Kebohongan Terindah

52 0 0
                                    

Aku dan dia bertemu karena sebuah kebetulan, bertubrukan di depan pintu masuk sebuah toko. Pertemuan yang sangat klise sekali, bukan?

Pertamakali aku melihatnya, kuyakin ada kesima yang berkilau di kedalaman indera penglihatanku. Kami berkenalan, berjabat tangan, saling melempar senyum. Sebuah perkenalan yang cukup lumrah namun cukup mampu mengundang beberapa pasang mata ke arah kami, dua manusia yang secara etnis sangatlah berbeda wujud fisiknya. Aku orang asia dan dia orang Irlandia.

Selama tiga hari, aku dan dia menikmati saat-saat yang menyenangkan. Kami menghabiskan waktu dengan mengunjungi beberapa tempat indah di kotaku. Selain itu, mencicipi berbagai makanan enak juga kami lakoni. Aku tak percaya bahwa selera kami sama; pedas dan berminyak. Dua kombinasi yang menurutku bisa memicu disentri dan jerawat serius.

Dia, dia, dan dia. Apakah ajektiva yang cocok untuknya? Pirang dan menawan? Ah, itu penilaian yang terlalu duniawi. Barangkali... humoris dan sedikit kekanakan adalah dua ajektiva yang menurutku cukup rasional.

Waktuku dengan dirinya begitu singkat. Hingga suatu malam, aku dan dia harus mengecap perpisahan. Jujur, aku sama sekali tidak siap menghadapi hal itu. Dia terlalu berharga untuk dilepaskan. Susah payah aku menguatkan diri dengan menatap wajahku di depan cermin berkali-kali lalu berkata bahwa perpisahan itu wajar. Penerimaan yang ikhlas saat menghadapinya adalah satu-satunya cara agar nelangsa yang timbul tidak terlalu menyakitkan. Ya, aku pasti bisa melakukannya, penerimaan yang ikhlas.

Kemudian, lahirlah kebohongan itu. Kebohongan yang sengaja kucipta agar ia tetap ingat padaku.

Kuberi ia sebuah cincin. Cincin yang kusertakan dengan sebuah kenangan palsu. Kupaparkan bahwa cincin itu adalah hadiah ulang tahun dari sahabat terbaikku yang telah meninggal. Aku juga berkata padanya bahwa sejak aku mengenalnya, aku merasa sahabatku hidup kembali, namun dalam sosok yang berbeda.

Tiba-tiba mataku basah. Mungkin saat itu aku menangis karena dua hal; karena aku terbawa suasana oleh cerita bohongku sendiri atau karena aku telah membohongi dia sedemikian rupa.

Dia bangkit dari duduknya. Aku pun mendongak, menatap sosok jangkungnya di antara temaram lampu kafe. Sejurus kemudian, kedua lengannya membentang, isyarat agar aku berlabuh dipelukannya.

Dalam derai air mata yang masih membuncah, kupeluk erat tubuhnya. Ada kehangatan yang menjalari jiwaku saat itu. Namun, air mata yang menggenangi pipi tak bisa mengering karenanya. Tamakkah aku bila menginginkan kehangatan itu untuk diriku sendiri? Jujur, aku akan tersakiti bila pada suatu hari kutemukan ia berbahagia dengan orang lain.

Usai berpelukan, aku dan dia menikmati beberapa hidangan lezat. Dan ketika makan, ada sejumput kelegaan di dadaku karena kebohongan itu sudah kulakukan.

"Aku janji, aku akan datang lagi ke sini, untukmu." Dia tersenyum padaku.

"Aku akan menunggu."

Jika hari itu datang, mungkin aku harus jujur padanya. Aku mengikatnya dengan kebohongan karena aku tidak sanggup menahan pedihnya perpisahan.

Aku ingin hidup bersamanya.

***SELESAI**



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 18, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kebohongan TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang