Lidwiena Dewi, gadis berusia 22 tahun mahasiswa tingkat akhir jurusan psikologi. Masuk dalam kategori gadis simple, easy going dan sedikit manja. Anak dari pasangan Hariadi dan Susi ini dibesarkan dengan kasih sayang penuh karena dia adalah satu-satunya anak dari keluarga Hariadi. Seperti gadis pada umumnya dia cenderung mengataskan perasaan dari pada logikanya.
Akan segera menikah dengan...
Widhi Nanto Atmojo, lelaki batu yang tidak diketahui dari mana asalnya. Seorang pebisnis muda yang jenius dan ambisius. Widhi adalah anak tunggal dari pasangan Nanto dan Nida. Dia adalah tipikal orang yang merasa tidak memerlukan cinta dalam hidupnya. Cinta yang eksternal baginya adalah cintanya kepada keluarga. Dia menjunjung tinggi komitmen dalam hidupnya. Hubungan dan ikatan pernikahan bukanlah hal yang penting, itu adalah salah satu proses yang pasti dilalui setiap manusia.
---
Wiena masih termenung didepan jendela kamarnya. Pernyataannya beberapa hari lalu untuk menikah dengan Widhi adalah keputusan yang... bisa dibilang tiba-tiba dan Wiena sendiri tak tau kenapa dia memutuskan hal itu. Terlepas dari keputusan yang sekarang masih dia bimbangkan, dia melihat Om Nanto tersenyum bahagia disetiap mimpi dalam tidurnya beberapa hari ini. Wiena pun bahagia melihat itu semua. Wiena duduk dan mulai membuka ponselnya. Mengetik pesan chat untuk kedua sahabatnya.
"Ngampus enggak gaes?"- Wiena
Tak selang beberapa saat ponselnya bergetar, wiena mengambil monselnya dan membantingkan tubuhnya di kasur.
"Acara lamaran, dilaksanakan lusa. Mami dan keluarga dari solo ke surabaya besok" - Widhi
"iya"-Wiena
"mami ngasi aku list, barang-barang yang harus kita beli bareng."-widhi. Mengirim screenshot chat maminya.
"Hari ini, aku gak ngampus. Kalau kamu mau kita bisa pergi sekarang"- Wiena
"Aku ada meeting. Sepuluh menit lagi". -Widhi. Wiena celingukan. Mukanya masam. "Gak sekalian aja kek, nentuin waktunya." Batinnya dalam hati.
"So???????????????"- Wiena
"Nanti siang jam 2 an aku jemput dirumah"- Widhi
Wiena hanya membalas chat tersebut dengan stiker yang menunjukkan kalau dia setuju.
---
Wiena sudah siap dengan jins dan kaos santainya. Kali ini dia memakai kaos yang lebih feminin. walau tak patut disebut kencan, tapi hari ini dia akan pergi bersama dengan calon suaminya. Beberapa menit kemudian Widhi datang dengan mobil terios hitamnya. Mukanya nampak lelah dan sedikit kucel. Terlepas dari itu semua dia masih terlihat rapi dan mempesona. Dia nampak sedikit formal, Wienna kagum melihatnya, namun tak ingin terlihat memalukukan dia berusaha bersikap sebiasa mungkin.
"Kita gak punya panyak waktu , langsung ke mall terdekat saja gimana". Ucap Widhi sesaat setelah wiena memasang sabuk pengamannya. Wiena mengangguk sebagai tanda kesepakatannya.
Widhi mulai menjalankan mobilnya memasuki area parkir sebuah mall terdekat dari rumah wiena. Widi menuruni mobilnya dan Wienapun juga. Mereka berjalan beriringan menuju pintu lift.
"Oke dhi, gimana kalau kita pergi ke stand make up dulu baru ke toko perhiasan. Terus baru ke toko yang jual semua bahan-bahan kain itu". Ucap wiena menegaskan dan ingin membuka pembicaraan.
"Terserah kamu aja". Jawabnya singkat.
Tak selang beberapa lama, list demi list telah terbeli. Wiena tipikal perempuan yang tak terlalu suka semua hal yang melibatkan banyak pilihan. Beberpa kali dia menawarkan pilihan yang ada , namun akhirnya jatuh kecewa dengan jawaban dan tanggapan Widhi. Semua berakhir dengan kata-kata "Terserah ..". Wiena masih membatin sebenarnya orang macam apa Widhi. Apakah pilihan Wiena untuk menjadikan Widhi seorang suami adalah pilihan yang tepat. Ataukan semua hanya akan berakhir dengan angan-angan dan impian saja bahwa mereka akan disatukan dalam cinta. Wiena berjalan disamping Widhi. Mukanya masam dan ... kaalian pasti tau sendiri bagaimana rasanya.
Membosankan jelas. Dia berjalan dengan orang batu yang gak tau dari mana asalnya. Orang yang hanya sibuk dengan urusan bisnis, tanpa peduli dengan calon istrinya. Kosa kata yang terucap dari mulutnya hanya. "Iya". "Enggak". "Lumayan". "Terserah". Bagaimana Wiena akan hidup dengan orang macam dia.
"Kamu masih pengen beli sesuatu?" tanya Widhi kemudian. Wiena menggelengkan kepalanya dengan tatapan lelah dan muka masamnya.
"Aku mau beli kopi dulu, kamu mau?". Tanya Widhi lagi. Wiena menggelengkan kepalanya masih dengan ekspresi yang sama. Widhi berjalan didepannya kemudian. Nampaknya selain manusia batu dia tipikal orang yang tidak peka. Wiena berdiri diujung membatas dan melemparkan pandangannya ke lantai bawah. Dia kembali membuka ponselnya, sibuk mencurahkan isi hatinya pada kedua sahabatnya.
"Wien....." tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki memanggilnya. Deg mas Dimas. Dilihatnya seorang laki-laki bersama seorang perempuan cantik menggandeng mesra tangannya. Si lelaki memakai kemeja biru. Nampaknya baru pulang kerja. Dimas, kakak kelas Wiena sejak jaman SMA. Satu-satunya lelaki yang membuat hatinya tergetar. Semua orang juga tau, Wiena suka sama Dimas. Baginya Dimas adalah imam idaman. Tampangnya ganteng, jelas. Pintar dalam matapelajaran dan juga pintar berorganisasi. Wiena berusaha mendekatinya hingga masuk di Universitas yang sama dengannya. Mengikuti berbagai organisasi agar bisa lebih dekat dengannya. Namun nyatanya pilihan hati dimas jatuh pada Leona. Seorang gadis blesteran yang cantik tinggi semampai bak model dan sekarang berada mesra disampingnya. Leona tau betul Wiena mengincar Dimas sejak lama. Dia tak pernah suka dengan keberadaan Wiena. Leona masih menatapnya sinis, sombong dan seolah-olah menekankan bahwa dialah pemenangnya. Pemenang hati dimas. Wiena tersentak saking kagetnya. Masih tidak percaya dengan pasangan yang ada depan matanya. Sekarang.
"Mas dim... em.. gimana.. kabarnya". Ucapnya terbata-bata.
"Baik, kamu udah lulus belum Wien?" tanya dimas kemudian.
"Em... belum mas, ini masih skripsi". Ucapnya salting. Tiba-tiba Widhi datang dengan satu box kopi dengan dua cup di dalamnya.
"Dimas?" sapanya kemudian.
"Loh... mas Widhi. Kok ada disini". Sapa Dimas balik sembari menjabat tangan Widhi.
Widhi hanya tersenyum simpul. Sempurna. Senyum yang masih terlalu dingin, namun sangat menawan.
"Mas dimas, kenal Widhi?" ucap Wiena kemudian.
"Iya Wien, dia sepupuku, anak dari padheku." Jawabnya kemudian.
Dunia kembali berputar dikepala Wiena? Bagaimana dia bisa menjalani hidup yang sedemikian unik. Lelaki yang sangat dia suka,akan segera menjadi adik sepupunya. ADIK SEPUPU?? Wiena masih terdiam dan berputar-putar dengan pikirannya sendiri.
Mereka berbincang ringan, pada saat itu Wiena melihat sosok lain dari Widhi yang lebih santai dalam berbicara. Mungkin caranya menghadapi klient akan sama seperti sekarang. Widhi menjelaskan pada Dimas bahwa Wiena adalah calon istrinya. Dan pada saat itu Dimas pun terkejut luar biasa. Begitu juga dengan Leona pasangannya. Leona yang selama ini menganggapnya kalah, hampir saja melongo melihat kenyataan yang ada. Dimas yang terkejut menyimpan apik raut wajahnya, dia tersenyum dan mengucapkan selamat. Entah kenapa Wiena merasa ada sesuatu hubungan yang janggal antara Dimas dan Widhi. Apakah mereka benar-benr bersaudara? Dimas laki-laki yang supel, ramah dan memang sama jeniusnya dengan Widhi. Tapi Widhi? Kaku dan membosankan. Pikiran Wiena masih sangat sibuk dengan arah persaudaraan mereka.
Beberapa saat kemudian Wiena dan Widhi memutuskan untuk meninggalkan mereka terlebih dahulu. Selama berjalan menuju tempat parkir Wiena hanya diam. Pada saat dijalan pun Wiena tak banyak bicara. Widhi nampak memfokuskan dirinya pada jalanan sampai Wiena bertanya.
"Dhi, bener gak sih Dimas itu saudara kamu?" tanya Wiena kemudian. Widhi hanya mengangguk mengiyakan.
Wiena kembali terdiam. Wiena teringat betul bahwa kota kelahiran Dimas adalah Solo, tapi bagai mana bisa.... batinnya masih saja bergejolak.
"Jadi, lusa dimas ikut diacara pertemuan keluarga kita?". Tanya Wiena lagi. Lagi dan lagi Widhi hanya menganggukkan kepalanya. Tanpa sadar beberapa menit kemudian Wiena tak pernah berhenti menyebut kata Dimas. Bertanya ini dan itu, dan bahkan merujuk pada hal-hal yang sama sekali tidak penting. Memasuki gang dekat rumah Wiena tiba-tiba Widhi membanting setirnya kekiri jalan. Wiena tersontak kaget, kepalanya menoleh pada Widhi yang sedari tadi menjawab semua pertanyaannya dengan anggukan.
"Why?". Wiena memiringkan keplanya mencoba mencari penjelasan.
"Bisa gak sih kamu berhenti nyebut nama Dimas". Ucap Widhi tiba-tiba. Nadanya sedikit lebih tinggi dari biasanya. Namun lagi dan lagi mukanya datar.
"Hmm??" balas Wiena tidak mengerti.
"Kamu suka sama Dimas?" ucap Widhi kemudian. Wiena terbelalak kaget luar biasa.
"Maksud kamu apa sih Dhi?" wiena membalasnya santai.
"Kamu suka kan sama Dimas?" Ucapnya lagi.
"Dhi, kok jadi sentimetil gini sih?" Wiena masih berusaha menenangkan situasi.
"Cewek tu kenapa sih, cakep dikit bilang suka, dikit-dikit bilang sayang, trus habis itu cinta. Emang hidup didunia ini Cuma butuh cinta? Makan tu cinta". Ucap widhi kemudian. Raut wajahnya mengeras. Wiena menghela nafas.
"Trus kamu selama ini, emang gak sayang sama keluargamu, gak cinta sama ortumu?" Wiena menimpali semua doktrin Widhi tak kalah tegas.
"sesayang dan cintanya gue sama ortu gue,yang jelas gak senorak cinta dan sayang lo sama Dimas". Widhi mulai mengerkan pandangannya. Wiena masih menatapnya lekat dan gak percaya. "Norak? Lo bilang perasaan seseorang norak?" Wiena menarik oksigen sebanyak-banyaknya.
"So, selama ini sayang gue ke mami papi lo gimana? Gue berfikir tentang ketulusan tapi loe malah mikir gue norak. Susah memang ngomong sama batu kayak lo!" wiena melepas sabuk pengemannya dan membuka pintu mobil. Wiena turun dari mobil dan membanting pintu mobil sekeras yang dia bisa.
Pikiran Wiena kacau. Bagaimana dia akan bisa hidup dengan orang sekaku Widhi. Wiena berjalan menuju rumahnya yang sudah tinggal berjarak 100 meter. Pikian Wiena melayang, Wiena benar-benar takut bahwa keputusannya akan salah. Pernikahan satu untuk seumur hidup yang dia dambakan akankah bisa terwujud?. Jujur beberapa hari lalu ketika wiena benar-benar memutuskan untuk menerima pinangan Widhi, Wiena secara diam-diam kagum pada sikap Widhi. Wiena yakin semua perilaku Widhi baik itu sikap dan kepribadiannya sekarang pasti punya latar belakang yang belum ada satu orang pun tahu. Wiena mulai menaruh simpatik padanya. Dan sekarang rasa kekaguman itu sirna diganti rasa kecewa. Wiena menolehkan kepalanya kebelakang. Wiena berharap Widhi menyadari kesalahannya yang sudah menghina Wiena begitu saja. Menginjak-injak harga dirinya. Wiena berharap Widhi keluar dari mobil dan mengejarnya, meminta maaf dengan rasa ketulusan yang dia rasakan kemarin. Tapi nyatanya nihil. Widhi tetap terduduk di mobilnya masih dengan tatapan batunya. Wiena salah. Dan semua yang wiena harapkan akan menjadi impian belaka.
Sementara itu didalam mobil, Widhi mengeratkan genggamannya mengacak rambut yang tadinya tertata rapi. Dia memaki maki dirinya sendiri. tak seharusnya kebenciannya terhadap dimas dan keluarganya dilimpahkan pada Wiena. Widhi membanting kepalanya kesandaran kursi mobil, memjamkan matanya erat. Perasaan tidak nyaman mulai merasuki hatinya. Entah apa yang terjadi pada laki-laki ini. laki-laki yang sudah dengan susah payah mengeraskan hatinya. Laki-laki yang hanya memandang cinta pada kedua orag tuanya. Laki laki yang membuang jauh kebahagiaan hidupnya demi sebuah komitmen. Widi menghela nafas meremas kuat setir mobilnya, menghidupkan mesin dan memutar haluan mobilnya. Dia butuh waktu untuk istirahat dirumah.
---
Pagi ini seperti biasa rutinitas pagi seorang Lidwiena adalah duduk manis didepan TV, melihat acara infotaiment ditemani segelas susu dan beberapa camilan kesukaannya. Wiena berusaha menghilangkan perasaan marahnya. Wiena tidak bisa menghilangkan bayangan tentang tatapan mata Widhi. Bukan tatapan mata cemburu atau perasaan sentimetil lainnya. Yang dia lihat justru kemarahan. Wiena masih sibuk memandangi televisi sampai suara mamanya yang cempreng bagai gelas pecah terdengar begitu nyaring.
"Wieen....... ada Widhi" teriak mama dari ruang tamu. Serentak wiena berdiri dan celingukan melihat arah depan rumahnya. Sayangnya Wiena terlambat, Widhi sudah berdiri tepat dibelakang kursi tempatnya bersantai. Wiena berusaha membenarkan pakaian yang dia kenakan. Sedangkan disisi lain, Widhi melihat detil bagaimana Wiena berpakaian. Sudah menjadi rahasia umum. Wiena sangat suka menggunakan kaos-kaos longgar berukuran XL, tak jarang dia juga memakai kaos-kaos cowok. Dia lebih suk menggunakan kaos-kaos tipis yang adem, yang nyaman dipakainya tidur. Widhi melihat dengan jelas kaos longgar putih yang dikenakan Wiena saat ini. Hotpans merah dan juga rambut ikal Wiena yang diikat cemol ala kadarnya. Wiena berusaha menarik kebawah hotpans yang dia kenakan. Dia tak pernah malu berpakaian terbuka didepan papanya atau bahkan didepan para asisten rumah tangga yang ada dirumahnya. Namun sekarang dia jadi sedikit salting gak karuan melihat Widhi berdiri di tempatnya. Wiena menatap Wdhi marah menyipitkan matanya, dan kembali duduk pada tempatnya. Widhi duduk disalah satu kursi didekatnya.
"Kamu gak kerja?" Ucap Wiena kemudian.
"Kerja, tapi aku sempetin mampir kesini" balasnya singkat.
"Buat?" tanya Wiena balik gak kalah singkatnya
"Minta maaf." Widhi mengeluarkan kotak kecil dari saku jasya.
"Aku tau dari almarhum papi, kamu suka ngoleksi cincin untuk jari kelingking" tambahnya lagi kemudian. Satu lagi kebiasaan gak penting yang sering dilakoni Wiena. Ngoleksi cincin untuk jari kelingking. Gak banyak orang yang tau, tapi memang almarhum om nanto sering banget nambahin koleksi cincin Wiena dari jaman dulu.
" Dia mau nyogok?" ucapnya dalam hati sambil melirik kotak cincin yang baru saja dia keluarkan.
"Aku gak maksud nyogok kamu, aku Cuma mau minta maaf.. " kata-kata itu lepas begitu saja dari mulut Widhi masih dengan muka datarnya. Deg. Hati Wiena bergejolak.
"Aku norak Dhi, maaf" ucap Wiena masih terpaut kesal.
"Jujur aku memang yang salah, gak usah kayak anak kecil. Kita besok akan bertunangan." Widhi berucap datar. Pandangan matanya tak bisa lepas dari Wiena. Sebagai lelakki dewasa yang normal, Widhi nampaknya mulai tergoyah dengan penampian Wiena sekarang. Bahkan tanpa make up minimalis yang biasanya Wiena pakai, Wiena didepannya sekarang jauh lebih cantik. Wiena kembali menyipitkan matanya. Beberapa detik kemudian ponsel Widhi bergetar, sebuah panggilan masuk diponselnya. Hanya dengan sikap Widhi memohon ijin mengangkat ponselnya, nampaknya dari sekertaris pribadinya yang memperingatkan adanya pertemuan atau mungkin sedikit gangguan yang ada di kantornya. Widhi hanya mendengarkan dengan seksama, menjawabnya singkat dan kemudian menutup ponselnya.
"Aku berangkat kantor dulu ada masalah kecil". Ucapnya kemudian berdiri dan merapikan jasnya.
Wiena hanya menatapnya sepintas. Dia enggan memalingkan wajahnya dari layar televisi.
"Aku beli beberapa buku buatmu, kutaruh dimeja depan, semoga kamu suka". Ucap Widhi kemudian. Wiena hanya mengangguk dan Widhi meninggalkannya.
"Wieen... " panggilnya kemudia di ujung pintu ruang santainya. Wiena menolehkan kepalanya.
"I'm sorry" Widhi mengucapkannya tegas, masih dengan ekspresi yang sama. Kemudian dia meninggalkan ruangan itu.
Entah sejak kapan Wiena merasakan kedekatan ini. perasaan baru saja beberapa kali mereka bertemu, itupun mereka berada dalam posisi berdebat. Dan sekarang bagaikan angin yang tidak bisa dijadwalkan datangnya, hidupnya seakan sudah sangat terbiasa dengan datang dan perginya angin itu. Widhi dengan wajah datarnya, kepribadian batunya, bau dan perawakan tubuhnya. Semuanya..
Wiena mulai terbiasa dengan Widhi.
---
Hari ini akhirnya datang juga, hari dimana kedua belah keluarga bertemu dan mengikatkan sebuah tali yang mana akan membawa Widhi dan Wiena kedalam satu ikataan keluarga yang baru. Hari ini Wiena nampak anggun dengan balutan kebaya sederhana yang membalut tubuhnya. Hatinya berdebar kencang, keraguan yang beberapa hari lalu menghinggapi benaknya nyatanya sekarang tak terlalu terasa kadarnya. Wiena merasa lebih siap dari sebelumnya. Wiena siap menerima Widhi dengan segala keadaannya. Aneh bukan, ketika kita menemukan seseorang yang mungkin memang digariskan menjadi pasangan kita. Wiena masih tersenyum bahagia, sampai dilihatnya dimas dan Leona datang bergandeng mesra.
"Selamat Mas Dhi, selamat Wien.." ucapnya menjabat tangan Widhi dan Wiena bergantian. Hati Wiena mulai berdebar kembali. Bukan karena Widhi, tapi karena Dimas didekatnya.
Acara berjalan sakral dan hikmad. Semua orang mengucapkan selamat dan turut berbahagia akan pertunangan mereka. Hari ini Widhi bersikap manis, walau wajah datar membosankannya tak akan pernah bisa berubah. Wiena dan Widhi saling bertukar cincin dihadapan semua keluarga. Pertunangan yang begitu sederhana namun maknanya begitu dalam. Pada saat cincin dikenakan, fikiran itu kembali masuk dalam hati Wiena.
-Akankah perasaannya bisa berubah pada Dimas dan Widhi? -Tfr
Weda 23102015