Bag. 1 Menghitung Hari

2.5K 49 1
                                    

29 Agustus 2015

Bagi sebagian orang menunggu adalah yang membosankan, tapi bagi sebagian lain menunggu adalah hal yang mendebarkan, kala yang ditunggu adalah orang yang selalu merajai hati.
Aku sendiri? entah apa yang kurasakan dalam penantian ini.
Sudah 4 tahun menunggu. Tepatnya 1.636 hari. Ah, kalian pasti heran akan keahlianku menghitung hari, bahkan kuragu kalian akan percaya bahwa aku selalu melingkari tanggal yang terlewat untuk menunggu.
Sebenarnya siapa yang aku tunggu? kalau kalian menebak kalau yang kutunggu adalah seorang lelaki, maka itu memang benar. Lelaki yang berjanji akan datang untuk membawaku dalam ikatan suci.
Belum cukupkah penantianku?
Berapa banyak lagi tanggal yang harus lingkari?

Flashback

8 Maret 2011

Terminal Tidar

"Dik, mas berangkat dulu ya. Do'akan semoga mas sukses nanti. Mas janji ga akan lama dan segera kembali untuk meminangmu. Dik Mina mau menunggu mas kembali kan?"
Aku mengangguk.
"Mina Insya Allah akan menunggu, Mas."
Mas Awang melangkahkan kaki menuju bus jurusan Jakarta.
Ia melemparkan senyumnya sebelum akhirnya menghilang di padatnya penumpang.
Kalian pasti mengira kami sepasang kekasih, tapi kenyataannya tak ada hubungan seperti itu di antara aku dan Mas Awang. Tidak pernah ada ungkapan cinta apalagi ikrar akan sebuah hubungan, kami cukup tahu bagaimana agama mengatur hal ini. Kami hanya merasa cocok satu sama lain hingga bersepakat untuk membangun rumah tangga bersama suatu saat nanti.
Aku mengenal Mas Awang kurang lebih dua tahun, dia adalah kakak angkatanku di kampus, hobi kami berorganisasi yang akhirnya mempertemukan kami dalam sebuah organisasi di kampus.

"Min, pulang yuk?"
Ah, sampai lupa kalau Zila, temanku ikut menemani mengantar Mas Awang.
"Ayuk ...!"

Inilah awal penantianku ....

***

Tahun berulang

8 Maret 2012

Setahun sudah sejak Mas Awang pergi merantau ke kota. Gelegar aneh sering muncul kala mengingatnya, rasa ingin bersuapun membuncah, apa itu yang namanya rindu?. <span>

Setahun berjalan 5 pesan dan 2 panggilan kuterima dari Mas Awang. Jangan pikir kalau dalam pesan dan panggilan itu ada luapan rindu atau canda mesra di sana. Jujur kuingin ungkapkan segala yang kurasa, tapi merasa tak pantas, biarlah Allah yang tahu derap hati ini.
Pesan pertama mengabarkan bahwa Mas Awang telah sampai. Pesan kedua sebulan kemudian, ia banyak bercerita tentang pekerjaan pertama itu dan suka duka pegawai baru yang dilanjutkan dengan sebuah panggilan yang cukup lama. Pesan ketiga, tiga bulan selanjutnya ia menanyakan tentang tugas akhirku, yah memang saat itu kutengah sibuk mengerjakan tugas akhir. Dua bulan kemudian dia menelepon, memberi banyak masukan untuk tugas skripsiku. Pesan keempat kuterima jelang wisuda empat bulan lalu, sekadar memberi selamat atas kelulusanku. Begitulah, mungkin terdengar membosankan atau malah “aneh”, tapi itu cukup bagiku hingga datang pesan kelima tadi pagi, pesan yang berbeda dari sebelumnya.

"Seindah rencana adalah rencana-Nya, manusia boleh berencana tapi Allah yang menentukan akhirnya"

Aku mengernyit membaca pesan itu. Mencoba meraba makna yang ada di dalamnya. Apakah itu tentang kami?

"Takdir-Nya memang suatu keniscayaan. Tapi bukan berarti manusia hanya bisa berdiam diri dan berhenti berharap bukan?”

Penghianatan TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang