helloo semua, ini pertama kalinya aku nulis novel. Semoga suka. Dan butuh banget masukan. so, kalo kalian sempet baca jangan lupa kasi komen yaaa.. thankyouuu
------------------
"Maaf, Ma Pa, Wiena terlambat. Siang Tante maaf Wiena terlambat". Wiena menarik sebuah kursi dengan terengah-engah sambil kemudian menatap satu persatu orang yang ada di meja makan. Semua nampak tak asing, sampai matanya tertuju pada sosok lelaki seumurannya diseberang meja.
"Dari mana saja sih Wien, mama kan sudah bilang hari ini ada acara makan siang penting." Mama menatap wiena dengan tatapan wajah yang penuh rasa tidak nyaman.
"Biasa ma, jalanan macet" balas Wiena singkat.
"Iya ya, surabaya ini semkin hari semakin menjadi". Ucap tante Nida sembari tersenyum menatap WIena.
"Iya, karena semua sudah berkumpul bagaimana kalau kita mulai memesan makanan, perut papa rasanya sudah gak nahan lagi laparnya". Papa tersenyum nyengir. Papa kemudian memanggil seorang pelayan.
"Wien, kenalin ini anak tante Widhi." Ucap tante Nida kemudian.
Wiena memasang senyum selebar-lebarnya dan mengulurkan tangannya. "Wiena" .Widhi yang duduk diseberang meja meyambut tangannya dan mengucapkan namanya "Widhi" ucapnya datar tanpa senyum sedikitpun. Wiena nyengir garing dan kemudian menarik tangannya. Sungkan berlama-lamaan berjabat tangan.
Sambil menunggu pesanan datang tante Nida banyak bercerita tentang Widhi. Berusaha memperkenalkan Widhi pada Wiena. Widhi yang baru saja lulus kuliah. Widhi yang sekarang bekerja di Surabaya. Widhi yang bla bla bla bla..... Wiena tak pernah bosan mendengar cerita tante Nida. Dia sudah paham betul secerewet apa tante Nida. Cerewetnya sudah sebelas duabelas persis kayak mamanya. Maklum lah mereka berdua sahabat tujuh turunan. Tante Nida dan om Nanto sering berkunjung di rumah Wiena. Begitupun Mama dan papanya yang sering berkunjung ke Solo menemui kedua sahabatnya itu. Setahun terakhir ini tante dan Om tidak pernah sama sekali datang dan baru terdengar bahwa om sakit parah dan akhirnya meninggal dunia sebulan yang lalu. Mama dan papa datang ke acara pemakaman. Namun sayang Wiena yang saat itu sibuk dengan skripnya terpaksa tetap di Surabaya dan tak ikut keacara pemakaman om Nanto.
"Ini Widhi yang dulu sering di comblangin sama kamu Wien" ucap tante Nida.
Masih sangat tergambar jelas Om Nanto yang sering menggoda Wiena dan berussaha mencomblangkan mereka berdua.
"Anak om gantengnya udah kayak pangeran Charless looh Wien, kamu pasti naksir kalau ketemu." Om nanto selalu dan selalu mengucapkan itu ketika berkunjung. Walau sering berkunjung seingat Wiena, Widhi tidak pernah sekalipun diajak berkunjung dirumahnya. Tante dan Om selalu berkunjung di hari sekolah sehingga Widhi tidak bisa ikut. Tak tau lagi kalau mungkin ketika balita mereka pernah bertemu. Om dan tante sendiri berdomisili di Solo, mereka sering berkunjung di Surabaya untuk urusan bisnis dan kadang hanya ingin bernostalgia di kota tempat mereka menempuh bangku perkuliahan.
"Sayang yaa, kalian gak pernah ketemu. padahal tante sering main kesini" ucap Tante Nida lagi di ujung cerita.
Beberapa saat kemudian makanan datang. Mereka masih terus ngobrol kesana kemari sambil menyantap menu makan siang yang sudah dipilih. setelah selesai menyentap makanan penutup papa berdehem laksana hakim yang akan membuka persidangan.
"baiklah, bagaimana kalau kita langsung saja pada inti pembicaraan". Suasana menjadi hening seketika. Mama memandang wajah Wiena dengan khawatir.
"Jadi Wien, kamu dan Widhi akan segera menikah." Ucap papa singkat dan tegas. serentak bagai petir menyambar ujung kepala Wiena. Whatt??? Merid??? Ucapnya dalam hati.
"Ahh... papa ini, kebanyakan bercandanya.. " Wiena tertawa nyengir kearah papanya.
"Wien, papa gak bercanda.." ucap papa kemudian. Wiena yang dari tadi nyengir berubah raut muka bertanya pada orang-orang disekitarnya. Berbagai macam pikiran berkecamuk dalam hatinya. Kemarin baru saja dia melihat FTV yang cerianya tentang perjodohan. Dan sekarang bak FTV juga dia dijodohkan. Wiena terdiam mendengarkan penjelasan papanya.
Om nanto adalah suami dari tante Nida. Om Nanto dan Tante Nida adalah sahabat karib papa dan mama Wiena sejak dari jaman kuliah. Mereka tak pernah membuat kesepakatan tetang pernikahan dan perjodohan kedua anaknya. Namun nyatanya sepeninggal om Nanto, om Nanto menulis sebuah surat wasiat yang menyatakan keinginan terakhirnya. Yaitu mempersatukan keluarga kecil mereka. Wiena masih meraung-raung dalam hatinya. Berfikir bahwa semua ini tidak adil baginya. Wiena masih terlalu muda batinnya.
"Wien, papa tau kamu masih terkejut dengan semua ini. Papa dan mama gak pernah memaksa kamu untuk menerima permintaan om Nanto. Yang jelas Mama dan Papa setuju saja kalau kamu sama Widhi. Tante Nida juga. Dan Widhi juga menerima dan mau menikah dengan kamu". Ucap papa masih dengan peh ketegasan. Kata-kata tersebut semakin menjadi cambuk dalam hati Wiena. Dia bisa saja menolak pernikahan ini kalau saja Widhi juga tidak mau untuk menerimanya. Tapi kenyataan bahwa Widhi mau meminangnya semakin membuat hatinya sakit. Bagaimana seorang wanita asing bisa hidup dengannya dalam satu atap dan dalam satu ikatan yang sakral. Tanpa Cinta? Bagaimana bisa? Kalaupun nyatanya dia memang lelaki batu dari planet lain. Lalu bagaimana dengan Wiena?? Dia harus hidup dengan orang asing dan bahkan tidur seranjang dengannya tanpa cinta??? Wiena masih termenung dan kemudian tatapannya terarah pada Widhi. Untuk pertamakalinya mata mereka bertemu. Widhi menatapnya tajam tegas dan penuh dengan keyakinan.
Deg
Tiba-tiba hati Wiena bergejolak berdebar untuk pertama kalinya. Apakan ini hanya sebuah kegugupan biasa? Sugesti mata yang tenang dan dalam itu. Atau karena adanya getaran yang memang ada dalam lubuk hatinya. Pandangan Wiena beralih pada tante Nida, matanya menatap Wiena penuh harap dan Wiena melihat setitik air yang ditahannya di mata yang dulu dia lihat penuh dengan senyum keibuan. Tatapan tante Nida membawanya terbang jauh membawa kenangannnya ketika om Nanto dan Tante Nida sering berkunjung dirumahnya. Mengajaknya bermain, memberikannya hadiah dan senyum mereka. Senyum om nanto.
"Wien, kami semua tidak memaksa kamu. Semua keputusan tetap ada di tangan kamu". Ucapan mama serentak membangunkan Wiena dari lamunan panjang masa lalunya.
Wiena Menghela nafas panjang. Kemudian menghirup oksigen yang ada sebanyak-banyaknya. Memejamkan matanya dan kemudian membuka matanya.
"Ma, Pa, Tante, em.. Mas Widhi." Ucapnya berusaha tegar dan berusaha menciptkan ketegasan dalam setiap lafalnya.
"Wiena. gak bisa kasih keputusan sekarang. " lanjutnya masih dengan penuh pengharapan.
---
Wiena masih terbaring dikamarnya. Matanya tak kunjung bisa terpejam selepas shalat subuh yang dila lakukan. Dia menatap langit-langit kamarmya. Masih begitu lekat baginya makan siang kemarin. Bukan hanya kata-kata papa. Wajah om Nanto tante Nida, Papa, Mama, dan tentu saja Widhi terus berputar-putar dalam otaknya.
Ingatannya terbang jauh melayang lima tahun lalu ketika dia masih duduk di bangku SMA. Saat itu papanya terancam bangkrut. Bisnis papanya dalam bidang properti terlibat piutang ratusan juta karena terkena kasus penipuan orang yang tidak bertanggung jawab. Ketika keluarganya terpuruk Wiena juga jatuh sakit karena batu ginjal yaang mengharuskan dia operasi. Papa dan mamanya terpontang-panting mencari uang. Bukan hanya untuk hidup, dan menutup kerugian bisnisnya. Papa juga bahkan menjual beberapa barang berharga untuk biaya rumah sakit Wiena. Dalam kondisi yang terpuruk nyatanya om Nanto dan tante Nida lah yang bersedia membantu keluarga mereka. Tanpa jaminan apapun tante dan om meminjamkan uang untuk biaya operasi Wiena. Bukan hanya itu, mereka juga membantu menyeleseikan urusan bisnis papa dan mama Wiena.
“Wien... ” panggil mama sambil membuka pintu kamar Wiena. Wiena beranjak duduk di ujung tempat tidurnya sambil memandang mama.
“Kamu gak ngampus hari ini?” tanya mamasembari menaruh segelas susu di meja kecil di samping tempat tidur Wiena.
“Ke kampus mah, tapi agak siangan. Cuman mau cari literatur aja di perpus.” Ucapnya kemudian. Mama duduk disamping wiena, menggenggam dan mengelus tangannya lembut.
“Wien... mama sama papa gak akan pernah maksa kamu buat nerima permintaan om Nanto. Mama cuma pengen kamu bisa lebih pertimbangkan lagi. Mama tau, kamu sayang banget sama om Nanto. Kamu juga nangis kan pas tau om Nanto gak ada?” Wiena hanya mengangguk pelan. Pikirnnya memang gak pernah berhenti mikirin om Nanto.
“Kamu juga tau betul, kita sudah hutang banyak budi sama om Nanto dan Tante Nida. Jadi Wien, tolong pikirkan baik-baik. Apapun keputusanmu, mama dan papa cuma pengen yang terbaik buat kamu”. Mama mengelus rambut Wiena perlahan dan tersenyum.
Pikiran wiena kembali melayang-layang. Dia gak kenal siapa Widhi, bagaimana kepribadiannya, bagaimana pemikirannya. Lalu sekarang bagaiman dia akan hidup bersama dengan orang asing macam dia? Pernikahan bukan sesuatu yang semudah itu, bukan sebuah permainan kalau sudah bosan di tinggalkan. Pernikahan bukan hanya akan mengikat mereka berdua tapi juga akan mengikat keluarga mereka. Tapi bagi Wiena permintaan om Nanto adalah ..... adalah sesuatu yang sangat mungkin tak dia turuti. Om nanto sudah seperti ayah kedua baginya. Begitu juga keluarganya, mereka sangat berharap Wiena menerima perjodohan itu. Dan tante Nida.... ya tante Nida, Wiena begitu mengerti seperti seberapa besar harapannya terhadap Wiena dan Widhi. Wiena memejamkan matanya. Memijat ujung kepalanya yang mulai pening. Tak lama berselang tiba-tiba mama masuk kekamarnya kembali.
“Wien... ada Widhi dibawah, buruan cuci muka. Apa mandi kek atau apa kek. Buruan......” ucap mama dengan wajah yang kelewat panik
“Haah?? Mas Widhi mah??? Ngapainn??” wiena melotot. Belum selesei pusingnya, sekarang sudah ditambah lagi dengan kedatangan si Widhi yang tak terduga-duga.
Mama hanya bergeleng-geleng kepala kemudian menarik Wiena memasuki kamar mandi.
---
Wiena menuruni tangga menuju ruang tamu. Dilihatnya papa sudah berbincang-bincang asik dengan Widhi. Papa dan Widhi menyadari kedatangan Wiena, Wiena salah tingkah dan satu-satunya usaha yang bisa dia lakukan adalah ‘nyengir’ as always seperti biasa.
“Nah ini, yang di tunggu-tunggu sudah datang”. Ucap papa kemudian memberikan kesempatan Wiena untuk masuk dalam zona mereka.
“Kalau gitu, om masuk dulu ya Dhi, hari ini kebetulan ada meeting di kantor. Gak usah sungkan-sungkan anggap saja rumah sendiri”. ucap papa kemudian meninggalkan mereka sendiri. Wiena meremas lututnya. Gugup? Iya jelas, dia gugup dengan orang asing yang bahkan tak pantas disebut sebagai seorang teman karena bahkan mereka sama sekali tak pernah berhubungan.
“Em..... gak kerja mas? Kok pagi-pagi banget kesini”. Ucap Wiena kemudian berusaha mencairkan suasana.
“Kebetulan selama mami ada di surabaya aku cuti selama 3 hari. Panggil Widhi saja, toh umur kita gak beda jauh ” ucapnya kemudian. Wiena kembali nyengir dan membatin.
“Kaku banget” ucapnya dalam hati.
“Tante di Surabaya 3 hari ya mas, ehh maksudku Dhi... ” timpal wiena asal
“Iya, besok udah balik, rencananya nanti sore kalau kamu gak keberatan, mama pengen ngajak jalan. Katanya sih kangen surabaya pengen muter-muter. Biasanya kan agenda tahunan mami, tante Susi, dan kamu kan?” ucapnya kemudia masih dengan nada datar dan wajah yang... bisa di bilang dataaaaar banget.
“Iya sih... paling jalan-jalan ketunjungan. Trus mampir ke soto depan stasiun faforitnya tante Nida”. Tambah Wiena enteng.
“Em... kamu ngapain pagi-pagi kesini pengen ketemu aku?” tambah Wiena berusaha membuat nada yang seringan mungkin.
“Kamu gak ngampus hari ini? gimana kalau ku antar. Aku ngerasa gak nyaman kalau mesti bicara disini. Kamu tau sendiri gimana situasinya”. Ucap widhi sambil mengambil cangkir teh yang ada di meja dengan tatapan yang sama terarah tembok belakang wiena. Serentak Wina menoleh kebelakang dan Dilihatnya papa dan mama berusaha menguping pembicaraan mereka. Sayangnya perut buncit papa tak bisa disembunyikan. Keberadaan mereka tak bisa disebut sembunyi-sembunyi karena mereka sangat sangat terlihat.
“Oh my god” ucap Wiena lirih sambil memjamkan matanya. Antara malu dan ....... entahlah Wiena sudah terbiasa dengan sikap konyol kedua orang tuanya. Mama dan Papa tipikal orang tua yang santai dan kadang Keponya kelewat batas. Wiena paham betul. Keluarga kecil mereka selalu hidup bahagia penuh canda dan juga tawa. Begitu juga dengan om Nanto dan Tante Nida. Seingatnya mereka juga adalah tipe orang yang ceria, tapi anaknya.... kenapa datar dan kaku banget. Wiena gak habis pikir, bagaimana bisa Om dan tante Nida punya anak semembosankan ini.
“Wien.....” ucap Widhi kemudian. Wiena terbangun dari pemikiran-pemikirannya tentang garis gen dan DNA tante dan om. Dia mengangkan kepala dan berdiri.
“Okee.. aku siap-siap dulu” jawabnya kemudian sambil beranjak meninggalkan widhi sendiri.
Beberapa saat kemudian Wiena sudah siap dengan segala perlengkapannya di kampus. Wiena memakai sebuah celana Jins dengan kaos biru Navi yang nyaman. Rambutnya digerai Ikal, make up minimalis dan kcamata tebalnya terpasang rapi. Dia memilih pakaian yang santai karena hari ini dia tak ada jadwal untuk ketemu dosen. Dia memilih baju yang nyaman karena agendanya hari ini adalah bergelut dengan laptop dan juga buku-buku di perpustakaan.
Wiena kembali menuruni tangga dan melihat Widhi yang kembali berbincang dengan Papanya.
“Loh paa.. katanya ada meeting?” Wiena berucap sembari menampilkan muka jutek cemberutnya.
“Meetingnya di tunda sampai jam 9 entar. Lagian papa masih pengen dirumah Wien, kangen mama muluu...” papa mengedipkan matanya pada mama.
“Ihh tua-tua keladi, makin tua makin menjadi.” Ucap wiena sambil terus berjalan kearah Widhi..
“Om, tante..Widhi berangkat dulu”. Widhi berpamitan. Papa dan mama masih tersenyum dengan raut wajah yang rasa-rasanya mereka sangat bahagia melihat Wiena dan Widhi bersama.
---
Di jalan mereka berdua hanya terdiam, tak lama berselang Widhi membelokkan haluan mobilnya kearah sebuah kedai kopi di pinggir jalan.
Mereka duduk disalah satu meja diujung ruangan didekat jendela. Pelayan menulis beberapa pesanan mereka dan kemudian tak lama berselang kopi yang mereka pesan pun datang.
“Aku gak suka bertele-tele, jadi langsung pada intinya saja” Widhi mulai membuka pembicaraan dan wiena mengurungkan niatnya untuk meminum kopi hangat pesanannya. Dia membenarkan posisi duduk dan menatap Widhi.
“Aku mau kamu menikah denganku”. Ucapnya datar . Wiena memijat ringan kepalanya. Pernah dia membayangkan adegan romasntis dimana seorang lelaki menyatakan cinta dan menyatakan ingin menikah dengannya. Dengan seikat bungan dan tentu saja sebuah cincin. Tapi kenytaan memang berkata lain. Sekarang dia berada di sebuah kedai kopi biasa, tanpa musik romantis, tanpa bunga, dan tanpa cincin. Dilamar seorang lelaki-laki dan bahkan wajahnya saja baru dia lihat kemarin. Lelaki kaku datar dan nampak membosankan dengan kepribadian yang patut untuk dipertanyakan. Widhi-
Tanpa sungkan Wiena meneguk kopi hangat yang dia pesan. Memejamkan matanya sejenak dan menatap Widhi. Di lihatnya mata yang tenang dan dalam itu. Deg. Lagi dan lagi hatinya tergetarkan.
“Lidwiena Dewi, Im sure that I want to merry you. Will you merry me?” ucapnya lagi datar dan tanpa ekspresi mencintai sedikitpun.
“Apa menurutmu pernikahan itu sebuah permainan belaka, atau sekedar permintaan, wasiat, perjodohan bla bla bla.... Widhi nanto atmojo, kamu manusia terdidik baru lulus S2 dan sudah bekerja membangun bisnismu sendiri . kita gak saling kenal dan bahkan.... kita gak saling cinta. Gimana bisa kita merid?” muka Wienna memerah, kepalanya mau pecah.. apa yang dia pikir semalaman terucap begitu saja dari mulutmungilnya.
Wiidhi mengambil cangkirnya meminumnya dan membenarkan posisi duduknya. Dilihatnya Wienna santai.
“Kenapa tidak. Bagiku gak masalah. Kamu wanita pilihan papi.” Ucap widhi santai
Wiena menghela nafas dan melemparkan pandangan keluar jendela. Gak tau kenapa rasanya melihat wajah Widhi yang sedari tadi datar membuat Wiena muak dan langsung ingin memutuskan acara perjodohan ini. “NO! NO! NO” batinya.
“Aku gak mau”. Jawabnya sewot.
“Setidaknya kamu berusaha dan meyakinkanku. Aku sudah hampir memutuskan untuk menikahimu boy. Setidaknya untuk om nanto. Dan keluarga kita. Cinta bisa muncul kapan saja. Bisa jadi aku cinta sama kamu pas kita udah merid nanti. Tapii.... manusia kaku kayak kamu apa punya hati buat mencintai. Bahkan kalau niatan ni orang emang mau yakinin, ekspresi dan keinginannya gak banget. Pliiss jangan minta aku nikahin orang kayak dia. NO!” batinnya menjerit. Wiena benar-benar merasa jengkel. Jengkel dengan situasi ini, jengkel dengan keadaan dan terlebih dengan orang yang ada dihadapannya.
“kenapa gak mau?” tanya nya lagi.
“Apa perlu ku pertegas lagi?” Wiena menghela nafas.
“Aku sama sekali gak cinta sama kamu!” ucapnya lebih tegas.
“Emang apa pentingnya cinta dalam pernikahan yang akan kita jalani nanti?”. Balas Widhi
“Cinta dan kasih sayang adalah dasar pondasi sebuah ikatan yang kita sebut pernikahan. Tanpa itu semua mungkinkah kita bisa.....” ucap Wiena pasrah.
“Pernikahan bukan hanya tentang cinta. Pernikahan adalah komitmen” Widhi mengucapkannya tegas dengan terus menatap Wienna lekat.
“Tapi Dhi.... ” wiena belum sempat menyeleseikan kalimatnya ketika kemudian Widhi memangkasnya begitu saja.
“Bukannya kamu sayang dan cinta sama papa mama kamu? Kamu juga sudah anggap papi dan mami seperti orag tua kamu sendiri. Cinta dan kasih itu yang seharusnya kamu jadikan dasar dari pernikahan kita. Mereka mau kita menikah. Apa kamu gak ingin melihat mereka bahagia. kamu masih beruntung punya papa yang masih bisa jaga kamu sampai saat ini. sekarang aku, memohon sama kamu untuk memenuhin permintaan terakhir papiku. Aku pengen beliau tenang di sana.” Kalimat terpanjang dari mulut Widhi meluncur begitu saja. Masuk dan dalam banget maknanya di hati Wiena. Walaupun muka tanpa ekspresi itu masih saja sama. Namun kata demi kata yang dia ucapkan memancarkan ketulusan yang begitu dalam.
---
Pertemuan pagi tadi berakhir begitu saja. Widhi yang sempat berkata panjang mendapat panggilan dari ponselnya dan langsung mengajak Wiena kekampusnya. Dia bilang ada panggilan penting dan dia harus pergi. Widhi meminta nomor ponsel Wiena sebelum meninggalkannya di ruas jalan depan gedung kampusnya berdiri. Tanpa banyak basa basi pertemuan mereka pun berakhir begitu saja.
Beberapa menit kemudian Wiena dihujani berbagai macam pertanyaan dari kedua sahabatnya desy dan Luna. Wiena yang masih malas bercerita hanya menimpalinya singkat dan memutuskan untuk secepatnya kabur ke perpustakaan. Beberapa jam kemudian Wiena sudah disiuakkan dengan beberapa buku yang dipilih dan dijadikannya sebagai literatur salah satu variabel dalam skripsinya. Wiena sibuk mengetik dan mengambil pokok pikiran dari beberapa literatur yang ada. Konsentrasinya seratus persen sampai hapenya bergetar. Alarm ponselnya menunjukkan pukul dua belas. Wiena menutup buku yang ada membereskan semua berkas dan laptopnya. Wiena meminjam beberapa buku pada petugas perpus. Selanjutnya dia berjalan gontai menuju musola.
Selesai beribadah Wiena dudu di depan musola sambil memakai kacamatanya kembali. Dilihanya layar ponselnya. Dilihatnya beberapa chat dari Desi dan Luna. Kemudian satu chat dari nomor baru yang dikirim sepuluh menit yang lalu.
“Aku, mami sama tante Susi otw kampusmu” – widhi
“Wien, mama, tante Nida sama Widhi mau kekampusmu loo. Tunggu tempat biasa yaa.”- mama
Siang itu mereka habiskan untuk berbelanja kesana kemari. Muter-muter dan makan siang di tempat favorit tante Nida. Tante dan mama seperti biasa cerewetnya gak nahan. Wiena gak kalah rumpik. Dari bicarain masalah fashion, makanan, sampai gosip artis terkini mereka bicarakan semua. Sedangkan Widhi? Ya Widhi masih bertahan dengan wajahnya yang membosankan. Tak ada ekspresi sebal atau kecapean. Dia lebih sibuk dengan tabnya dan sekali kali membalas senyum tante Nida dan Mama. Tapi raut wajahnya dijamin 100% sama. Dari menit-keminit dan jam demi jam. Tapi jujur saja wajahnya begitu menawan. Bahkan tanpa ekspresi dia bisa dikategorikan cowok dewasa seksi semacam Reza rahardian. Dari penampilannya yang gak terlalu veminin, aroma parfum dan tatanan rambutnya. Perfect. Dan saat Widhi menjadi imam di shalat ashar yang mereka jalankan selepas berjalan-jalan, rasanya pastas dan bijak ketika mama dan papa langsung setuju ketika om nanto secara langsung menulis wasiatnya. Kurang apa coba? Tampan, kaya, beriman, matang dan dewasa. Semua itu sempurna..
Hari berlalu begitu saja. Wiena membanting tubuhnya di kasur. Jalan-jalan yang melelahkan. Kata-kata Widhi pagi tadi masih saja terngiang. Malam ini Wiena tak henti-henti memikirkan pernikahan yang masi dia pikirkan. Lamunannya jauh meayaang-layang sampai membuatnya tertidur lelap. Pikirannya masi terbagi dua antara maju dan mundur antara iya dan tidak.
---
Pagi itu Wiena duduk santai didepan tv sambil menikmati susu paginya. Kebiasaanya dipagi hari minum susu sambil melihat acara infotaiment di TV bersama mamanya. Berbanding terbalik dengan papanya sibuk membaca koran online di meja makan, nampaknya kebiasaan papa lebih sehat dan bermanfaat. Wiena masih sibuk menikmati kebiasaan paginya. Berusaha meminimalisir pikiran tentang pernikahan dan perjodohan itu. Kemarin saat keluar tak ada satu orang pun yang membahasnya. Mama, tante Nida bahkan Widhi tak menunjukkan ekspresi yang berbeda. Pola pikir yang simple dan Wiena suka.
Beberapa menit kemudian tante Nida dan Widhi datang. Pagi ini tante Nida harus kembali ke Solo. Mama dan papa masih asik berbincang. Melihat Widhi yang sedari tadi diam dan memandang kosong diatas meja. Membuat pikiran Wiena terbang kepertemuan kemarin pagi. Kata-kata Widhi dan bayang-bayang om Nanto menjadi satu. Wiena bingung dan kembali lagi dia mengingat betapa besar jasa om nanto. Ingin sekali Wiena menangis sejadi-jadinya mengingat kepergian om nanto. Wiena merasa menjadi orang yang paling egois, karena bahkan untuk mengikuti wasiat terakhirnya saja wiena tak mampu. Wiena masih sibuk dengan segala pemikirannya sendiri sampai ....
“Wien, kamu kok nglamun disitu, sini tante kan bentar lagi mau pulang ke solo..” tabte nida tersenyum dan meminta Wiena duduk disampingnya. Wiena beranjak pergi dan duduk di dekat tante Nida.
“Wien... sudah kamu pikirkan baik-baik apa yang papamu tanyakan kemarin?” tanya tante Nida kemudian. Wiena melihat mata sayu tante Nida. Pandangannya beralih pada mama, papa dan terakhir... Widhi. Pikirannya kembali berkecamuk
“Tee.... Wiena minta maaf”. Ucapnya pelan kemudian. Tanpa tau alasannya matanya mulai berkaca-kaca. Tante Nida kemudian memeluknya. Widhi yang sedari tadi diam, tiba –tiba garis wajahnya mengeras. Serasa tak percaya dan matanya memancarkan kekecewaan..
“Gak papa sayang....” tante nida mengelus rambut Wiena pelan.
“Maaf.. karena mungkin Wiena bakalan nyusahin tante kedepannya. Wiena masih perlu banyak belajar buat menjadi seorang istri yang baik.....” wiena menangis pelan. Mama dan papa tersenyum puas. Tante Nida tersenyum puas dan memeluknya semakin erat. Untuk pertama kalinya wiena melihat ekspresi terkejut dan nampaknya bahagia di raut wajah Widhi..
Mereka akan segera menikah......Tfr
Weda 22102015