Kau Masih Ingat Jalan Pulang?

705 39 10
                                    

Permadani kecil ini kembali aku gelar di sudut kamar, rasanya selalu ingin bertemu lagi malam ini. Rindu yang candu. Biar lebih dekat kata orang-orang, padahal jika semua orang paham dan sadar Dia selalu dekat dengan kita, kan? Tapi, memang, di malam yang sepertiga ini Tuhan selalu membuka lebar-lebar kotak permintaan doa serta ampunan-Nya. Aku sungguh perlu itu. Katanya sih belum begitu banyak yang mengambil kesempatan besar itu, bagaimana jika kotak itu dipenuhi olehku saja? Ah, maaf aku tidak ingin seserakah orang-orang di gedung putih itu.

Berharap Tuhan tidak pernah bosan mendengar ceritaku. Sekali lagi aku berterima kasih atas kesempatan peluk-Nya saat tangisku sudah mulai pecah.

"Ibu, ayah udah pulang?", aku terhenyak mendengar suara kecil itu di balik punggungku, cepat-cepat menyeka air mata di pipiku.

"Nana, kok udah bangun lagi? Masih jam setengah empat loh, yuk tidur lagi yuk."

"Ibu, ayah udah pulang? Nana sengaja bangun subuh biar bisa ketemu ayah.", jelas sekali matanya masih mengantuk. Aku menariknya dan membiarkan dia duduk di pangkuanku.

"Wah anak ibu hebat ya sudah bisa bangun sendiri. Ayah... Ayah udah pergi lagi barusan."

"Udah pergi lagi?? Yah, Nana bangunnya kurang malem. Nana kangen ayah, bu."

Mewakilimu, pelukku menghangatkannya di kamar kita, mengantarkannya kembali ke dalam mimpi-mimpi cerianya, mengutus malaikat yang selalu berbaik hati akan menjaga Nana. Dalam beberapa menit, Nana sudah kembali tertidur. Pantaslah masih mengantuk, Nana tidak pernah bangun sepagi ini. Tubuh mungil Nana aku gendong dan di daratkan di kasurku. Tak apalah kali ini dia tidur di sini, lagipula kamu juga sudah pergi.

Aku memperhatikan muka bulat yang matanya tertutup itu membuatku tersenyum geli. Sudah besar ternyata anakku. Rasanya seperti baru kemarin aku melahirkannya di bidan dekat rumah. Siang yang sangat terik itu, perutku benar-benar kontraksi hebat, mungkin dia sudah tidak sabar melihat rupa ayah dan ibunya. Ketidaksabarannya di dalam perutku saat itu, membuatku menarik-narik benda yang ada di sekitar.

Bayangkan saja, aku di rumah hanya seorang diri. Berusaha teriak kencang agar tetangga mendengarkan tetapi tidak berhasil. Aku berusaha mengambil handphone untuk meneleponmu yang sedang rapat. Masih ingat betul suaramu dari kejauhan, panik. Benar-benar panik! Jikalau aku tidak kesakitan, mungkin aku akan tertawa serenyah-renyahnya saat mendengar kepanikanmu. Kau bilang, "Tenang sayang, aku pulang sekarang ya. Aku pulang sekarang!". Aku kira, itu akan jadi kata terakhir yang bisa aku dengar darimu, karena kemudian aku jatuh pingsan.

Kejadian enam tahun yang lalu itu menyeramkan sekali bila diingat, tapi sekaligus membahagiakan karena Nana lahir dengan sehat. Kebahagian kita semakin bertambah ketika ada Nana diantara kita, ayah dan ibu kita pun menyayangi Nana dan lambat laun melupakan restu yang terpaksa mereka beri saat pernikahan kita dulu, ditambah pekerjaanmu yang bisa memberikan Nana mainan hampir setiap harinya. Tetapi, aku merasa ada yang salah. Semakin tinggi jabatanmu, semakin sering kau pulang terlambat. Bahkan bisa tidak pulang satu atau dua malam tanpa kabar. Jika pulang pun, kondisimu terlihat buruk. Aku yang khawatir, kau malah memarahiku. Hingga, di mana suatu hari kita benar-benar diam seribu bahasa lalu kau pergi tanpa pamit. Aku sangat menyesal sampai hari ini, kenapa aku membiarkanmu pergi begitu saja waktu itu.

Tangisku membuncah, aku menangis dan kembali memeluk Nana yang sedang tersenyum dalam tidurnya.

Sayang, gadis kecilmu ini sudah tahu apa itu rindu. Kau tidak mau pulang? Barangkali lima atau sepuluh menit begitu, ah itu pasti sangat berarti untuknya. Gadis kecilmu ini pintar ya, dia sampai berencana bangun sepagi ini hanya untuk bertemu denganmu. Meskipun seberapa pagi dia bangun, kau tidak akan pernah ada lagi duduk di tepi kasurnya dan mengecup keningnya seperti satu tahun lalu. Kau, masih ingat jalan pulang, kan?

-END-

Kau Masih Ingat Jalan Pulang?Where stories live. Discover now