Madrasah Ibtidaiyah, 1996.
Segerombolan anak perempuan yang memakai rok berwarna hijau botol sepanjang lutut, kemeja putih lengan panjang, sepatu hitam, kaos kaki putih sepanjang betis dan hijab putih menutup dada, menyerbu gerbang sekolah sesaat setelah bel tanda masuk berbunyi. Mereka berhamburan masuk ke dalam halaman sekolah yang di depannya bertuliskan "MI. NURUL HUDA". Lalu mereka berdiri di depan kelas masing-masing membentuk barisan rapi.
"Lencang kanan...grak!" Seru komandan barisan yang berdiri paling depan, samping kanan barisan.
"Siap...grak!" Seluruh anggota barisan serempak melakukan gerakan sesuai perintah komandan.Lalu mereka menanti seorang guru berdiri di depan mereka. Dada mereka berdebar tak karuan. Diam-diam mereka memeriksa kuku masing-masing. Karena kalau ketahuan kuku mereka panjang, guru tersebut akan mempersilahkan mereka masuk kelas satu per satu dengan satu syarat; memukul jari-jari mereka dengan penggaris kayu (penggaris khusus yang di gunakan untuk papan tulis yang besar).
Seorang temanku --yang sepertinya memang hobi memanjangkan kuku karena dia pikir dengan begitu nampak lebih dewasa dari usianya, dia mengaduh.
"Aduuhh...sakit Bu."
"Ranti...Ranti...ibu heran, kamu nggak kapok-kapok juga ibu pukul tiap hari. Masih saja kamu panjangkan kuku."
"Besok saya potong deh Bu."
"Tiap hari itu juga yang kamu janjikan pada ibu. Begini saja, istirahat nanti kamu ke kantor. Biar ibu sendiri yang memotongnya." Seketika mendung menyelimuti wajah Ranti. Seolah riwayatnya tamat di situ. Kuku-kuku yang ia panjangkan dan ia sayang-sayang dengan mengikirnya tiap ada kesempatan itu, akhirnya jam istirahat nanti akan tamat riwayatnya. Dia hampir menangis. Padahal saat nilai ulangannya nomor satu dari bawah, wajahnya tak semuram itu.
"Sana masuk!" Ranti berjalan gontai menuju kelas.
Kini giliranku, dadaku berdegup makin kencang. Padahal tiap pagi aku menjalani pemeriksaan kuku tiap mau masuk kelas. Tapi entahlah, tetap saja aku gerogi.
"Mana liat kukumu." Ku angkat kedua tangan.
"Bagus. Pendek-pendek. Tapi ini ada yang hitam. Kamu habis main tanah?" Aku mengangguk sambil nyengir kuda. Sebelum tanda bel masuk tadi aku sempat main gunung-gunungan dari tanah sama Asih, temanku sebangku sejak kelas lima.
"Nggak apa. Sana kamu bersihkan dulu di toilet. Siram pake air sampe bersih. Baru boleh masuk kelas." Aku segera berlari ke toilet dan membersihkan tangan.
Sebenarnya Bu Aminah orang baik, tapi kalo ada yang salah, dia marah habis-habisan. Jika jam istirahat tiba, beliau selalu menyempatkan diri bercanda dengan kami. Saat itu dia seperti melepas jarak antara wali kelas dan murid. Dia menjadi orang tua kami yang sangat perhatian dan baik.
***
"Setelah lulus, kamu mau sekolah di mana, Di?" Tanya Asih, temanku sebangku sejak kelas lima.
"Ehmmm...kata ibu kalo nilaiku bagus, mau di masukin ke SMP Negeri Satu. Kalo danemku nggak memenuhi ya cari sekolah lain. Yang penting bisa sekolah di kota." Sebenarnya aku sendiri ragu apakah danemku mencukupi. Kemampuan otakku ini pas-pasan. Berbeda dengan Asih yang otaknya cemerlang.
Di kampung kami, sekolah di kota merupakan kebanggaan setiap anak dan orang tua. Tak dapat di pungkiri bahwa sekolah-sekolah dengan prestasi yang baik berjejer di kota. Tiap tahun sekolah-sekolah itu mampu meluluskan siswa-siswa dengan nilai danem terbaik sekabupaten. Sedangkan sekolah di pinggiran kota, masyarakat memandang sebelah mata. Dianggap sekolah buangan. Artinya, jika tidak masuk ke sekolah kota, di buang ke sekolah pinggiran karena nilai danem tidak memenuhi syarat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan, Jangan Menangis!
Short StoryKumpulan kisah-kisah perempuan dalam menghadapi kejamnya kehidupan. Ada yang berjuang, ada yang pasrah, menyerah dan menerima takdirnya dengan ikhlas.