Isakan kecil berusaha menembus setiap celah keheningan malam mencoba berteriak dalam lelahnya setiap hari yang dilewati. Mencoba mengatur helaan nafas tapi tak pernah berhasil. Hingga sesuatu membawanya ke tempat yang lebih tenang.
Aku menutup notebookku, menghela nafas panjang dan menyenderkan bahuku yang tegang ke senderan kursi. Rasanya seperti seluruh teriakan kesedihan di dunia berteriak mengalir di tubuhku saat ku terpejam.
Pertengkaran mom dan dad tadi malam masih mengiang di telingaku. Gadis batinku mengerang berusaha mengusir ingatan itu. Dan di saat bersamaan seseorang meneriakan namaku dari kejauhan.
"Sherine!"
Aku membuka mata dan membenarkan posisi dudukku. Senang rasanya ia datang di saat aku setengah kacau. "Hai, Jab!" Sapaku dengan nada yang di buat riang.
Ia mengambil tempat di sampingku. Menaruh tasnya di rerumputan dan tersenyum manis ke arahku. Oh, sungguh aku menyukai senyuman itu. Batinku. Aku menatap kedalam matanya yang biru bagai ombak di laut yang tenang. Aku juga suka yang satu ini.
"Aku kira kau masih punya kelas, sher."
Aku menggeleng pelan saat suaranya membuyarkan pikiranku. "Ya, memang." Ucapku singkat.
"Lalu apa yang kau lakukan disini?" Apa yang aku lakukan disini? Aku sendiri bingung kenapa aku lebih memilih datang ke sini dari pada mengisi jadwal kelasku yang tak pernah aku lewatkan. "Jangan katakan jika kau membolos."
"Apa yang salah?" Ucapku sambil berusaha terlihat tidak peduli walau jelas sebenarnya aku peduli.
"Oh astaga, Sher!" Aku bisa melihat keterkejutan singkat di wajahnya. Ia menggeleng pelan lalu terkekeh melihat ke arahku. "Apa ada yang terjadi dengan mu baru-baru ini?"
Aku menggelengkan kepalaku pertanda tidak. Tapi ia terus meluncurkan pertanyaan-pertanyaan konyol seperti, "apa kau sudah makan siang hari ini? Apa kepalamu terbentur sesuatu? Atau.. jangan-jangan ada yang menerormu dan menyuruhmu untuk bolos dari kelasmu?"
"Hentikan, Jab!" Aku memutar bola mataku dan kembali menatapnya. "Mana mungkin ada seseorang yang akan meneror supaya tidak masuk kelas? Itu konyol!"
Ia terkekeh lalu sejurus kemudian ia menggeser tubuhnya mendekat dan menyisipkan tangannya di balik rambutku. "Jadi apa yang mengganggu pikiranmu?"
Suaranya berubah menjadi begitu lembut. Aku menampar wajahku ke bawah. aku mengingatkan kembali diriku untuk tidak berbicara soal masalah rumah padanya. Tidak sekarang. Mungkin nanti. Batinku. Aku menarik nafas panjang sebelum mengatakan bahwa semuanya baik baik saja.
Ia menatap mataku. Aku tahu ia ragu dengan ucapanku. Namun kemudian aku dapat melihat senyuman di wajahnya. Itu yang aku suka darinya. Ia selalu mencoba untuk mempercayaiku walau dia tahu aku berbohong. Ia juga tahu aku tidak suka di paksa jadi ia tidak melalukannya padaku dan memilih diam. Karna aku tahu dia percaya bahwa suatu saat aku akan mengatakannya sendiri tanpa paksaan.
"Aku masih ada satu kelas lagi. Kau mau menungguku atau kau akan pulang sendiri?"
Aku terdiam sebentar dan aku ingat bahwa aku memiliki janji dengan Jane siang ini.
"Kalau begitu, aku akan menjemputmu pukul 15.00."
Sebenarnya aku tidak yakin aku akan bisa pulang jam 15.00. Mengingat bahwa Jane sudah memohon-mohon untuk bertemu denganku dari jauh-jauh hari dan ia tidak pernah membiarkanku pergi jika ia tak ingin. Tapi aku malah mengangguk setuju padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always Because
Teen FictionAda saatnya sang surya mengalah pada awan kelabu untuk membiarkan pelangi hadir. Dan selalu ada pengorbanan sebelum semuanya. Everybody Get Hurts. Don't forget to smile! -Sherine