Sepiring omelet, mengartikan segalanya.

1.1K 96 22
                                    



Oleh : Lanniel

Udara pagi ini berhasil menusuk kesetiap celah tulang yang melekat pada tubuh ku. Aku mengusap tangan ku berkali-kali. Tampilan rumah tua ala jaman Belanda dan cat putih yang membalutnya menambah ekstrim cuaca pagi ini. Aku masih bisa mencium bau basah dari hujan semalam. Seseorang yang berdiri disamping ku sejak tadi meraih tangan ku lembut. Ia tersenyum, meyakinkan ku bahwa didalam rumah yang tampak mengerikan itu ada kehangatan yang akan aku dapatkan.

"Mereka tak akan marah pada kita, percayalah." ujarnya menghibur ketakutan ku.

Aku melangkah bersamanya, mengetok pintu rumah itu pelan. Tampak sepasang manusia paruh baya keluar dari pintu itu. Rambut mereka sudah memiliki dua warna, aku yakin mereka adalah sepasang suami istri. Seseorang yang sejak tadi berdiri bersama ku, menghambur kepelukan dua orang itu. Sesaat, ada adegan paling mengharukan diseluruh dunia, dan hati ku sedikit teriris melihatnya.

"Ayah, Ibu ini Dika. Dika, ini ayah dan ibu." aku menyalami mereka satu persatu. Ekspresi mereka tak seperti dugaan ku. Senyum tipis dan kemudian mereka mempersilahkan ku masuk.


***

Kamar ini terlalu asing bagi ku, tapi mulai hari ini, disinilah aku tinggal. Sejak aku dan orang itu memutuskan untuk mengikat hubungan kami dengan sepasang cincin, mau tidak mau, aku harus berada bersamanya dikeluarga ini. Ia tersenyum kepada ku.

"Nanti, ku kenalkan pada kakak ku!" aku mengangguk.

Baru kali ini aku melihatnya sebahagia itu. Sosoknya yang selama ini ku kenal dengan baik, ternyata bisa sebahagia ini. Ia sibuk menempatkan barang bawaannya. Berapa kali pun ku perhatikan sosok itu, ia selalu bisa membuat ku kagum. Aku tak mengerti, kenapa dia bisa menjadi begitu berarti untuk hidup ku? Ia menarik tangan ku, memaksa ku untuk bangun dari duduk malas ku. Kami sampai disebuah pintu kamar lain di rumah ini. Aku hanya bisa tersenyum kecil saat pemilik kamar itu mempersilahkan kami masuk.

"Dika, ini kakak pertamaku Heya!" aku mengulurkan tangan ragu, tapi perempuan bernama Heya itu menerimanya dengan ramah.

"Seperti yang ku bayangkan!" ujarnya ceria.

Kali ini, aku merasa lebih nyaman bertemu kakak perempuannya. Ku perhatikan seisi kamar Heya. Pantaslah, dia selalu bercerita kalau kakak pertamanya adalah sosok paling transparan yang pernah ada. Ada banyak buku yang disusun rapi dikamar ini, dan rata-rata buku itu adalah buku dengan tema yang tidak biasa. Aku mengerti sekarang, kenapa dia mengatakan, kakak pertamanya akan menjadi orang pertama yang menyetujui hubungan ini tanpa berpikir dua kali.

"Sudah hampir selesai kak ?" tanyanya pada kakak perempuannya. Aku menoleh dan mencari benda yang menjadi objek pembicaraan mereka. Dua orang itu tampak duduk di depan seperangkat komputer yang sedang menyala sekarang.

"Sedikit lagi! Hanya bagian ending yang masih sedikit gantung" ujar Heya lesu. Ah, aku lupa, dia pernah bercerita kalau kakak pertamanya adalah seorang penulis. Aku menghampiri mereka.

"Setelah selesai, bolehkan kami membacanya?" tanya ku malu. Mereka sontak menoleh, Heya lalu tersenyum seraya mengangguk.

"Tentu saja Dik! Kau dan adik kesayangan ku ini akan menjadi yang pertama yang membacanya." ujar Heya semangat.


***

OMELET.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang