Tak Ada Pelangi di Laut Kaspia

3.9K 416 66
                                    

Tik Tik Tik Tik Tik Tik

Aku menghitung nyaris setiap detik jam di kamar ini. Pintunya belum terbuka. Seharian ini aku menunggumu memutar kenop dan melenggang masuk melintasi ranjang menuju balkon untuk bertemu denganku. Memelukku dari belakang. Mataku terpejam merasakan embusan angin malam. Bunyi jarum jam, klakson, deru mesin dipanaskan, tawa menggelegak, bayi menangis, bersatu dengan alunan musik Chopin, Prelude in E Minor yang kerap kau mainkan bersamaku.

Musik yang kuputar dari piringan hitam menjelma sebagai jarum pemintal seorang penyihir jahat yang menusuk jari Putri Aurora dan membuatnya tertidur seratus tahun. Aku tak ingin bernasib seperti Aurora yang menunggu hingga seratus tahun demi mendapatkan ciuman pangeran dan membangunkannya dari kutukan. Pun, aku tidak ingin mengikuti jejak Chopin yang ditinggal pergi seorang wanita yang bahkan tiada menganggapnya berarti. Sehingga lahirlah karya-karya laratnya. Termasuk yang kudengar saat ini. Yang suka kau mainkan bersamaku. Dulu aku berpikir kau memainkannya demi cintamu padaku. Namun sekarang, aku meragu.

Tik Tik Tik Tik Tik Tik

Jarum jam menunjuk angka sembilan dan kau belum juga datang. Seraya menghabiskan sisa bir di dalam gelas menghapus kemuraman di bibirku, pikiranku berkelana jauh. Dalam kepala seakan tertanam sebuah proyektor yang memutar ulang kenangan kita. Awal kita bertemu.

Awal musim dingin tiga tahun lalu aku melihatmu duduk termenung di bangku panjang Pont des Art. Sayu dan muram. Kendati hal tersebut tidak menghapus garis tegas dan tampan di wajahmu. Sadar kuamati dari kejauhan di birai pembatas jembatan, kau menoleh ke arahku. Tersenyum. Aku melihat malaikat bermain di mata dan senyummu saat kau hampiri aku untuk memperkenalkan dirimu.

"Bonsoir."

Pada saat itu kau mengiraku seorang penduduk kota cantik ini. Mungkin karena wajahku yang lebih dominan Eropa mengikuti bapakku daripada Jawa milik ibuku. Aku tersenyum menyambut sapaanmu. Hangat. Sampai bisa kurasakan di balik parka dan sarung tanganku, menepiskan dinginnya malam usai dicumbui salju beberapa jam lalu.

"Aku orang Indonesia. Sepertimu."

"Wah." Kau tertawa. Suara tawa yang indah laksana bunyi deburan ombak menampar karang dan menerbangkan albratos. "Matamu hijau. Kusangka kau penduduk kota ini."

Senyum tersungging melengkung seperti bulan sabit di bibirku. "Bukan."

"Cantik."

"Apa?"

"Matamu. Seperti laut Kaspia."

Pipiku panas merona seperti agni yang meliuk di tungku perapian.

Dari pertemuan itu kita dekat. Waktu mempersilakan aku berceloteh riang, menceritakan dongeng muram yang sepatutnya tidak kau dengar. Tapi, ah, aku tidak perlu merahasiakannya, kan? Kau telah membelitkan rantai di sekitar tubuhku dan menariknya agar rekat denganmu. Kau pun begitu, mengekori ceritaku dengan dongeng serupa. Rupanya kita memiliki kesamaan; dihimpit kekosongan dan dipeluk kesepian. Dan kita sama-sama memutuskan menyukai pelangi yang bersemburat terang di langit Circassia, turun hingga bersetubuh dengan laut Kaspia. Datangnya dirimu menyemarakkan kehidupanku. Sepi itu tak lagi mau bersahabat denganku. Sebab kau telah melingkarkan tanganmu di sekitar pundakku, membawaku ke dalam pelukan hangat, menghujaniku dengan ciuman lembut di sekujur tubuhku.

Suara tawamu masih nyaring di telingaku. Demikian pula dengan tatapan penuh cinta dari dua bola matamu. Dan sentuhan lembut jemari yang seringkali menari mengikuti lekuk tubuhku, dari puncak kepala hingga ujung kaki. Aku tak mampu menyingkirkan bayanganmu. Meski kau buat hati ini pecah berkeping-keping di lantai. Serpihan hati yang telah terkoyak terbang mengikuti tiupan angin malam. Dan bodohnya, aku masih menunggumu.

Kumpulan Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta PanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang