Biasanya Tira datang ke kantor paling pagi tapi ternyata teman-teman kerjanya sudah datang lebih dulu daripada dirinya, mereka sudah duduk rapi di meja kerjanya masing-masing. Tira menatap bingung satu per satu temannya, Tira hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan teman-temannya itu. Tidak hanya teman perempuannya saja yang sibuk mengurusi penampilan tapi teman prianya-pun juga sama saja. Ia baru ingat kalau hari ini adalah hari pengangkatan Direktur Perusahaan yang baru.
Sepertinya mereka ingin menunjukan penampilan terbaiknya tapi Tira tidak terpengaruh seperti teman-temannya yang lain. Pekerjaan sudah menanti, ia harus segera menyelesaikannya sebelum jam makan siang. Tira-pun sibuk menginput data dari berkas-berkas yang ada di pangkuannya, berkali-kali ia mencoba memastikan data yang diinput tidak ada yang terlewat.
Teman-teman kerjanya bangkit dari duduk untuk memberi salam hormat kepada Pak Gara dan calon Direktur yang baru yang tidak lain adalah anaknya Pak Gara sendiri. Tira menyuruh Resti yang ada di depannya untuk menutupi dirinya karena ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.
"Hai kamu yang di sana." Terdengar lantang suara pria.
Resti mengibaskan tangannya ke arah Tira tapi sepertinya Tira tidak melihatnya. Tira tetap sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk di pangkuannya.
"Hai kamu yang di sana." Kali ini suaranya lebih lantang sampai Tira kaget dan bangkit dari duduknya.
Semua berkas yang ada di pangkuan Tira terjatuh semua, Tira membungkukan badannya mencoba merapikan semua berkas yang terjatuh. Saat Tira ingin bangun, kepalanya malah terbentur meja. Tira menyadari kalau dirinyalah yang sedang dipanggil oleh pria yang tepat berdiri di samping Pak Gara. Tira menunduk hormat pada Pak Gara dan pria itu sambil meringis kesakitan. "Maaf, Pak saya sampai tidak mendengar suara bapak." Mata Tira kembali tertuju kepada pria yang tepat berdiri di samping Pak Gara. Ternyata benar kabar selentingan yang beredar, anaknya Pak Gara memang tampan. Badannya tegap, hidungnya mancung dan ia terlihat cerdas dengan kacamata bingkai hitam yang ia kenakan. Jelas saja teman-teman perempuannya sibuk dengan penampilannya agar mereka bisa mendapatkan perhatiannya.
"Saya ingin dia yang menjadi sekretaris saya."
Tira tidak percaya, apakah dirinya tidak salah mendengar? Bagaimana mungkin pria itu menolak seorang sekretaris yang sudah disiapkan oleh perusahaan. Mengapa pula harus dirinya yang menjadi seketarisnya? Tira hampir tidak bisa berkomentar apa-apa. Bukan hanya Tira saja yang tidak percaya, teman-temannya yang lain juga saling berbisik.
Pak Gara menghampiri Tira yang masih berdiri terpaku di tempatnya, "Saya harap kamu bisa membantunya." Pak Gara memegang bahu Tira seakan mempercayakan anaknya kepada Tira.
Tira mengangguk ragu, "Saya akan berusaha semampu saya, Pak."
Setelah Pak Gara dan anaknya pergi meninggalkan ruangan, Resti langsung menghampiri Tira untuk mengucapkan selamat. "Mimpi apa lw semalam? Masa sih Caroline ditolak mentah-mentah dan dia lebih milih lw yang jauh dibawah standar."
Tira melotot ke arah Resti, temannya yang satu itu memang selalu seperti itu walaupun Tira tahu sebenarnya Resti sedang bercanda tapi Tira sedang tidak mood untuk diajak bercanda. "Lw itu temennya siapa sih? Caroline atau gw?"
"Bercanda sih, Ra. Sejak kapan coba lw jadi sensitif gini?" Resti menyenggol bahu Tira.
Tira enggan berkomentar lagi tapi ada benarnya juga apa yang dikatakan Resti. Caroline yang jika dibandingkan dengan dirinya sangat jauh berbeda seperti langit dan bumi lalu mengapa harus dirinya? Tira membenamkan wajahnya di meja kerjanya, ia bingung harus senang atau tidak dengan pekerjaan barunya itu. Ia tidak ada basic sama sekali untuk menjadi Sekretaris Direktur.
***
Tira sampai terkantuk-kantuk di depan laptopnya, Tira menunggu hasil print yang akan dijadikan bahan presentasi untuk boss-nya besok. Tira harus bekerja keras karena ini presentasi pertama boss-nya jadi ia harus mempersiapkan materinya dengan baik.
Tira menyerahkan semua berkas yang sudah direvisi oleh-nya. Berharap tidak ada revisi lagi dari boss-nya karena Tira begitu lelah setelah seharian sibuk mengumpulkan bahan dan beberapa kali boss-nya harus merevisi kerjaannya.
Boss-nya memeriksa berkasnya satu per satu, begitu detail sampai tak ada satu katapun yang terlewat. "Saya rasa ini sudah cukup, kalau begitu kamu boleh pulang."
Tira bersorang girang di dalam hati. Akhirnya Tira diijinkan pulang juga oleh boss-nya. Rasanya Tira ingin cepat-cepat merebahkan badannya di atas kasur. Tira kembali ke meja kerjanya, merapikan berkas yang berserakan di atas meja.
"Saya duluan, Ra." Pamit boss-nya.
"Iya, Pak hati-hati di jalan." Tira berbasa-basi sedikit padahal dalam hati Tira sangat mengutuk boss-nya itu. Tira datang paling pagi dan harus pulang paling malam tapi boss-nya itu langsung pamit pulang tanpa berbasa-basi sedikitpun padanya. Setidaknya boss-nya mengucapkan terima kasih kepadanya karena hari ini Tira sudah bekerja keras atau paling tidak boss-nya sedikit berbasa-basi untuk mengantarnya pulang karena hari sudah larut malam. Julukan es batu yang diberikan oleh teman-teman kerjanya itu memang tepat untuk boss-nya itu.
Untungnya busway masih beroperasi, penumpang di dalam busway juga bisa dihitung oleh jari. Tira bebas memilih tempat duduk dan ia memilih duduk di bangku belakang paling pojok, tempat favoritnya. Tira menyandarkan kepalanya ke jendela dan membuang pandangan ke luar jalan, menikmati suasana Jakarta di malam hari yang lebih lenggang. Jakarta memang terlihat berbeda di malam hari, lampu-lampu gedung pencakar langit menghiasi pinggir jalan sehingga terlihat indah.
Pikirannya makin menerawang jauh, sudah seminggu ia menjalankan pekerjaannya sebagai seketaris. Ternyata tidak mudah, Tira yang suka pelupa dituntut agar selalu mengingat dan mengatur schedule boss-nya. Dia yang ceroboh juga dituntut agar lebih berhati-hati dan detail mengerjakan pekerjaannya sehingga boss-nya tidak perlu merevisi kerjaannya berkali-kali. Tapi ia mencoba menikmati pekerjaan barunya itu dan membiarkan semuanya mengalir seperti air.