I Love You

1.4K 63 2
                                    

Senja kemerahan menggantung di batas cakrawala. Debur ombak menghantarkan angin semilir menelusuri tubuhku. Segerombolan burung camar terbang rendah di kejauhan. Aku berdiri tidak jauh dari bibir pantai. Kaki tanpa alasku bergesekan dengan pasir putih dan menimbulkan suara gemerisik lirih. Ku sipitkan mata untuk menangkap pemandangan yang terbentang di depanku. Mataku tidak bisa lepas dari sesosok manusia yang hanya terlihat siluetnya karena cahaya matahari di belakangnya. Tapi hanya melihat siluetnya pun, aku dengan pasti tahu siapa dia. Sembilan belas tahun hidup berdekatan sudah cukup bagiku untuk mengetahui seluk beluknya.
Laki-laki itu. Ya laki-laki itu berdiri membelakangiku, menghadap matahari yang sebentar lagi bersembunyi. Melihat punggung bidangnya, sudah cukup meyakinkanku. Aku berjalan pelan ke arahnya. Gaun putih selututku berkibar bebas seiring ku langkahkan kaki kecilku. Senyum kecil, aku yakin tidak pernah pergi barang sedetik dari bibirku.
Semakin dekat, semakin aku ingin segera menghampirinya. Ku percepat langkahku hingga setengah berlari. Kini rambut ekor kudaku bergerak ke kiri dan ke kanan menyeimbangkan langkah lariku. Tidak lagi senyum yang aku pasang, tapi tawa kecil yang bernada bahagia, berhasil aku keluarkan.
"Rio!!!" Ku panggil namanya dengan lantang. Nama yang bisa mengingatkanku pada senyum manisnya, sikap tengil namun romantisnya, canda tawanya, petikan gitarnya, suara merdunya, hingga nada marahnya saat tahu aku lupa meminum obatku. Aku tertawa dalam hati saat melihatnya marah di depanku. Dengan mengacungkan selongsong obat di tangannya, dia meneriakiku. Bukan takut yang ku dapat, tapi wajah lucunya yang bisa membuatku tertawa. Karena tidak bisa menahan tawaku terus menerus, akhirnya aku mengalah menghabiskan jatah obatku agar dia tidak memarahiku lagi. Aaaah itu masa yang indah.
"Rio!!!" Kupanggil dia sekali lagi. Selama beberapa detik kemudian dia menoleh ke arahku. Walau aku tidak melihat wajahnya, aku yakin dia sedang tersenyum. Tinggal beberapa langkah lagi aku sampai di hadapannya. Ku rentangkan tanganku, berniat untuk melompat ke pelukannya.
"Bagaimana kamu tau aku ada di sini?" tanya Rio. Aku tersenyum mendengarnya. Tentu saja, ini tempat yang penuh dengan kenangan kita berdua. Aku menurunkan rentangan tanganku dan berdiri di depannya. Menatap lekuk wajahnya yang masih sama tidak ada yang berubah. Entah itu 18 tahun yang lalu, entah itu 10 tahun yang lalu atau baru kemarin, ini wajah yang menghiasi hariku.
"Kamu tidak perlu jauh-jauh untuk mencariku." kata Rio sambil kembali menghadap ke lautan. Aku memandang punggung bidangnya dengan sedikit bingung. Aku di depanmu dan kamu memalingkan wajahmu? Sedikit kesal, tapi melihat punggungnya pun aku puas.
"Cuma di sini, tempatku bisa mengenang Ify." Aku sungguh tidak mengerti apa maksud perkataannya. Mengenangku? Aku ada di belakangmu. Kenapa harus dikenang?
"Hanya tempat ini yang membuatku merasa Ify masih di sini." Sekarang aku benar-benar bingung. Rio berkata seolah aku tidak ada di sini. Padahal dengan jelas aku berdiri di belakangnya.
"Rio." Kupanggil Rio lirih. Tapi dia seakan tidak pernah mendengar panggilanku. Ku gerakkan tanganku, menyentuh punggung di depanku. Sesuatu yang terjadi setelah itu membuatku melangkah ke belakang. Tanganku tidak bisa menyentuhnya. Bertepatan dengan Rio yang kembali membalikkan badannya ke arahku.
"Rio." Kembali ku gerakkan tanganku ke pipi laki-laki di depanku.
"Ify sudah tenang di surga." Satu kalimat yang berhasil menghentikan gerakan tanganku terdengar dari belakang kepalaku.
"Apa maksudmu surga?" Aku berbalik, berniat meminta penjelasan atas kalimat yang baru saja dilontarkannya. Mataku terbelalak melihat siapa yang berdiri di sana. Alvin, saudara kembarku.
"Al-vin." panggilku.
"Relakan dia. Dan terimakasih atas segalanya." Alvin menundukkan kepalanya sebagai ucapan terimakasih.
"Ya, saat aku berniat memilikinya, aku juga sudah siap jika sewaktu-waktu aku harus merelakannya. Aku tahu jantungnya tidak bisa bertahan lama." Aku kembali menoleh ke arah Rio. Ada air mata di pelupuk matanya, bersiap meluncur turun saat sudah tidak terbendung.
Air mataku ikut keluar melihat mata bening Rio. Aku meraba dadaku, dimana seharusnya jantungku berdetak. Hening, tanpa ada getaran atau irama detakan di sana. Sunyi senyap layaknya kamar mayat. Kini air mataku sudah membanjiri pipiku. Aku ingat apa yang terjadi. Aku, aku sudah meninggalkan Rio. Aku menyerah dengan jantung kronisku. Aku sudah tiada.
"Walaupun Ify pergi secepat ini. Aku tetap menyayanginya." Aku menatap wajah Rio.
"Ayo pulang." Rio tersenyum dan melangkah ke arahku. Menembus badanku dan meninggalkanku di pantai yang hampir gelap. Aku berbalik, memandangi dua punggung laki-laki yang ku sayangi.
Ya, kita tidak lagi di dunia yang sama. Walaupun begitu, rasa ini masih untukmu. Aku akan menunggumu di sini. Selama apapun kamu menikmati hidupmu, aku tetap akan menunggu. Hanya ini yang bisa aku katakan.
"Jaga dirimu, Rio." teriakku.
Seakan mendengar teriakanku, Rio berhenti melangkah. Dia berbalik dan tersenyum. "I love you Fy."
Sudut bibirku terangkat. "I love you too, Rio." sahutku.

THE END~

I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang