Traumerei

7.9K 843 62
                                    

Lelaki itu terus mengamatiku, membuatku sulit bermesraan bersama lukisan di depanku yang baru setengah jadi. Padahal, lukisan ini harusnya kuselesaikan besok untuk dipamerkan di pameran seni terbesar tahun ini yang berlangsung dua hari ke depan. Mataku tak lagi menyoroti lelaki yang mengamatiku di dekat pohon cemara itu. Namun saat ia mulai melimbai menghampiri, geggaman tanganku mengendur membuat kuasku jatuh. Lelaki bermata bak cakram itu membantuku meraih kuas. Diangsurkannya benda itu padaku dan aku tersenyum. Kendati memiliki pandangan lekat dari kedua mata tajamnya, rupanya ia memiliki senyuman manis madu yang membuat darahku seakan tersumbat di arteri. Matanya mengerjap padaku. Duduk di samping, ditelisiknya kanvas yang telah kucoreti membentuk gambar malaikat bersayap tengah duduk di atas setangkai mawar. Aku rasai pandangan hangatnya beralih padaku, diikuti suara decak kagum dan mata berbinar takjubnya.

"Aku tak sengaja melihat kau melukis di kebun ini dan dibikin penasaran. Tak sangka, aku bertemu pelukis berbakat."

Aku tergelak. Ibuku bilang bicara dengan orang asing adalah sesuatu yang perlu dihindari. Alih-alih, aku terbawa kenyamanan. Perasaan ini sangat tak asing. Sedikit aneh lantaran aku tak mengenalnya sama sekali.

"Mengapa kau mengatakan hal demikian sedangkan kita baru bertemu?"

Matanya yang cemerlang menatapku sendu, tak tahu mengapa.

"Kebetulan aku penikmat karya seni. Dan sepertinya, penggemarmu bertambah satu. Aku sangat terpikat dengan lukisan ini, sekaligus keindahan yang ditorehkan Tuhan padamu."

Kedua alisku tertarik ke atas. Kendati baru sekali bertemu, ia berhasil menjeratku menuju pedalamannya melalui kata yang ia lontarkan. Lelaki asing yang sanggup membawaku ingin mengenalnya jauh. Tenggelam dalam kemisteriusan yang terasa lekat di batinku. Aneh.

Tatapannya tiada lepas dariku. Keadunan senyumnya mengundang mataku agar menyambut pandangan mendambanya. Kusunggingkan senyum tak kentara. "Mengapa kau menatapku seperti itu?"

"Matamu bagai pintu nirwana yang mengantarku pada hatimu."

"Kuterka, kau seorang penyair?"

"Cupid berbisik begitu di telingaku."

Tawa kecil lolos dari bibirku. "Kau pasti pecinta sastra."

"Aku hanya penikmat seni." Ia menyentuh kanvas milikku. Jemarinya menari menyusuri cat minyak kering yang menempel di sana. "Hal-hal kecil akan membawa kesempurnaan. Dan kesempurnaan itu bukanlah hal yang kecil."

Jantungku berdenyut dengan irama aneh. "Michelangelo. Kau suka dia?"

"Sejujurnya, Da Vinci menempati nomor satu di hatiku."

"Yang kau katakan tadi kata mutiara favoritku. Kau tak memata-mataiku, kan?

Mata yang mulanya sendu membiaskan binar-binar bagai kilau air ditempa sinar mentari. "Tuhan pandai merangkai cerita setiap hambaNya. Percayalah, ini salah satunya."

Kebisuan merambat cepat di antara kami. Wajahnya yang tegas namun menyembunyikan kelembutan di matanya membuatku termangu.

Aku tak berkedip maupun berkata. Senyum dan sorot matanya berkelindan dengan jiwaku. Tak pernah dalam hidupku mudah dibujuk rayu oleh orang asing. Namun pada akhirnya, kulayangkan senyum untuknya sebagai perkenalan diri.

"Aku Hera."

*

Masih sama. Ia perlakukan aku bagai orang asing. Kulakukan hal ini setiap hari sejak ingatannya sedikit demi sedikit direnggut alzheimer yang menyerangnya sejak lima tahun silam. Tiada sepenggal kenangan kami di pikirannya. Maka dengan sabar, aku bangun alur cerita untuk membantunya mengingat momen pertama kami bertemu. Walau ia sama sekali tak mengenalku.

Kumpulan Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta PanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang