Chapter 00: Prologue

12 1 0
                                    

Dunia ini diikat oleh dua hal; kebaikan dan keburukan. Semuanya memiliki sisi masing-masing, selayaknya sisi pada koin. Namun, tak selamanya baik adalah baik, dan tak selamanya buruk adalah buruk.

Dunia selalu menyimpan rahasia untuk dirinya sendiri, seperti alasan-alasan untuk menjelaskan segala kebenaran.

#####*****#####

Perempuan itu berlari menyusuri jalan setapak yang becek. Pepohonan rindang menghalangi kemampuan untuk melihat langit luas, tak mengijinkannya bertanya di mana matahari sekarang. Manik birunya menatap sekeliling dengan pandangan tak dapat ditebak. Atau lebih tepatnya, tak ada emosi di sana. Kosong.

Sekujur tubuhnya basah seakan baru saja tercebur sungai. Lumpur membungkus kakinya yang telanjang, sepatunya sudah dari tadi hilang dalam kegelapan. Namun ia tak peduli dengan hal-hal seperti itu. Tujuannya hanya satu: keluar dari hutan.

Suara gemerisik dedaunan tertangkap oleh pendengarannya, membuatnya berbalik seketika itu juga. Matanya menatap sekeliling, sekali lagi memeriksa keadaan.

"Berhentilah bermain-main denganku!" Teriaknya lantang. Matanya tenang walau nada suaranya meninggi seakan sedang marah, seperti air laut yang diam-diam mengalir jauh. Terdengar suara tawa dari segala penjuru.

"Perempuan malang. Tersesat sendirian tak bisa pulang," kalimat itu diucapkan dengan nada yang sangat menyebalkan bagi sang pendengar. Yang lebih menyebalkan, sang empunya suara tak menunjukkan wajahnya sedikitpun. Malah, tawanya semakin keras.

Perempuan itu mendengus kesal, matanya menatap ke segala penjuru, berusaha mencari sumber suara yang menyebalkan itu. Tangannya gatal, ingin rasanya mencekik pemilik tawa paling menyebalkan di seluruh jagad itu.

"Katakan padaku di mana jalan keluarnya!"

Hanya tawa yang menjadi jawabannya. Sudah, ia tak tahan mendengarnya. Diambilnya langkah yang tadi ia hentikan. Terbuang waktunya meladeni makhluk astral yang hanya menghinanya seperti orang-orang lain. Menganggapnya mainan yang bisa seenaknya dikendalikan.

"Gila," katanya pelan. Kakinya kembali menelusuri jalan setapak yang becek setelah terguyur air. Ia bisa merasakan tatapan seseorang yang mengawasinya di manapun.

Sejujurnya, melarikan diri bukanlah hal yang ia inginkan. Ia cukup senang berada di sini. Sayangnya, sosok yang sedari tadi mengelurkan tawa menyebalkan itu selalu melakukan hal-hal yang membuatnya muak.

Dan, tentu saja, memaksanya melakukan sesuatu yang ia benci.

Larinya terhenti ketika ia sampai di tepi jurang. Jurang yang sama dengan jurang yang sedari tadi ia temukan entah berapa kali. Ia mulai yakin kakinya hanya membawanya berputar, namun pada saat yang sama ia juga yakin tidak melewati jalur yang sama. Ingatannya cukup kuat untuk mengingat tiap liku yang ia ambil.

Ia benci ini.

"Sudah puas berlari?" Suara itu kembali terdengar, kali ini dengan nada yang lebih menyebalkan dari sebelumnya. Ia melirik ke belakangnya, mendapati seseorang bertopeng berdiri di belakangnya. Topengnya hanya menutup sebagian atas wajahnya, memperlihatkan senyumnya yang sangat lebar seakan mulutnya disobek. Senyum khas cheshire cat.

Topeng yang ia kenakan adalah yin-yang yang telah dipotong separuh sehingga hanya kepala yin dan bagian belakang yang saja yang tersisa.

"Apa maumu, Illusio," perempuan itu mendesis walau matanya tetap tak menyiratkan emosi apapun.

"Tak ada... hanya ingin melihat reaksimu. Manusia itu menarik, kau tahu?" orang bertopeng itu tersenyum lebar, memperlihatkan giginya.

"Nah, nah. Sekarang kau akan ke mana? Kau hanya punya satu pilihan, masuk melalui-"

"Dan membiarkanmu memakan jiwaku? Oh tidak, aku takkan menyerahkan diriku segampang itu," perempuan itu memotong kalimat sosok di depannya. Kini, gilirannya yang tersenyum.

"Gerbang bodohmu itu takkan menelanku. Ia takkan mengambil kewarasanku, ataupun nyawaku. Tidak akan selamanya."

Senyum perempuan itu semakin lebar, matanya yang tadinya diam mulai diisi oleh emosi yang tak terbaca. Amarah? Rasa bangga? Bahkan sosok bertopeng itu tak bisa mengira sekalipun ia bisa membaca pikiran. Perempuan di depannya tak memikirkan apapun. Kosong. Bagai boneka.

"Kau sendiri yang bilang. Aku adalah Alice, serupa Alyssum yang menghias gerbang favoritmu itu. Aku, adalah wujud Alyssum, bunga kecil yang tumbuh dalam jiwa manusia," senyum perempuan itu masih terkembang, seakan menghina.

Dunia ini dikuasai oleh dua hal; kebaikan dan keburukan. Semuanya memiliki sisi masing-masing, selayaknya sisi pada koin. Namun, tak selamanya baik adalah baik, dan tak selamanya buruk adalah buruk.

Karena itulah, dunia terdiri dari berbagai warna yang apabila bercampur, mereka dapat menjadi hitam maupun putih. Maupun keduanya. Abu-abu.

Perempuan itu mengambil selangkah mundur, membiarkan angin menyambutnya dalam pelukan. Membiarkan jurang itu melahap badannya, jiwanya, kewarasannya, selagi ia tertawa. Tertawa keras sekeras-kerasnya, seakan telah meraih kemenangan mutlak.

Di atas jurang, sang makhluk bertopeng yang tadi dipanggil Illusio mengembangkan senyumnya yang seharusnya sudah tak bisa lebih lebar lagi.

"Manusia benar-benar makhluk yang menarik..." seringainya masih ada. Ia berbalik dan memasuki hutan sambil tertawa rendah.

#####*****#####

Ada sebuah cerita, bahwa jauh, jauh sekali di dalam sebuah hutan terdapat pintu misterius bernama Gerbang Somnium. Pintu itu dapat membawa seseorang ke mana pun yang hati kecilnya inginkan. Namun, jarang ada orang yang bisa menemukan pintu itu, bahkan hutannya pun sulit ditemukan.

Mengapa? Karena hutan itu hanya terlihat oleh beberapa orang saja. Tak ada yang tahu mengapa mereka dapat melihatnya. Semua saksi menghilang, ditelan oleh kegelapan.

Kini, kisah itu tinggal dongeng belaka. Tak ada lagi kabar mengenai orang yang pergi ke sana. Semua kebenaran pun tertutup oleh kisah-kisah yang dibumbui supaya lebih menarik untuk dikonsumsi masyarakat.

Dunia ini memang suka menyimpan rahasia kepada dirinya sendiri.


Flower Meadow of InvidiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang