Desir angin menggugurkan sebuah kelopak bunga Sakura, hingga menemui bumi, tepat dihadapan ku. Ku lihat lagi tempat ini. Tatapanku pada setiap penjuru, setiap sudut taman nan indah… hingga sudut hatiku yang kini muram, temaram. Sakura kedua mulai gugur, meninggalkan bekas sebuah ranting kosong nan hampa. Ranting kering yang baru saja kehilangan bunganya.
Melangkah kembali, memulai untuk mengulangi semua yang ku harap aku bisa mengulanginya. Setelah kepergian ku yang cukup lama dari kota ini. Bernostalgia dengan beberapa tempat yang masih tergambar jelas dalam pikiran ku sedari tadi.
Aku melangkah lagi, sedikit lebih jauh. Tampak jelas sebuah pohon Sakura berdiri dengan anggunnya di belakang sebuah gedung yang sepi, bahkan bisa dibilang gedung tua yang sudah cukup lama tak terpakai lagi. Aku perlahan menebar senyuman, menyapanya dengan hangat…
***
(flashback…)
“Hai…” tutur ku membuka pembicaraan. Ia tetap terdiam. Aku mencoba lebih keras lagi.
“Ohh… hai juga.” Jawabnya kemudian setelah ia menyadari kehadiran ku.
“Anak baru, ya?” Tanya nya. Aku hanya mengangguk. Kemudian Ia tersenyum ramah.
“Aku Hans. Pindahan dari Belanda. Kamu?”
“Nami Natsuke. Panggil aja Nami.” Ia tersenyum lagi.
Bel berdering ditengah-tengah pembicaraan kami. Tak apa, setidaknya aku sudah mengetahui namanya. Nama yang indah…
Seorang gadis manis yang sangat menarik perhatian ku. Bagai puncak dari segala rasa penasaran ku. Nami… ini pertemuan pertama kita. Tapi… andai kau tau…
***
Ku lirik pergelangan tangan kanan ku. Tatapan ini terpaku, diam, pada sebuah benda harapan yang hingga kini masih melekat erat. Sederhana, namun berharga. Seperti musim semi. Ya, musim semi saat pertama kali aku bertemu dengannya. Rangkaian bunga Sakura pada sebuah benang, membentuk gelang. Gelang yang kini tengah aku kenakan. Yang membawa setiap langkahku pada ingatan bayang masa lalu, masa ku dengan nya.
Aku melangkah, menelusuri kota ini lagi. Semua masih pada tempatnya walau beberapa ada yang sudah beralih fungsi. Toko Mainan, warung Mie Ramen, Toko Aksesoris, semua masih persis seperti saat terakhir kali aku melihatnya.
‘Aku rindu akan rasa Mie Ramen Tamaguchi… aku ingin menemuinya.’ Batin ku. Bergegas ku perintahkan kaki ini untuk berjalan, melangkah menuju sebuah tempat makan sederhana di tepi jalan. Aroma Mie Ramen meraba indra penciuman ku. Membuat rasa rindu dan lapar seakan berpadu menjadi satu.
“Hai…”
“Selamat datang.”
“Paman, masih ingat aku?”
“Hans… kamu Hans, kan? Tentu saja aku masih mengingat mu.”
“Wah… paman hebat juga. Oh iya, aku pesan semangkuk Ramen ya, paman.”
“Baiklah. Akan aku buatkan. Tunggu sebentar.”
“Ya, paman.”
Tempat ini masih sama, hanya beberapa bagian dinding yang tampak kusam akibat sudah terlalu lama berdiri, menjaga sang pemilik untuk tetap dapat mencari nafkah. Aku masih ingat semua tentang tempat ini. Bahkan…
***
(flashback…)
“Kamu suka mie Ramen Tamaguchi, ya?”
“Iya. Aku selalu ke sini setiap hari.” Jawabku.
“Paman, aku pesan satu mangkuk…” Ujar Nami lalu duduk di kursi sebelahku.
Kami menikmati siang ini bersama. Bahagia karena aku bisa melihat senyumnya sedekat ini. Melihatnya ada di sampingku. Jarak kami begitu dekat. Entahlah, aku mulai menyukainya sejak pertama kali kami bertemu. Ketika aku menyapa dan berkenalan dengan nya. Namun rasa ini hanya bisa aku pendam.
“Hai… boleh gabung ga?”
“Boleh.”
“Kelihatannya kamu sudah akrab sekali dengan anak baru ini, ya, Nami…”
“Ya, kamu kan tau aku selalu suka mendapat teman baru, Minuro.”
“Oh iya, ngomong-ngomong siapa nama mu?”
“Namaku Hans.”
“Aku Minuro Takeda.”
Kami bertiga kemudian menikmati siang ini bersama, dengan sedikit canda tawa, juga beberapa pembicaraan ringan mengenai kehidupan sekolah yang membosankan jika kau tanya Minuro, sementara Nami menganggapnya menyenangkan, dan bagiku, kehidupan sekolah ku kali ini begitu mendebarkan. Aku tidak tau apa yang akan terjadi besok.
Kami pulang bersama. Nami sampai duluan, sementara aku dan Minuro masih harus menempuh beberapa ratus meter lagi.Minuro hanya terdiam sejak tadi.
“Minuro, ada apa dengan mu? Apa kau sakit?”
“Tidak. Aku hanya…” Minuro terdiam lagi. Kata-katanya terputus.
“Hanya apa?” Tanya ku penasaran.
“Tidak, aku duluan, Hans.”
“Ya.” Jawab ku. Minuro kenapa ya?
Keesokan harinya, aku menemui Minuro lagi. Namun kali ini aku sendiri, tidak bersama Nami. Ku lihat, Minuro masih asyik berkutik dengan bukunya. Hmm…
“Hai, Minuro.”
“Oh, hai juga Hans.”
“Buku itu… persis seperti buku yang dibaca Nami saat itu.”
“Oh… ini. Ya, kami menyukai buku yang sama. Sejak dulu, aku dan Nami selalu menyukai hal yang sama. Bahkan hingga saat ini.”
“Benarkah? Wah… persahabatan kalian tampaknya menyenangkan.”
“Ya… kamu benar. Hans, aku harus pergi. Bye…”
“Bye…”
Minuro pergi, entah kemana. Ku lihat bunga-bunga Sakura mulai berguguran. Menarik, sungguh indah. Aku menyukainya. Ku putuskan untuk menikmati keindahan ini sesaat. Memang menyenangkan rasanya berada di sini.
“Hans…”
“Oh, hai Nami. Minuro baru saja pergi.”
“Hmm, begitu.”
***
“Silahkan…”
“Terima kasih, paman. Hmm… baunya lezat.”
“Hei Hans, ngomong-ngomong sudah berapa lama ya sejak terakhir kali kau datang ke tempat ini?”
“Sekitar 5 tahun, paman.”
“Ya. Waktu itu kau bilang akan melanjutkan sekolah di Belanda, kan?”
“Ya paman. Ayahku meminta untuk aku kembali lagi ke Belanda.”
“Lalu apa yang kau lakukan saat ini, di sini?”
“Aku ingin menemui seseorang…”
***
(flashback…)
Menjalani waktu di sini, semakin lama aku semakin terbiasa. Bersahabat dengan dua gadis jepang yang cantik, juga kini bertambah seorang lagi. Ichiro, pemuda sederhana namun ramah. Sama sepertiku, ia juga murid baru…
“Hai semua… maaf aku telat.”
“Tak apa, Hans. Duduklah.” Hari ini untuk pertama kalinya kami mengerjakan tugas bersama. Bersamanya… aku bahagia.
“Hei, aku mau mengatakan sesuatu…” tutur Ichiro.
“Ada apa?” Tanya Minuro.
“Iya, jangan membuat kami penasaran.”
“Aku ingin mengatakan… sejak pertama aku bertemu dengan mu, aku sudah menyukai mu. Aku tak pernah bisa berhenti memikirkan mu, Nami… akankah kau menjawab perasaan ini?”
Ku lihat Nami mengangguk. Ichiro baru saja menyatakan perasaan nya pada Nami di depan kami berdua. Sungguh, aku iri atas keberaniannya.
Hari ini bahagia, setidaknya bagi mereka berdua. Kami, aku dan Minuro hanya ikut tersenyum.
Hari ini berakhir juga. Di hadapan senja, aku berdiri. Menunggunya… hingga mentari itu pergi. Sedikit sepi menghampiri ku yang ku harap sepi ini akan pergi, seiring perginya mentari. Di bawah sebatang pohon Sakura, di tepi danau. Tempat favorit ku untuk mengucapkan salam perpisahan, pada senja.
“Hans…” seseorang memanggil ku.
“Nami…” Nami hadir. Seperti biasanya. Ku kira ia takkan datang sore ini.
“Ku kira kamu ga akan datang sore ini.”
“Malah sebaliknya. Aku berfikir bahwa kamu yang ga akan datang. Bagaimana dengan Ichiro?”
“Ia sudah pulang. Makanya aku ke sini.”
“Pasti kamu bahagia, memiliki seseorang seperti Ichiro.”
“Ya. Lalu, bagaimana dengan mu?”
“Aku juga akan memilikinya. Aku hanya menunggu kesempatan itu.”
“Benarkah? Siapa gadis itu?”
“Minuro. Aku ingin menyatakannya besok.”
“Oh… selamat berjuang, Hans. Aku mendukung mu.”
Senyum Nami manis sekali. Aku suka melihatnya. Ichiro beruntung. Ku kira Minuro pasti juga akan bahagia. Aku tau ia menunggu ku.
Aku menepati apa yang aku utarakan pada Nami kemarin. Kini senyum itu menghiasi wajah Minuro. Aku juga bahagia. Kini, ia ada di samping ku. Aku suka menatap sorot kebahagiaan pada wajahnya.
***
Setelah puas menyantap mie Ramen, aku kembali berjalan. Menyusuri beberapa tempat, mengembalikan kenangan masa lalu yang hampir pudar, seiring dengan pudarnya warna-warni cat pada gedung-gedung tua itu.
Tiba-tiba, aku merasa ingin sekali berada di bawah pohon Sakura. Di depan sebuah danau. Sebentar lagi mentari akan kembali pada peraduannya. Aku ingin mengucapkan salam perpisahan lagi padanya.
Danau ini tak berubah. Masih seindah dulu. Aku berbalik, melihat ke arah pohon Sakura, ia masih berdiri dengan gagahnya di sini. Bahkan pada batangnya yang keras, masih terdapat sebuah ukiran indah kenangan. Kenangan, aku dan dirinya.
***
(flashback…)
Senja terakhir musim semi. Entahlah, namun rasanya senja ini berbeda. Tanpa terasa, persahabatan kami telah terjalin cukup lama. Namun…
“Hans… aku harus pergi.”
“Kemana?”
“Amerika.”
“Apa? Untuk apa?”
“Ada yang harus aku lakukan di sana. Mungkin aku tidak akan kembali.”
“Nami… apa maksud mu? Lalu… bagaimana dengan aku, Minuro dan terutama Ichiro?”
“Aku sudah berpamitan pada mereka. Sebelumnya, aku ingin memberi mu ini…” ia menyodorkan sebuah kotak yang terbungkus rapi dilengkapi dengan pita biru, warna kesukaan ku.
“Te…terima kasih. Tapi, apa ini?”
“Bukalah nanti, ketika saatnya. Kamu akan tau kapan. Sampai jumpa, Hans.”
