Gone

8.7K 361 74
                                    

Cerita ini tentang Gay. G-Theme. Jadi bagi yang gak suka cerita Gay, boleh menyingkir. Bagi yang suka, merapat. Thanks :D

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Gone

By. Rendi Febrian

Wortel, cek. Tomat, cek. Cabai, cek. Kentang, cek. Dan yang lain-lainnya, cek.

Kumasukkan semua bahan-bahan itu ke dalam keranjang belanjaanku. Kemudian kembali menyusuri setiap lorong supermarket ini dengan kaki letih. Bahan-bahan masakan yang akan kubuat malam ini sepertinya sudah lengkap. Namun seperti masih ada yang kurang, hatiku berkata seperti itu. Aku berhenti sejenak di depan tumpukan Drink & Swallow. Kupicingkan mataku, menyelusuri setiap rak dengan hati-hati. Ah, benar… Sampanye Chardonnay. Kuambil Sampanye itu lalu kumasukkan ke dalam keranjang belanjaanku, botolnya yang terbuat dari kaca terbentur kecil dengan kotak mentega.

Dengan langkah panjang aku berjalan menuju ke kasir. Keranjang belanjaanku sudah penuh, malam ini aku dan Seth—pacar cowokku, yang sudah bersamaku hampir enam tahun lebih—mau merayakan hari di mana kami akan resmi menjadi pasangan. Dia melamarku dua hari yang lalu, tepat di depan patung Liberty dan ditonton hampir seluruh turis yang ada disana. Aku kaget, tetapi aku juga senang. Kami akan menikah besok, semua hal telah diurus oleh Seth. Undangannya, tempatnya, makanannya dan yang lain-lainnya.

Setelah wanita paruh baya yang menjaga kasir itu memasukkan semua belanjaanku ke dalam kantong kertas, aku langsung mengambilnya dan berujar terima kasih padanya. Kupeluk dengan erat kantong itu di lengan kananku, lalu membuka pintu supermarket dengan tangan kiriku. Baru saja aku berada di luar, tiba-tiba ponselku berdering. Kukeluarkan benda itu dari dalam saku celanaku, kemudian menatap layarnya.

Seth, calling

Pada dering ketiga, barulah kuangkat ponselku. Suara Seth yang serak-serak basah, selalu bisa membuatku merinding. Tetapi merinding dalam artian yang baik, tentu saja.

“Kau dimana Jun? Aku akan menutup kedaiku lima belas menit lagi. Kau jadikan memasak lasagna dan chicken pot pie with mashed potato untukku?” Dia berkata dan bertanya dengan cepat. Daridulu, dari pertama kali kami bertemu dan berbincang-bincang, dia selalu seperti itu cara bicaranya. Tetapi itulah yang membuatku mencintainya.

Kuhembuskan nafasku perlahan, menghirup udara dingin bulan Desember secara perlahan dan membiarkan udara itu masuk ke dalam paru-paruku. “Dua puluh lima menit lagi aku akan sampai di rumah. Ini masih di supermarket yang ada di St. Lucas Avenue. Dan ya, aku akan memasakanmu kedua makanan itu. Tunggu saja aku di rumah.”

Kekehan lembut meluncur lembut dari hembusan nafasnya, kemudian menerpa lemah gendang telingaku. “Kau yakin bisa Jun? Aku tidak akan memaksamu buat memasak makan malam untuk kita berdua jika kau terpaksa. Kau ingat terakhir kali ketika kau memasak untuk kita berdua? Oven rusak, semua pisau jadi tumpul, dan dapur lebih kotor daripada dapur yang ada di kedaiku. Jadi… jika kau ingin membatalkannya, aku akan menerimanya sekarang.”

“Tidak, aku tidak akan membatalkannya.” Aku berkata tegas, nada absolut dan tak terbantahkan terdengar di pita suaraku. “Aku tahu aku tidak bisa memasak, tetapi malam ini aku akan benar-benar mencoba. Sekarang yang harus kau lakukan adalah menyalakan lilin di tengah meja, gunakan tuxedo terbaikmu, dan ketika aku memasak… kumohon dendangkan aku lagu kita. Blonde On Blonde. Oke?”

“Baiklah sayang,” ujarnya lembut, selembut sutra yang menjadi selimut kami berdua di dalam kamar. “Kau cepat pulang ya, aku merindukanmu.”

Aku tersenyum mendengar nada menggodanya. “Baiklah. Aku juga merindukanmu.” Untuk beberapa saat, tidak ada yang berkata-kata. Keheningan hampir digantikan dengan kasak-kusuk di ujung sana. Seth ingin mematikan sambungan telpon, cepat-cepat aku mengatakan apa yang ingin kukatakan daritadi. “Seth, aku mencintaimu, kau tahu itukan?”

Gone (Oneshot)Where stories live. Discover now