Aku membuka mataku saat suara-suara bising memasuki gendang telingaku.
"Ya! Apa kau ingin mati?"
"Menyingkirlah dari sana!"
"Ya! Apa kau gila?"
"Kau ingin kutabrak hah?"
"Dasar bodoh!"
Aku melebarkan mataku saat menyadari dimana kini aku berada. Aku langsung berlari, berusaha untuk menyebrangi jalan dengan diiringi suara-suara decitan ban mobil yang mengerem mendadak serta hadiah klaksonan dan makian.
Aku berusaha mengatur napasku setelah sampai di trotoar. Syukurlah aku masih hidup. Dasar manusia bumi! Apakah mereka memang selalu terburu-buru? Dan mengapa aku bisa sampai di tengah jalan? Ayah bilang aku akan sampai di tepi sungai Han saat tiba di bumi. Apakah karena kekuatanku belum sehebat ayah? Atau karena kalung ini yang sudah sering digunakan sejak dulu?
Aku mengedarkan pandanganku. Aku bisa melihat gedung-gedung menjulang tinggi, jalan raya ramai dengan kendaraan, orang-orang berpakaian aneh berlalu lalang di trotoar, serta langit biru yang cerah. Ayah, ibu, aku berhasil selamat sampai di bumi, jeritku dalam hati.
Aku memejamkan mataku dan menarik napas dalam-dalam, merasakan hangatnya sinar mentari pagi dan udara pagi di bumi untuk pertama kalinya. Aku membuka mataku saat merasakan orang-orang di sekelilingku memperhatikanku. Dan benar saja, orang-orang yang berjalan melewatiku melirikku sekilas dan menatapku dengan tatapan aneh. Apa yang salah denganku? Aku bahkan sangat tampan. Aku lalu menyadari sesuatu. Pakaianku! Pakaianku sangat berbeda dengan pakaian manusia bumi. Aku melirik pakaianku yang berupa jubah putih berkilauan khas seorang pangeran. Aku menghembuskan napasku. Aku harus segera menjual salah satu berlian dari ayahku dan membeli pakaian manusia bumi.
Aku melangkahkan kakiku dengan ragu memasuki bangunan besar bernama Times Square. Aku menelan ludahku melihat begitu banyak orang di dalam sini. Apakah ada salah satu saudaraku diantara sekian banyak orang di dalam mall ini? Aku kembali melangkahkan kakiku, menuju eskalator, mengabaikan tatapan aneh dari orang-orang yang melihatku.
Aku membuka kantong pemberian ayahku dan mengambil salah satu berlian di dalamnya setelah sampai di salah satu toko perhiasan. "Aku ingin menjualnya," kataku sembari meletakkan sebuah berlian biru di atas meja kaca di hadapan salah satu pelayan toko perhiasan ini. Ia menatapku sekilas dengan tatapan aneh lalu dengan ragu beralih memperhatikan berlian di hadapannya. Apakah dia kira aku penipu? Apakah dia kira berlian ini palsu? Aku mendesah. Apakah semua manusia bumi memang menyebalkan seperti ini?
Aku membaca nametag yang terpasang di jasnya. Chanyeol. Aku mengerjapkan mataku. Chanyeol? Apa mungkin dia Chanyeol kakak kedelapanku? Aku menggeleng samar. Tidak mungkin! Kakak kedelapanku tidak mungkin sudah setua itu. Bahkan kakak pertamaku hanya lebih tua empat tahun dariku. Aku menghembuskan napas kasar. Ini benar-benar tak akan mudah.
"Saya akan memastikannya dulu, Tuan." Pelayan itu lalu berlalu dari hadapanku dan menuju ke sebuah alat yang tak kutahu namanya. Beberapa saat kemudian ia kembali ke hadapanku dan menatapku dengan tatapan tak percaya. Apa dia mengira aku mencuri berlian itu? Apa aku terlihat seperti gelandangan yang tidak mungkin bisa memiliki berlian seperti itu?
"Bisakah saya melihat surat kepemilikan anda, Tuan?" Aku mengernyitkan dahiku. Apakah harus ada surat seperti itu? Merepotkan sekali. "Aku tidak punya." Pelayan itu tersenyum meremehkan dan bergumam 'sudah kuduga. Dasar pencuri.'. Aku menatapnya tajam. Dia kira aku tak bisa mendengarnya?
"Aku. Tidak. Mencurinya." Aku menekankan setiap kata yang kuucapkan dan menatapnya dengan tatapan membunuh. Aku bisa melihat pelayan itu ketakutan melihat tatapanku. Ia menelan ludahnya dengan susah payah lalu berusaha berpaling dari tatapanku. Beberapa pelayan dan pengunjung lain yang melihatnya juga sedikit kaget melihat tatapanku. Aku menghela napas lalu memejamkan mataku, mencoba untuk menormalkan tatapan mataku. Aku memang bisa membuat seseorang takut padaku hanya dengan tatapan mataku. Mungkin ini juga salah satu kelebihanku selain teleportation.
"Tetapi maaf tuan. Karena anda tidak mempunyai surat kepemilikan, kami hanya bisa membayarnya 75 persen dari harga asli." Pelayan itu berkata tanpa berani menatap mataku. Aku berdecak. Ck, pelit sekali. "Terserah," jawabku acuh.
"Anda ingin kami mengirimnya ke rekening anda atau langsung menerima uang tunai?"
"Uang tunai."
"Baiklah tuan. Tunggu sebentar."
Pelayan itu kembali berbalik meninggalkanku. Aku mengetuk-ngetukan jariku di meja kaca di sampingku.
Beberapa saat kemudian ia kembali dengan sebuah amplop coklat di tangannya. "Ini Tuan. 37 juta won. Anda bisa memerik..."
"Terimakasih." Aku langsung memotong ucapannya dan merebut amplop di tangannya lalu segera berlalu meninggalkan toko itu.
Aku masuk ke sebuah toko pakaian yang pertama kali terihat di mataku lalu dengan terburu-buru mengambil asal sebuah kaos lengan panjang, celana panjang, dan sepatu, dan segera membawanya ke kasir. Kasir itu terlihat ragu namun akhirnya mulai membarcode pakaian yang kubeli. Aku menghela napas, mencoba untuk kembali mengabaikan tatapan aneh orang-orang di sekelilingku.
"Semuanya 240 ribu won, Tuan."
Aku membuka amplop di tanganku lalu segera membayarnya.
"Terimakasih," kasir itu berucap sembari menyerahkan paperbag berisi pakaian tadi. Aku menerimanya dan membalasnya dengan tersenyum. Setidaknya kasir itu tidak menyebalkan seperti pelayan di toko perhiasan tadi. Aku melangkahkan kakiku keluar toko itu. Tujuanku sekarang adalah toilet. Aku harus segera mengganti pakaianku!
Aku bernapas lega setelah keluar dari toilet dan mengganti pakaianku. Kini aku bisa berjalan dengan santai karena tak ada lagi tatapan aneh yang tertuju padaku. Aku tersenyum. Sepertinya aku ingin berjalan-jalan sebentar di dalam mall ini dan membeli sesuatu. Aku membutuhkan jam tangan untuk mengetahui waktu, dan sebuah tas untuk menaruh uangku dan pakaianku, aku malas membawa paperbag di tanganku. Lalu kaca mata hitam sepertinya keren, aku ingin membelinya juga.
Aku keluar dari Times Square setelah mendapatkan ketiga benda yang kuinginkan. Aku tak tahu harus kemana untuk saat ini. Jadi aku hanya mengikuti kemana kaki ini ingin melangkah.
Aku berhenti di sebuah taman yang sangat luas bernama Seoul Forest. Cukup banyak orang di taman yang bagaikan hutan ini. Mereka tampak sedang menyegarkan pikiran mereka dengan cara bersepeda, berskateboard, atau sekedar berjalan di jalan setapak di antara rimbunnya pepohonan dan duduk di bangku menikmati sejuknya udara dan pemandangan hijau di sekeliling mereka.
Aku memilih untuk duduk di salah satu bangku di sana. Aku menaruh tas ranselku di sebelahku lalu melepaskan keca mata hitamku dan memejamkan mataku, menikmati segarnya udara di sekelilingku. Aku membuka mataku saat merasakan seseorang duduk di sebelahku. Seorang anak laki-laki yang mungkin seumuran denganku terlihat sedang sibuk dengan ponsel di tangannya sambil meminum minuman dengan sedotan di mulutnya. Sepertinya aku juga membutuhkan sebuah ponsel dan minuman itu... sepertinya sangat menyegarkan.
Anak itu menoleh karena sadar tengah kuperhatikan. Ia menurunkan ponsel di tangannya lalu menyodorkan minuman itu padaku. Aku mengernyitkan dahiku.
"Sepertinya kau menginginkannya." Aku mengerjapkan mataku. "Ayolah. Aku melihatmu memandangi minumanku terus." Aku baru saja akan menjawab saat ia kembali berkata. "Minuman ini tidak beracun kok dan aku jamin kau akan ketagihan setelah mencobanya." Ia semakin mengulurkan minuman itu padaku. Aku meneguk ludahku. Aku memang menginginkannya. Bagaimanakah rasanya makanan dan minuman di bumi? Apakah lebih enak?
Aku mulai meminum minuman itu dengan sedotan di mulutku. Aku melebarkan mataku. Ini sangat enak. Aku belum pernah merasakan minuman seperti ini sebelumnya.
"Sudah kuduga. Kau pasti menyukainya."
Aku hanya tersenyum sambil masih meminum minuman itu.
"Ya! Mengapa kau menghabiskannya?" Anak itu menjerit. Aku terkejut dan segera menjauhkan minuman itu dari mulutku. Kapan aku menghabiskannya?
"Maaf," ucapku.
Anak itu menatapku jengkel tapi itu membuatnya terlihat lucu.
"Aku akan menggantinya," kataku sembari melihat gelas plastik di tanganku yang kini sudah kosong. Aku membaca tulisan di gelas itu. Chill bubble tea company. Apa namanya sepanjang ini?
"Apa nama minuman ini?" Aku menoleh ke arahnya. Ia sudah tidak terlihat jengkel lagi.
"Bubble tea."
"Baiklah. Aku akan membelikan bubble tea untukmu. Dimana aku bisa membelinya?"
Ia menunjuk sebuah kedai minuman di seberang taman dengan jari telunjuknya.
"Baiklah. Tunggu sebentar." Aku beranjak dari dudukku.
Aku kembali ke bangku dimana anak itu berada setelah mendapatkan dua gelas bubble tea di tanganku.
"Terimakasih." Ia tersenyum dan mengambil salah satu bubble tea di tanganku. Aku tersenyum dan kembali duduk di sebelahnya.
"Bolehkah aku tahu siapa namamu?"
"Thehun."
"Senang berkenalan denganmu, Thehun. Aku Kai."
Anak itu menoleh dan menatapku dengan tatapan tak suka. Apa aku salah bicara?
"Mengapa kau ikut memanggilku Thehun?"
Aku menatapnya bingung, tak mengerti maksud ucapannya.
"Kau tidak cedal. Jadi kau harus mengucapkan namaku dengan benar." Aku masih menatapnya dengan bingung.
Ia mengetik sesuatu di ponselnya lalu menunjukkannya padaku.
"Sehun," ucapku membaca tulisan itu.
Anak itu tersenyum senang, membuatnya semakin terlihat tampan apalagi dengan adanya angin yang membuat rambutnya sedikit berantakan. Tunggu dulu.. Angin? Sehun? Apakah dia adalah Sehun adikku satu-satunya?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last 12
FantasyMitos dan kutukan itu nyata. Aku harus menemukan 11 saudaraku yang telah dibuang ke bumi. Karena kamilah pemilik terakhir 12 kekuatan alam semesta yang telah lama diramalkan dapat mengalahkan sang kegelapan yang mulai bangkit kembali.