“Tapi, Nami…”
Aku tak percaya, ia pergi. Itulah pertemuan terakhir ku dengannya. Dengan gadis manis itu. Sampai jumpa, Nami. Walau aku terus berharap kita bisa bersama selamanya. Sejujurnya aku sedih dengan perpisahan ini.
Seminggu kemudian, ayah meminta ku untuk kembali ke Belanda. Bersekolah di sana lagi. Ayah harus kembali ke Belanda. Dan seluruh keluarga harus bersama nya. Aku sudah terbiasa seperti ini. Namun kali ini sedikit berbeda.
“Minuro, Ichiro… maaf aku harus pergi.”
“Tidak apa-apa. Kami mengerti.”
“Hans, hati-hati. Aku akan selalu menunggu mu kembali…” Minuro menangis sedih. Aku turut merasakan kesedihannya.
Namun aku harus pergi. Sampai jumpa lagi, Minuro, Ichiro… aku akan merindukan kalian. Maaf aku harus pergi.
***
Kini aku kembali lagi. Sejak perpisahan terakhir kami di sini. Berpisah dengan Nami, Minuro, juga Ichiro. Aku masih merindukan mereka, dan aku berharap bisa bertemu mereka di sini. Aku masih memiliki hadiah pemberian Nami saat itu.
‘Aku belum pernah membuka kotak ini. Apa sekarang saatnya, ya? Ku harap memang inilah saatnya.’ Batin ku. Ku lihat di kotak mungil itu, ada ukiran nama ku dan Nami. Hans & Nami. Aku merindukan mu.
Aku membukanya. Rasa penasaran ini akan terjawab. Tepat di saat gugurnya sebuah bunga Sakura, perlahan kotak itu ku buka. Aku mendapati sebuah bunga Sakura berwarna putih yang telah dikeringkan, indah sekali. Lalu, ada sepucuk surat yang menyertainya.
Perlahan aku membuka dan membaca surat itu, surat yang terbungkus rapi pada sebuah amplop berwarna putih.
‘Untuk Hans…
Sejujurnya, sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah begitu menyukai mu. Aku juga tak mengerti ada apa dengan diri ku. Padahal kebersamaan kita tak lebih lama dari sebuah musim semi. Hans… mungkin kamu tak pernah menyadari, tapi aku selalu memperhatikan mu. Rasanya bahagia sekali ketika kau bisa ada di sampingku. Menatap senyum mu, bagai nafas baru untuk ku.
Namun rasa ini aku pendam begitu saja. Aku tak sanggup. Ingin rasanya semua kembali seperti biasa saja. Namun aku tak bisa. Kau terlalu berharga untuk ku lupakan bahkan walau hanya sedetik dari kehidupan ku.
Tapi aku menyadari, tak ada gunanya berharap. Aku tau, Minuro menyukai mu. Dan Ia sahabat ku. Aku akan selalu bahagia untuknya. Dan saat aku mengetahui bahwa kau juga menyukainya, sejujurnya menyakitkan namun aku bahagia. Kalian harus bersama, bukan begitu, sahabat? Aku tau, memaksakan keinginan hati ku sama saja dengan menghunus pisau ke dalam jantung kalian. Apalagi ini hanyalah keinginan dari seseorang yang tak punya harapan hidup lagi.
Untuk itu aku memutuskan untuk pergi. Meninggalkan kalian semua mungkin adalah jalan yang terbaik untuk ku, juga untuk kalian. Aku tak ingin kehadiran ku mengganggu kisah indah kalian, kisah mu dan Minuro.
Namun, aku masih ingin berharap . Berharap bisa kembali, bertemu dengan mu lagi. Walau harapan untuk ku kembali sangat sedikit bahkan mungkin tak ada. Setidaknya aku berusaha untuk sembuh, seperti katamu… ‘tak ada yang sia-sia.’ Kau lah yang membuat ku memiliki harapan untuk hidup lagi, Hans… aku ingin sembuh.
Aku berharap kita bisa bertemu, pada Hanami berikutnya…
Nami’
Seketika aku tertunduk, tertegun. Nami… itukah jawaban nya? Jawaban dari semua rasa penasaran ku selama ini?
Andai kau tau, Nami… sejak hari pertama kita bertemu, aku juga sudah menyukai mu. Rasa yang terlalu dalam ini hanya dapat ku pendam. Betapa aku iri pada Ichiro yang dengan berani menyatakannya pada mu. Sementara aku…
Nami… maafkan aku yang membuat mu kehilangan harapan. Karena sesungguhnya aku lah yang merasa telah kehilangan harapan atas dirimu. Aku sungguh mencintai mu, Nami. Maafkan aku yang terlalu takut untuk berkata ‘Aku mencintai mu’. Aku sungguh payah. Membiarkan mu menunggu begitu lama.
Aku berbalik, menatap pohon Sakura itu lagi. Aku ingat, Nami pernah mengukir nama ku dan namanya di batang pohon itu. Ketika itu kami hanya tertawa melihat keunikan nama kami jika disatukan. ‘Hanami’. Kata itulah yang terbentuk. Tepat sekali dengan saat pertama kali kami bertemu, ketika itu semua orang sedang merayakan Hanami, begitu katanya.
“Hans…” seseorang menyapa ku.
“Nami?” Tanya ku lalu aku berbalik menatapnya.
“Aku bukan Nami, Hans…”
“Oh… Minuro. Maaf, aku kira Nami yang memanggil ku.
“Aku sudah tau semuanya. Nami bercerita pada ku sebelum ia berangkat ke Amerika. Aku menunggu mu, Hans. Menunggu mu kembali.”
“Bagaimana kabar Ichiro? Juga Nami…”
“Ichiro baik. Dan Nami… setahun setelah kepergiannya aku mendapat kabar bahwa ia telah meninggal karena sakit yang dideritanya. Maaf, aku tidak mengabarimu akan hal itu. Maaf juga karena keegoisan ku yang akhirnya memisahkan kalian.” Minuro tertunduk sedih, demikian juga dengan ku. Aku tak pernah menyalahkan nya. Aku menyesali diri ku sendiri.
“Sudahlah… semua sudah terjadi. Setidaknya harapan Nami terkabul, ia ingin kita bahagia, bukan?”
“Sekali lagi, maafkan aku… Hans… Nami…” isaknya dalam tangis sembari menatap Sakura yang berdiri diam, dihadapan kami kini.
“Nami tak pernah menyalahkan mu.”
“Ya, ia sangat baik. Aku harus pergi… selamat tinggal, Hans.”
“Ya, sampai bertemu lagi.” Minuro pergi dengan derai air mata yang belum kering di pipinya. Aku turut merasa sedih, pasti berat baginya. Demikian juga dengan ku.
‘Nami, aku hadir di sini. Berharap bisa bertemu dengan mu lagi. Maaf, mungkin aku sangat terlambat…’
Aku kembali membuka selembar kertas kusam yang selalu ada dalam genggaman ku sejak 5 tahun yang lalu. Membacanya kembali, lalu melepasnya. Membiarkan angin membawa kertas itu pergi, bersama semua rasa, asa, untuk kebersamaan dengan mu, Nami…
‘Mudah saja bagiku untuk menghiraukan mu
Mudah saja ku perintahkan kaki ini untuk melangkah, menjauhi mu
Mudah saja ku perintahkan fikiran ini untuk tidak memikirkan mu
Namun tak mudah bagiku untuk meminta hatiku berhenti merasakan gejolak cinta karena mu…
Cinta ini sederhana, sesederhana pertemuan kita
Di bawah pohon Sakura, ketika Hanami kala itu…’Tamat