjaga diri kamu dari terjatuh. Aku mengangguk dan tersenyum. Tentu saja kamu gembira, batinku. Ini adalah perhelatan paling agung yang telah lama kamu tunggu-tunggu. Kamu telah rela melakukan banyak hal demi bisa hadir di pesta yang barangkali kamu hanya mau hadir jika pasangan kamu Hamish Daud. Artis kesayangan kamu.

"Aku nggak mau cepat-cepat pulang." Kamu memandang ke arah panggung pelaminan. Mata yang sehari lalu sembab, lelah, dan dikobari amarah, kini berubah jadi ceria. Api amarah itu berubah jadi pemantik yang siap membakar apa saja di depan kamu.

"Aku mau mendekat ke sana." Kamu berujar enteng. Aku mengangguk mengerti dan siap. Lalu kamu menggamit lenganku dan bergelayut manja. Sesekali kamu mendekatkan bibirmu yang kamu poles dengan lipstik merah menyala. Warna yang kamu pilih sebagai senjata sebab ia tak suka warna itu. Kamu tertawa-tawa manja sambil memukuli bahuku.

Aku mengerti tujuan kamu. Dan tujuan kamu berhasil. Ia, laki-laki yang tengah bersanding di pelaminan itu melotot memandangi kita. Ia melepas tangan mempelai wanita dari tangannya.

Tujuan kamu berhasil. Laki-laki yang kamu anggap terlampau lemah sekaligus terlalu cinta sama kamu turun dari pelaminan. Rahangnya mengeras. Ia mendekati kita sebelum sampai ke panggung pelaminan. Semua mata tertuju kepadamu, kini. Semua mata itu memandang penuh tanya dan curiga. Sebagian gemas dan marah. Juga iba kepada mempelai wanita yang sudah tidak bisa lagi menahan diri. Drama sedang terjadi. Kamu dalangnya.

Ia menarik lengan kamu dari tanganku. Tapi pegangan kamu terlampau kuat. Kamu tidak bisa dipisahkan dariku.

Kamu tersenyum menang. Bibir merah itu merekah seperti mawar di awal hari. Kamu memandangnya kasihan.

"Kamu kalah, Rio. Lihat, aku datang ke pesta kamu dengan Hamish. Kamu kalah lagi. Aku tidak selamanya patah hati. Memang ya aku bukan kekasih Hamish. Sang aktor idola." Kamu berkata ringan. Seperti semudah kamu menyingkirkan sampah. Semua orang mulai berbisik-bisik. Membicarakan apa yang tengah terjadi dengan segala praduga yang menandak-nandak di atas kepala mereka. Kamu menikmati itu.

"Sekarang, Rio. Aku berikan apa yang pernah kamu tuduhkan. Aku perlihatkan apa yang kamu kepingin lihat. Sesuatu paling mustahil yang disulap keajaiban hati dan terjadi. Hamish Daud. Manusia khayal yang dulunya cuma kulihat di tivi. Laki-laki fiktif yang kamu tuduh sebagai biang jabang malang itu.

"Lihat, aku pemenangnya, Rio. Dulu, ketika kamu akhirnya sadar bahwa Hamish Daud cuma ada di tivi, kamu menyumpahi aku. Hidupku cuma akan jadi sampah. Kamu juga menertawaiku, mengatakan mustahil aku bisa bertemu Hamish. Sampai aku menyogok manajernya pakai tubuhku pun aku tak akan bisa.

"Kamu salah besar, Rio. Lihat siapa yang datang denganku. Hamish Daud. Nggak usah heran bagaimana bisa. Nggak usah penasaran apa yang telah aku lakukan. Nggak usah bertanya-tanya apa yang akan kami lakukan setelah ini. Nggak usah pedulikan itu. Cukup pedulikan saja dirimu. Kekalahan kamu. Dan keperawanan istri kamu yang kamu puja-puja."

Entah barangkali ada kekuatan alam yang memutar balik empati. Tahu-tahu terdengar gemuruh tepuk tangan. Aku tak tahu apa maknanya. Kamu tidak peduli pada apakah tepuk tangan itu ditujukan. Kamu cuma tertawa saat melihat ia menahan diri dari jatuh tersungkur.

Kamu memeluk pinggangku dengan sebelah tangan. Mengajakku pulang. Kamu meletakkan kepalamu di bahuku. Sambil menangis kamu bilang kamu rela kuapakan karena telah membantumu.

Aku cuma diam. Aku ingin bilang, aku ingin kamu tidak menangis. Tapi tidak kulakukan. Sebab aku juga masih menangis. Sedang menangis. Kita sama-sama jatuh cinta dan terluka. Aku atau siapapun pasti tidak seharusnya bisa mengatakan itu. Karena cinta pun sesungguhnya luka. Keduanya seiring sejalan. Tak bisa dipisahkan.*

Cinta Itu LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang