PROLOG

18.6K 285 9
                                    

"KUKIRA pernikahan akan berakhir hanya pada kematian, bukan di meja persidangan."

Aku tertawa. Perkataannya begitu polos seperti anak sepuluh tahun yang baru diajari tentang makna pernikahan oleh orangtuanya. "Umurmu berapa? Naif sekali pikiranmu."

Tapi ia tak tertawa. Hanya menatapku dengan tatapan yang aku tak tahu artinya. Ia hanya terdiam, membuatku berhenti tertawa dan akhirnya risih karena ditatap seintens itu.

"Apa?" tanyaku setelah beberapa saat.

"Apa kamu pernah menangis setelah berpisah dengannya?"

Aku tak langsung menjawab. Satu alisku spontan naik begitu saja saat mendengar pertanyaannya. Aku enggan menjawab, karena pertanyaan itu hanya mengingatkanku pada satu momen, di mana aku jadi orang yang paling bodoh di dunia ini.

Apa aku menangis setelah berpisah dengannya?

Tentu saja jawabannya, iya. Selama dua tahun hidup satu atap dengan lelaki brengsek tersebut, pada suatu siang yang mendung di bulan November aku menemukan suamiku sedang bercumbu dengan perempuan lain.

Di atas ranjang kami, yang bahkan paginya masih kami gunakan dengan semestinya, hingga aku datang terlambat ke kantor dan terpaksa mengambil hard drive yang tertinggal.

Aku menangis saat keluar dari rumah setelah memaki pasangan hina itu dengan umpatan paling kasar. Aku menangis saat mencari tahu bagaimana caranya mengajukan perceraian ke pengadilan. Tapi hanya pada saat itu aku membiarkan diriku menangis.

Aku akan selalu jadi Arseila yang kuat dan tangguh. Aku tidak akan membiarkan lelaki itu berhasil membuatku mempertahankan rumah tangga ini hanya karena ia tak ingin menyandang status duda.

Ia pikir aku mau menyandang status istri-yang-diselingkuhi?

"Hei." Satu tepukan di bahu membuatku tersadar dari lamunan. "Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau jawab."

"Buat apa bertanya kalau begitu." Aku mendengus sebal.

"Membicarakan masa lalu memang bukan hal yang mudah. Tapi kamu dan aku sama-sama tahu, bahwa nggak akan ada masa kini dan masa depan kalau nggak ada masa lalu."

Ya, aku tahu hal itu benar adanya. Tapi yang jadi masalah adalah bagaimana aku bisa memikirkan masa depanku kalau masa lalu sudah terasa menghancurkan seluruh duniaku? Kalau sudah seperti ini, biasanya aku akan menghabiskan sisa dari 24 jam di hari ini hanya untuk mengutuk masa laluku itu.

Seperti yang sudah-sudah.

***


So Over YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang