Langit cerah, warna birunya membelah cakrawala. Aku menatapnya, sedetik kemudian memejamkan mataku untuk menyerap apa yang kulihat barusan di balik jendela besar.
Indah. Seperti dirinya.
Kepulan asap yang menguar dari gelas kopi di hadapanku menyadarkanku kalau itu semua hanya semu. Dirinya, semu.
Aku menghela napas berat. Apa sesulit ini untuk mengikhlaskan hati?
***
Deru kendaraan bermotor menemaniku sepanjang perjalanan. Kira-kira dua jam perjalanan dari Pancoran menuju Bumi Serpong Damai. Skuter matic andalanku melaju dengan kecepatan 60km/s, beruntung jalanan tidak padat seperti biasanya. Helm Bogo berwarna merah tua melindungi kepalaku dari teriknya sinar matahari siang ini.
Memasuki kawasan BSD, aku semakin semangat melajukan skuter menuju perumahan tempat tinggalku.
Dari jarak beberapa meter, aku bisa melihat seseorang duduk di bangku teras rumahku, dia sedang asik memainkan ponselnya sambil sesekali menyesap kopi susu dalam kemasan favoritnya.
"Akhirnya kamu pulang," katanya, menyambutku saat aku memarkirkan motor di halaman rumah.
Aku hanya membalas sambutannya dengan senyuman. "Udah lama?" tanyaku.
Dia melirik jamnya sekilas. "Baru beberapa menit kok, darimana?"
Aku melepas helm dan duduk di hadapannya. Menatapnya bingung, sudah beberapa hari ini dia menghilang. Adara memang seperti itu, datang dan pergi semaunya. "Dari kampus, tumben ke sini, biasanya sibuk sama pacar-pacarmu."
Dia terkekeh. "Jangan gitu dong, memang aku gak boleh dateng ke rumah kamu? Lebih tua tapi ngambekan," ejeknya, sambil menyapit hidungku.
"Ish! Kamu tuh, lebih muda harusnya ngalah. Pasti ada maunya 'kan pake segala datang ke sini?"
"Istilah darimana tuh?" Dia terkekeh lagi, "aku cuma mau bilang, waktu aku di sini sama kamu gak banyak, beberapa lama lagi aku harus ke luar kota, ngejar impianku."
Aku bergeming. Aku bahkan lupa, kalau sudah saatnya dia mencari kehidupannya yang jauh lebih sempurna daripada ini. Adara orang yang ambisius, dia akan mengejar apapun mimpinya sampai dapat, sekalipun itu harus meninggalkan orang terdekatnya, termasuk aku. "Sampai kapan kamu mau di sini?"
Angin berhembus dari sela dedaunan pohon yang mengitari halaman depan rumahku, menusuk pori-pori kulitku hingga nyaris saja menyayat tulang di tubuhku. Kembali menaikkan tatapanku yang sempat kosong beberapa saat, aku masih bergeming. Adara menghilang. Ternyata kejadian barusan ... lagi-lagi-- ilusiku kembali menghantui.
***
"Esspresso Coffee Milk dan Greentea Latte," ucapnya pada pelayan yang membawa buku kecil guna menuliskan pesanan. Lalu sang pelayan pamit setelah menyebutkan kembali pesanan kopi yang Adara minta.
"Masih suka Greentea Latte?" tanyanya, sambil tersenyum miring. "Gak mau pesen yang lain? Rasanya kan aneh, Greentea campur kopi gimana gitu,yhek," ucapnya, dengan ekspresi menjijikan.
Aku mendesis, dia selalu saja meremehkan pesananku di kafe ini. "Kamu sendiri, kenapa selalu pesen Esspresso Coffee Milk? Itu kan cuma sekedar susu kental manis dan kopi hitam. Apa enaknya? Mahal-mahal ke sini, di warkop deket rumahmu juga ada, cuma beda nama doang!" sungutku kesal.
"Ya beda dong! Kopi di sini pasti kualitasnya juga beda, beda sama kopi instan di warung-warung."
"Sok tahu!" cibirku.
Dia terkekeh, menyentil keningku yang tidak pernah tertutup poni. "Aku penikmat kopi, kamu lupa?"
Aku menggeleng mantap. "Gak mungkin lupa sama maniak kopi macam kamu.By the way, kamu sudah pasti masuk universitas di Bandung itu?"
YOU ARE READING
Coffee-o-Logy
Short StoryPersembahan cerita dari member favorit Voksta--BiskuitRegal (@retnogaluh) Aku tahu akan selalu ada kenangan di setiap perpisahan. Tapi aku tak tahu, mengenangmu bisa sesakit ini. Bahkan aku tak bisa membedakan, mana yang nyata dan mana yang ilusi.