Gadis itu memukul-mukul samsak dihadapannya dengan kasar. Jika diibaratkan samsak itu adalah orang biasa dan bisa merasakan kesakitan, mungkin saja samsak dihadapannya itu berteriak kesakitan dan meneriakkan kata ampun berkali-kali. Gadis itu bukanlah atlet petinju nasional, hanya saja perintah dari mendiang papanya yang mengharuskannya melakukan itu.
"Diena gak boleh lemah, Diena harus kuat, belajar sama bang Dion. Kalau nanti papa jauh dari Diena dan nggak bisa menjaga Diena, seenggaknya kamu bisa menjaga diri kamu sendiri. Sama seperti biasanya, bedanya yang mendampingi Diena sekarang sampai seterusnya bukan papa, tapi bang Dion ada Damian juga. Diena nggak sendiri, ada bang Dion, Damian sama mama yang bakal jaga kamu. Papa selalu sayang Diena."
Diena mengingat kembali pesan terakhir papanya untuknya. Saat itu dia dan Damian (saudara kembarnya) masih berada di sekolah dasar dan membuatnya tidak mengerti apa-apa, sedangkan Dion kakak tertuanya yang saat itu sudah kuliah hanya bisa memeluk serta menguatkan mamanya yang menangis tersedu-sedu.
Setelah ia puas memukuli samsak dengan ganasnya, Diena mengusap peluh yang ada di pelipisnya. Ia merebahkan badannya dikasur dan melirik jam digital yang menunjukkan pukul 00:01 yang berarti saat ini sudah tengah malam dan ia masih terjaga sampai saat ini. Diena mengambil handuknya dan menuju kamar mandi yang ada didalam kamarnya, membersihkan diri serta keringat yang membasahi badannya.
***
"Dinnnnn, bangun! Udah jam berapa ini? Ini samsak kenapa nggak diberesin sih? Haduh anak mama yang satu ini emang susah banget ya diaturnya. Damian nunggu kamu tuh, nanti telat kamu." Ucap Lidya pada anak perempuan satu-satunya itu, sambil mengguncang-ngguncang pelan badan anaknya.
"Masih jam berapa sih, ma? Jam setengah enam kan? Diena masuk jam tujuh kok." Ucap Diena kemudian kembali memejamkan matanya.
Wanita cantik yang sudah berumur hampir kepala lima itu hanya mendengus kemudian menyibakkan selimut yang menutupi seluruh badan Diena dan membuka korden jendela kamarnya, yang langsung membuat cahaya matahari masuk kedalam kamar Diena.
"Jam setengah enam dari mana, Din? Sudah jam setengah tujuh ini!" Teriak mamanya lagi. Yang langsung membuat Diena membulatkan matanya lebar, dan beranjak dari tempat tidurnya dan menuju ke kamar mandi didalam kamarnya.
"Haha, syukurin! Mama bohongin kamu kan. Salah sendiri mainan samsak tengah malem." Ucap mama Diena kemudian keluar dari kamar Diena dan turun ke dapur menyiapkan sarapan untuk ketiga anaknya.
Sedangkan di meja makan Dion dan Damian hanya melihat mamanya dengan ngeri, tahu apa yang dilakukan mamanya terhadap Diena. 10 menit kemudian Diena datang dengan rambut dan baju yang acak-acakan, membuat 3 orang yang melihatnya menganga dan hanya bisa geleng-geleng.
"Bang Dion kok belum berangkat, kan udah jam setengah tujuh? Libur? Damian juga, kok tumben?" Tanya Diena kepada dua kakak laki-lakinya tersebut. Yang ditanya malah cekikikan sendiri.
"Kok malah ketawa sih? Mama juga kenapa ikutan ketawa." Tanya Diena lagi semakin penasaran. Kemudian Diena melihat jam tangannya dan terbelalak setelahnya.
"Mama kok tega bohongin Diena, sih? Tau gitu tadi kan aku mandi dulu." Teriak Diena kemudian duduk dikursi yang menghadap meja makan, mengambil roti dan susu miliknya.
"Lo beneran gak mandi?" Tanya Damian yang kaget dengan pernyataan Diena barusan.
"Ya mandi lah, gila! Percaya aja lo." Ucap Diena kemudian tertawa. Diena beranjak kemudian menarik tangan Dion yang masih menikmati kopinya.
"Enggak bareng Damian kamu?" Tanya Dion pada adik perempuannya.
"Males ah bareng Damn, ntar aku ikutan tenar lagi. Nanti semua pada tahu kalau aku kembarannya dia. Atau mereka ntar malah mikirnya kalau aku pacarnya Damn. Males banget, banyak yang protes nanti fans nya dia." Jelas Diena panjang nan lebar.
Dion tak bisa mengelak, mau tak mau pun dia harus mengantar adiknya dahulu.
"Kamu ntar ikut abang ya dek? Reunian temen SD. Harus bawa pasangan, sialan banget kan panitianya." Dion mendengus.
"Mangkanya cari istri dong, umur udah 25 kok masih gak punya calon. Mama minta cucu itu." Sahut Damian dari arah dapur, Diena yang mendengar ucapan kembarannya hanya tertawa.
"Bisa kan kamu?" Tanya Dion yang menghiraukan ucapan Damian tadi.
"Bisa diatur." Ucap Diena kemudian mencium pipi kanan dan pipi kiri mamanya lalu berlari dan masuk kedalam mobil milik Dion diikuti dengan Dion dibelakangnya.
***
Diena berjalan gontai menuju kelasnya, lingkar hitam di matanya menandakan bahwa dia belum puas tidur. Gadis itu menghampiri mejanya dan meletakkan kepalanya diatas meja. Di pojokkan kelas dia tertidur meskipun sang guru datang dia tidak bangun, bahkan teman sekelasnya tidak berani membangunkan gadis itu. Siapa yang berani membangunkan singa saat tidur siang?
Penghapus papan tulis mendarat di kepala Diena dengan mulus, membuat Diena terbangun dan menatap garang seluruh teman kelasnya. Lalu dia mendengus saat melihat Bu Rifky (guru matematikanya) menatap dirinya tajam.
"Diena... Diena... kalau saja kamu bukan anak terpintar disekolah ini saya akan keluarkan kamu sekarang juga ya. Kalau disuruh ngerjakan soal didepan ini juga pasti bisa kamu. Saya jadi bingung mau ngasih hukuman kamu apa." Ucap Bu Rifky dengan nada menyerah.
Tanpa menghiraukan ucapan Bu Rifky barusan, Diena berjalan keluar kelasnya. Dia butuh tidur yang tenang.
"Saya pusing, saya butuh istirahat. Permisi." Kata Diena dingin tanpa melihat lawan bicaranya kemudian ia berlalu. Sedangkan Bu Rifky hanya menatap gadis itu pasrah dan menghela nafasnya.
___________________________________
Hai! Semoga suka ya sama ceritanya. hihihihi
KAMU SEDANG MEMBACA
3:00 am
Teen FictionDiena, gadis tomboy yang ditakuti oleh seluruh SMA Nirwana karena kegarangannya. Oh, tidak seluruhnya. Damian kembaran Diena, cowok terpopuler di SMA Nirwana. Tapi bagaimana bisa Diena tidak mau mengakui bahwa Damian itu kembarannya? Bagaimana jadin...