Aku menengadahkan kepalaku dan memandangi indahnya langit malam yang membentang luas di atasku yang kali ini didominasi oleh warna oranye, merah muda, dan ungu. Aku selalu terpesona dengan warna-warninya yang selalu berganti tiap hari serta jutaan bintang berkelipan yang menghiasinya. Kuharap suatu saat aku bisa pergi ke salah satu planet yang mengitari bintang di atas sana. Aku yakin pasti ada kehidupan lain di luar sana. Aku memejamkan mataku dan menikmati dinginnya angin malam yang berhembus lembut membelai wajahku dan menerbangkan helai rambutku.
"Pangeran." Aku membuka mataku saat mendengar sebuah suara. Aku lalu membalikkan tubuhku dan melihat salah satu pelayan istana berdiri di depan pintu balkon ini. Ia membungkukkan badannya sebentar sebelum kembali berkata. "Pangeran, Yang Mulia Raja ingin bertemu dengan Anda di aula istana." Aku mengangguk lalu mulai melangkahkan kakiku di atas lantai marmer berwarna putih di bawahku.
"Ayah," aku berkata saat sampai di aula istana dan melihat ayahku sedang berdiri memunggungiku dan menatap keluar jendela. Ayahku membalikkan badannya lalu tersenyum menatapku. "Ikuti ayah," ucapnya. Aku mengangguk dan mulai berjalan mengikutinya.
"Ayah apa kau serius mengajakku kesini?" Aku mengerjapkan mataku dan memandang ayahku dengan tatapan bingung saat kami tiba di depan sebuah pintu besar berwarna emas.. tidak, tidak hanya berwarna emas tapi memang terbuat dari emas. Dan pintu ini juga dihiasi dengan ratusan batu permata berwarna merah yang membentuk sebuah pola rumit yang menurutku seperti gambar seekor burung api? Atau mungkin naga? Entahlah aku tidak terlalu yakin.
Ayahku memejamkan matanya dan tiba-tiba pintu di depanku terbuka dengan perlahan. Ayahku kembali membuka matanya lalu mengisyaratkan padaku untuk masuk bersamanya. Aku melangkahkan kakiku dengan ragu memasuki ruangan khusus raja ini. Ini adalah ruangan sakral yang hanya boleh dimasuki oleh seorang raja. Tidak ada orang lain yang diperbolehkan untuk memasukinya bahkan anak-anak raja atau istrinya sekalipun. Setidaknya itulah salah satu peraturan yang diwariskan turun temurun sejak dulu. Lalu kenapa ayah mengajakku kesini? Ya walaupun aku tahu aku akan menggantikan ayahku nantinya karena aku adalah anak tunggalnya tapi tetap saja sekarang kan aku belum menjadi raja.
"Duduklah," kata ayahku yang kini telah duduk di salah satu sofa berwarna biru tua di ruangan ini. Matanya mengisyaratkanku untuk duduk di sofa di hadapannya. Aku melangkah menuju sofa itu lalu duduk. Ruangan ini terlihat sangat kuno tapi elegan. Semua perabotannya didominasi oleh kayu bahkan atap, dinding dan lantainya.. dan oh rak buku yang menutupi hampir seluruh dinding di ruangan ini juga terbuat dari kayu. Aku menatap takjub pada ratusan buku kuno yang tersusun rapi di dalam ruang ini serta lukisan-lukisan kuno yang aku tak tahu maknanya.
"Kai." Aku mengerjapkan mataku, tak sadar ternyata sedari tadi aku tengah mengagumi ruangan ini. Aku lalu beralih memandang ayahku.
"Ayah membawamu kesini karena ayah harus segera membicarakan sesuatu yang sangat penting dan rahasia denganmu. Dan ayah rasa tempat inilah satu-satunya tempat yang aman untuk membicarakannya," katanya dengan tatapan serius. Aku menyipitkan mataku. Sesuatu yang sangat penting dan rahasia?
"Apa itu, yah?" Aku bertanya, penasaran. Ayah menghela napas panjang lalu menghembuskannya. "Kau tahu Tartaros?"
Aku mengernyitkan dahiku. Tentu saja aku tahu. Bahkan semua orang di planet ini juga pasti mengetahuinya.
"Tentu saja aku tahu, yah. Makhluk jahat dalam mitos yang pernah menguasai planet Exo ini dengan kegelapan tapi akhirnya berhasil dimusnahkan oleh dua belas ksatria yang mempunyai kekuatan alam semesta yang mengagumkan," jelasku panjang lebar.
"Itu bukan hanya mitos tetapi kenyataan. Dan makhluk itu ternyata tidak benar-benar musnah, ia sudah mulai bangkit kembali."
Aku melebarkan mataku tak percaya. "Bagaimana bisa?"
"Ayah tidak tahu persis bagaimana caranya. Tartaros memang makhluk yang sangat kuat."
"Apakah orang-orang sudah mengetahuinya?"
"Ayah tidak akan memberitahu mereka untuk saat ini. Ayah tidak ingin mereka hidup dalam ketakutan dan kekhawatiran. Untuk saat ini cukup ayah dan kau saja yang mengetahuinya"
Aku mengangguk. "Lalu bagaimana ayah bisa mengetahui kalau Tartaros sudah mulai bangkit?"
Ayahku bangkit dari duduknya lalu mengambil sesuatu di atas meja di dekat rak buku. Ia kembali duduk di depanku lalu meletakkan sesuatu itu di atas meja di hadapan kami. Ia melepas kain yang menutupinya sehingga sekarang aku bisa melihat sebuah bola kristal bening di hadapanku.
"Ayah bisa melihat seluruh wilayah di planet ini serta beberapa planet terdekat dengan benda ini." Aku melebarkan mataku. Benarkah? Keren sekali.
"Kemarin ayah tidak sengaja melihat planet merah dan melihat ini." Ayah menunjuk bola kristal ini yang kini menampilkan sesuatu yang menurutku sangat mengerikan.
"Makhluk apa itu?" Makhluk-makhluk itu berwarna hitam dengan wajah yang menyerupai monster dan terlihat sedang membuat perlengkapan berperang, seperti pedang dan baju besi.
"Mereka bernama Corps dan mereka adalah anak buah Tartaros."
"Lalu dimana Tartaros itu?"
"Ayah sudah mencarinya di seluruh planet merah ini tapi tidak ada. Kemungkinan dia masih berupa roh yang belum memiliki raga. Selama dia belum memiliki raga kemungkinan kita masih aman. Dan lihatlah pasukannya masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan penduduk di sini."
"Lalu apa yang harus kita lakukan, yah?"
Ayah menatapku sebentar lalu berdiri dan berjalan menuju rak buku. Ia mengambil sebuah buku kuno tebal berwarna coklat. Ia kembali duduk di depanku dan meletakan buku itu di samping bola kristal tadi. Aku bisa melihat di sampul buku itu terdapat banyak simbol-simbol yang aku tak tahu maknanya.
"Mitos tentang Tartaros dan 12 ksatria yang beredar di masyarakat tidak menceritakan keseluruhan kejadian. Kau tidak tahu kan apa yang terjadi kepada 12 ksatria itu setelah berhasil mengalahkan Tartaros?" Aku menggeleng.
Ayahku membuka buku coklat itu dan mencari-cari sebuah halaman lalu menunjukkannya padaku. Aku melihat gambar abstrak seperti sesuatu yang hitam sedang terkapar di tanah dan ada 12 sosok yang mengelilinginya. Lalu ada beberapa baris tulisan dengan huruf kuno yang tak bisa kubaca.
"Sebenarnya sebelum Tartaros berhasil dimusnahkan, dengan sisa kekuatannya ia mengutuk ke 12 ksatria itu." Aku membulatkan kedua mataku, tak percaya. "Benarkah? Kutukan apa itu, yah?"
Ayahku mengehela napas dalam-dalam lalu membalik halaman buku itu. Aku bisa melihat gambar 12 orang yang sedang berperang dan huruf-huruf kuno di bawahnya.
"Kedua belas ksatria itu akan saling membunuh untuk mendapatkan tahta begitupun keturunan-keturunan selanjutnya."
"Saling membunuh? Lalu apa yang dimaksud dengan 'begitupun keturunan-keturunan selanjutnya'?"
Ayahku menatapku dengan tatapan.. bersalah? Mengapa ayah menatapku seperti itu?
"Siapapun yang berhasil menjadi raja akan mempunyai 12 anak laki-laki yang juga memiliki kekuatan-kekuatan itu dan merekapun akan saling membunuh untuk mendapatkan tahta, begitupun dengan keturunan-keturunan selanjutnya."
Aku mengernyitkan dahiku, mencoba untuk mencerna perkataan ayah. Jika kutukan itu memang terjadi di setiap generasi seharusnya masyarakat juga menyadarinya karena pangeran-pangeran mereka selalu saling membunuh? Dan bukankah ayah juga seorang raja? Berarti dia juga membunuh saudara-saudaranya untuk mendapatkan tahta ini? Dan.. bukankah seharusnya aku juga mempunyai sebelas saudara?
"Ayah tahu sekarang kau pasti memiliki banyak pertanyaan. Kau bisa menanyakannya satu persatu," kata ayahku.
"Mengapa tidak ada masyarakat yang tahu mengenai kutukan ini? Apa mereka tidak merasa aneh karena pangeran-pangeran mereka selalu saling membunuh?"
"Mereka tentu saja tidak secara terang-terangan membunuh. Mereka bisa membuat pembunuhan itu seolah adalah kecelakaan, keracunan, penyakit, hilang di hutan, ataupun hal-hal lain. Dan di beberapa generasi sebelum ayah, sang raja merahasiakan anak-anaknya sehingga masyarakat tak tahu jika sang raja mempunyai 12 anak," jelas ayahku. Aku merasa miris mendengarnya.
"Lalu apakah ayah juga membunuh saudara-saudara ayah?" Aku tahu seharusnya aku tak menanyakan pertanyaan ini, tapi aku sangat penasaran.
Ayahku tersenyum getir. "Ya." Hanya satu kata yang keluar dari mulut ayahku. Aku meneguk ludahku. Ayahku membunuh saudara-saudaranya? Aku benar-benar tak menyangka. Aku ingin menanyakan bagaimana bisa ia tega membunuh mereka tapi sepertinya ayah benar-benar tidak ingin menceritakannya. Jadi aku menanyakan pertanyaan lain yang dari tadi benar-benar ingin kutanyakan.
"Dimana kesebelas saudaraku?"
Ayahku menatap miris padaku. "Ayah tak ingin kalian juga saling membunuh jadi ayah membuang mereka saat mereka masih bayi."
Aku membuka mulutku dan melebarkan mataku. Membuang mereka? "Mengapa aku tak tahu?"
"Karena kau belum lahir."
"Jadi aku anak bungsu?"
"Kau mempunyai seorang adik yang lahir saat kau bahkan belum berusia satu tahun."
"Dan ayah juga membuangnya?" Aku menatap ayahku tak percaya.
Ayahku menunduk lesu. Aku menghela napasku dan meremas rambutku. Aku mempunyai sebelas saudara? Dan selama tujuh belas tahun hidupku aku belum pernah bertemu mereka? Dan sekarang mereka entah dimana. Apakah mereka semua masih hidup? Apakah mereka baik-baik saja di luar sana? Rasanya sungguh tidak adil. Aku selalu hidup bahagia di dalam istana dan mereka mungkin saja kesusahan di luar sana.
Aku memandang ayahku yang masih tertunduk. "Mengapa ayah memberitahuku semua ini? Dan bagaimana dengan Tartaros itu?"
Ayahku menegakkan kepalanya mendengar perkataanku. Ia menatapku dengan tatapan bersalahnya lalu kembali membolak-balikan halaman buku di hadapan kami. Ia menunjukkan gambar seorang wanita tua padaku.
"Dulu ada seorang peramal terkenal di zaman kekuasaan Tartaros yang bernama Leudri. Ia lah yang meramalkan jika Tartaros akan segera dikalahkan oleh 12 ksatria yang mempunyai kekuatan alam semesta. Namun tepat setelah Tartaros berhasil dikalahkan, ia kembali mendapatkan ramalan jika suatu saat Tartaros akan kembali bangkit dan hanya bisa dikalahkan oleh ke 12 pemilik terakhir kekuatan alam semesta ini. Awalnya masyarakat mempercayainya tapi seiring berjalannya waktu mereka tidak mempercayainya dan akhirnya ramalan itu terlupakan."
Aku mendesah frustasi, kembali mencoba mencerna semua informasi tak terduga yang telah ayah berikan. Tapi rasanya ini terlalu banyak, membuatku pusing memikirkannya.
"Kai," ayahku kembali memanggilku. Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya.
"Ayah rasa kalianlah pemilik terakhir ke 12 kekuatan itu," ada jeda sesaat sebelum ia kembali melanjutkan, "dan ayah ingin kau mencari mereka." Aku menghembuskan napasku. Tanpa ayah suruhpun aku pasti akan mencari mereka. Mereka adalah saudara kandungku. Tentu saja aku sangat ingin bertemu dengan mereka.
Tanpa kusadari sudah ada sebuah bola lagi di atas meja. Aku mengernyitkan dahiku. Apa lagi ini? Bentuknya sedikit aneh.
"Ini adalah replika planet biru di galaksi lain yang dinamakan planet bumi. Dan disana ada kehidupan." Aku membelalakan mataku. Ada kehidupan? Sungguh? "Nenek moyang kita sudah mengetahui tentang planet ini sejak ribuan tahun yang lalu tapi hanya para raja saja yang mengetahuinya. Mereka takut jika informasi ini tersebar ke masyarakat mungkin saja akan ada orang jahat yang ingin menguasai planet itu. Dan ayah membuang saudara-saudaramu kesana." Aku semakin membelalakan mataku. Ayah membuang mereka ke planet antah berantah itu? Mengapa harus sejauh itu? Apakah tidak cukup hanya membuang mereka ke luar kerajaan?
"Bagaimana aku bisa menemukan mereka di planet yang bahkan aku tak tahu letaknya? Dan bagaimana caranya aku kesana?"
Ayahku menghela napas. "Kau mempunyai kekuatan teleportation sama seperti ayah. Kau bisa menggunakannya." Benarkah? Aku bisa berteleportasi sejauh itu?
"Tapi kau membutuhkan kalung ini untuk bisa berteleportasi sejauh itu." Ayahku melepaskan kalungnya yang berbandul lambang keyhole lalu menyerahkannya padaku.
"Tapi kalung itu sekarang hanya bisa digunakan dua kali lagi."
Aku menggenggam kalung itu dan mengangguk. "Aku tidak akan pulang sebelum menemukan kesebelas saudaraku," ucapku mantap. Ayahku tersenyum. Tapi sedetik kemudian aku mulai berpikir. Bagaimana bisa aku menemukan mereka di planet seluas itu? Pasti banyak sekali manusia disana. Bagaimana aku bisa mengenali saudaraku di antara orang-orang disana? Aku bahkan tidak tahu bagaimana wajah saudara-saudaraku.
Ayahku tersenyum, seperti mengetahui apa yang sedang kupikirkan. "Ayah akan memberimu beberapa petunjuk." Ia lalu memutar-mutar bola biru itu dan menunjuk sebuah titik. "Ayah membuang mereka ke sini. Ke wilayah bernama Seoul. Kemungkinan besar mereka masih di wilayah ini tapi ada kemungkinan juga mereka berpindah tempat ke wilayah lain. Tapi kau bisa memfokuskan pencarianmu ke wilayah ini terlebih dahulu. Dan saudara-saudaramu juga memiliki tanda di pergelangan tangan kirinya, sama seperti kita."
Aku berdecak. "Bagaimana aku bisa mengetahuinya? Tanda ini hanya terlihat jika kita sedang menginginkannya atau menggunakan kekuatan kita. Mereka bahkan mungkin tak tahu jika memiliki kekuatan itu." Aku menengadahkan tangan kiriku lalu memandang tanda keyhole yang berupa segitiga dengan pusaran di tengahnya yang kini bersinar biru di pergelangan tanganku.
"Itulah yang agak susah. Tapi ayah yakin kau pasti bisa menemukan mereka. Kalian bersaudara dan pasti kalian mempunyai suatu ikatan. Percayalah pada nalurimu, Kai. Dan ayah mempunyai beberapa petunjuk lagi. Saat ayah membuang mereka, ayah juga menaruh kertas bertuliskan nama mereka di keranjang mereka. Tapi mungkin orang-orang bumi sudah menambahkan nama lain dalam nama mereka, kau tahu nama orang bumi sedikit panjang. Dan mungkin saja orang-orang bumi itu telah mengubah nama mereka." Aku mendesah. Ini akan sulit.
"Lihatlah." Ayahku kembali memperlihatkan sebuah halaman buku padaku. Aku melihat 12 simbol seperti yang ada di cover buku dan salah satu simbol itu adalah simbol yang kumiliki. Ayah lalu menunjuk salah satu simbol di buku ini. "Kakak pertamamu bernama Xiumin. Ia mempunyai tanda Snowflake yang berarti mempunyai kekuatan untuk mengendalikan es atau disebut Cryokinesis."
Ayah lalu menunjuk simbol lain. Aku memajukan tubuhku, merasa sangat tertarik. "Kakak keduamu bernama Luhan. Ia mempunyai tanda gelombang pikiran yang berarti bisa mengendalikan benda dengan pikirannya atau disebut Telekinesis. Lalu kakak ketigamu bernama Kris. Ia mempunyai tanda Dragon yang berarti bisa mengendalikan api dan melawan grafitasi atau disebut Levitation. Kakak keempatmu bernama Suho. Ia memiliki tanda droplet yang berarti bisa mengendalikan air atau disebut Hydrokinesis. Kakak kelimamu bernama Lay. Ia mempunyai tanda unicorn yang berarti bisa menyembuhkan atau disebut Vitakinesis. Lalu kakak keenammu bernama Baekhyun. Ia mempunyai tanda cahaya yang berarti bisa mengendalikan cahaya atau disebut Lunarkinesis. Kakak ketujuhmu bernama Chen. Ia mempunyai tanda scorpion yang berarti bisa mengendalikan petir atau disebut Electrokonesis. Kakak kedelapanmu bernama Chanyeol. Ia mempunyai tanda phoenix yang berarti bisa mengendalikan api atau disebut Pyrokinetis. Lalu kakak kesembilanmu bernama D.O. Ia mempunyai tanda semut yang berarti bisa mengendalikan unsur planet atau disebut Terrakinesis. Kakak terakhirmu bernama Tao. Ia memiliki tanda hourglass yang berarti bisa mengendalikan waktu atau disebut Chronokinesis. Lalu adikmu satu-satunya bernama Sehun. Ia mempunyai tanda udara yang berarti bisa mengendalikan udara atau disebut Aerokinesis." Aku mengangguk-angguk sambil masih memandangi simbol-simbol di buku itu, mencoba untuk memasukannya ke dalam memoriku. Kekuatan-kekuatan mereka keren sekali.
"Kai." Aku mendongakkan kepalaku. Ayahku memberikan sebuah benda pipih transparan berbentuk persegi panjang kepadaku. "Kau bisa mempelajari semua hal tentang kehidupan bumi disini. Utamakan bahasa, tulisan, dan peradaban yang ada di wilayah Seoul. Kau bisa mempelajarinya dalam waktu sebulan. Dan ayah harap kau bisa menemukan mereka dalam waktu tiga tahun." Aku menggumamkan kata ya lalu menyentuh tanda power dan mulai melihat-lihat foto-foto di bumi.
"Tolong jangan beritahu mengenai hal ini pada ibumu. Dia pasti tak akan mengizinkanmu pergi ke planet bumi." Aku menatap ayahku lalu mengangguk patuh. "Baiklah. Ayah rasa sudah cukup. Ayo keluar."
Setelah keluar dari ruang khusus raja, aku bermaksud untuk kembali ke kamarku namun langkahku terhenti saat melihat ibuku berdiri di atas balkon dan memandang muram langit di atas sana. Aku menghela napas dan menghampiri ibuku. Sekarang aku tahu mengapa ibu selalu memandangi langit malam dengan sedih. Ibu pasti sangat cemas memikirkan bagaimana keadaan kesebelas anaknya yang dibuang ke planet antah berantah di luar sana.
Ibuku membalikkan badannya saat menyadari kehadiranku. Ia langsung mengganti ekspresi muramnya dengan tersenyum bahagia. Tapi aku tahu senyumnya itu tak sampai ke matanya. Matanya masih memancarkan kesedihan yang dalam.
"Kai." Ibuku menatapku dengan tatapan khawatir. "Kau kenapa?" Tanyanya. Aku menggeleng. "Ibu, aku sangat menyayangimu." Aku langsung memeluk ibuku.
"Kai, ada apa?" Tanya ibuku bingung. Aku menggeleng dan terus memeluk ibuku. Bu, aku berjanji akan membawa mereka semua pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last 12
FantasyMitos dan kutukan itu nyata. Aku harus menemukan 11 saudaraku yang telah dibuang ke bumi. Karena kamilah pemilik terakhir 12 kekuatan alam semesta yang telah lama diramalkan dapat mengalahkan sang kegelapan yang mulai bangkit kembali.